Dear, My Baby

Renny Ariesya
Chapter #21

21| Kau Butuh Aku, Baby

Entah berapa lama Naura dan Raka berada dalam posisi berpelukan. Hanya suara guntur dan derasnya hujan menemani keduanya dalam kebisuan. Baik Naura dan Raka tak ada yang mau beranjak atau pun memisahkan diri. Seolah tubuh keduanya dilem begitu kuat. Hingga kesadaran Naura mengambil alih pikirannya kembali. Dengan enggan Naura akhirnya memisahkan diri dari dekapan hangat Raka.

"Kamu kebasahan." Naura baru menyadari bahwa tubuh Raka basah kuyup meski mantel kulit menyelimuti tubuh atletisnya, tetap saja tak mampu melindungi semua tubuhnya. Bahkan piyama tipis berwarna ungu milik Naura juga ikut basah terkena cipratan air hujan. Segera pandangannya menyapu seluruh tubuh Raka sembari mengendus wangi tubuhnya. Meski sudah diguyur ribuan kubik air hujan, tetap saja wangi maskulin di tubuh Raka tidak luntur.

"Astaga, kenapa dengan kepalamu?" Naura terkejut ketika irisnya menangkap samar noda darah di pelipis Raka yang tertutupi rambut hitam lebatnya.

"Oh, ini ..." Raka sedikit menyibak poni di sekitaran pelipis dan mengelusnya. Sedikit meringis kala merasakan kepalanya berdenyut menyakitkan. Tadi, sepanjang perjalanan menuju kemari, sama sekali ia tak merasakan sakit.

"Saat mau pergi tadi kejedot pintu," kata Raka sedikit berbohong sembari menyugar rambut basahnya dengan senyum tak pernah luntur dari belah bibir sensualnya. Tidak ingin Naura mengetahui yang sebenarnya, dan yang pasti tak ingin membuatnya semakin khawatir. Cukup membuat hujan dan petir menjadikan Naura ketakutan, jangan ditambah lagi dengan mencemaskan keadaan dirinya.

Naura memicing, memperhatikan darah segar di pelipis Raka yang tetap mempertahankan ekspresi datar biasanya. Sedikit dirinya tidak percaya dengan ucapannya. Ia mengenal sifat Raka. Seketika darahnya berdesir halus. Memperhatikan Raka yang basah kuyup serta dengan kepala berdarah begitu, mungkinkah karena Raka mencemaskan dirinya?

Raka rela berbasah-basahan dan menantang hujan badai di luaran sana demi dirinyakah?

Naura tersentak. Seketika menarik tangan Raka masuk ke apartemennya tanpa mempedulikan beberapa protesan kecil keluar dari belah bibir Rakai manakala ia menyentaknya, layaknya menarik boneka kodok miliknya begitu saja.

"Sebaiknya masuk dulu, lepaskan mantelnya. Nanti masuk angin." Naura mendorong tubuh Raka lalu menyuruhnya mengeringkan rambut menggunakan handuk miliknya.

Selagi menunggu Raka melepaskan mantelnya, Naura menyiapkan obat untuk lukanya serta menyiapkan pakaian ganti. Dilihatnya, kaus yang dipakai Raka sedikit basah terkena air hujan aibat rembesan dari balik mantelnya. Kebetulan ada pakaian Neil yang ketinggalan di apartemennya ketika sedang berkunjung ke rumahnya. Kala itu Naura tak sengaja menumpahkan minuman ke pakaian Neil.

Sudut mata Naura melirik ke luar jendela. Hujan tetap mengguyur deras bersama petir yang menggelegar membelah langit, tampak berkilat-kilat dan terang benderang bagaikan lampu diskotik. Meski cuaca masih sangat mengerikan di luaran sana, layaknya musuh yang tak gentar untuk melumpuhkan lawannya, Naura sedikit merasakan tenang setelah kehadiran Raka di apartemennya.

Naura menatap punggung lebar dan kokoh Raka yang mengeringkan rambutnya. Pandangannya meredup. Demi dia, Raka rela datang ke sini di tengah cuaca ekstrim begini. Ia mendesah tak kentara. Bagaimana setelah ini dirinya bersikap padanya?

"Kenapa, Na?"

Naura terkesiap. Suara bass Raka sukses membuyarkan lamunannya. Tanpa diduganya, telah berada di depannya. Memperlihatkan otot perut yang berbentuk kotak-kotak. Buru-buru Naura menurunkan pandangannya. Menatap ujung jari-jari kakinya yang gembul-gembul - sedikit terhalangi oleh perut buncitnya. Semenjak melewati tri semester awal kehamilan, tubuhnya semakin terlihat montok dan berisi. Terutama pada bagian pipi dan jari-jari tangan dan kaki. Hal itu sering membuatnya kesal manakala bila dirinya marah jadi bahan cubitan Neil dan Sunny dengan alasan gemas melihatnya.

"Tak usah takut, semua akan baik-baik saja." Raka berujar dengan suara lembut menenangkan. Ia pikir, Naura menunduk karena masih merasakan takut pada cuaca mengerikan di luar sana. Tak ingin Naura mengalami ketakutan lagi, tiba-tiba Raka meraih tubuh Naura ke dalam dekapannya. Menepuk-nepuk punggung rampingnya. Sedang Naura bergeming bersama pikiranya yang tak bisa ditebak.

Setelah lima menit berlalu, Raka melepaskan pelukannya. Jari-jari panjangnya menelusuri pipi putih nan pucat Naura. Menarik napas dalam saat jarinya merasakan sisa cairan bening berjejak di kedua sudut mata Naura. Hatinya terenyuh. Andaikan saja tadi dia tak datang ke sini. Entah apa jadinya. Dia tak bisa membayangkannya. Seorang diri Naura melawan ketakutannya.

"Kau baik-baik saja, Na?" ulang Raka lagi. Seolah ingin memastikan. Atau hanya ingin meyakinkan sendiri perasaannya.

Naura mengangguk kecil. Menyodorkan kaus putih ke tangan Raka. "Pakai saja kaus ini. Kulihat pakaianmu basah."

Raka memandang kaus di tangannya. Dahinya berkerut. Jelas ini kaus seorang pria. Milik siapa? Jonginkah? Seketika dadanya menjadi sesak kala pikiran-pikiran negatif meracuninya. Jujur. Ia cemburu. Ingin rasanya meremukkan benda apa saja yang membuatnya menghalangi jalannya untuk meraih sosok manis-nya kembali.

Lihat selengkapnya