"Kau kenapa, Na?"
"Eh? Ah? Ya?" Naura tergagap. Ia mendongak. Irisnya segera beradu pandang dengan iris hitam pekat milik Jongin. Naura tersenyum canggung. Menyelipkan poninya ke samping telinga. Wajahnya memanas. Malu ketahuan melamun di tengah istirahat makan siang. Padahal atasannya ini sudah susah payah mengajaknya makan di kawasan kota Jeju di resto Samseonghyeol Haemultang, yang terkenal menyajikan hidangan laut dengan menu andalan gurita yang masih hidup atau Sannakji.
"Maaf? Apa yang kau katakan tadi, Jong?" Naura meringis ketika Jongin dengan lahapnya memakan tengtakel yang masih bergerak-gerak di sumpitnya. Cepat ia mengalihkan perhatiannya ke atas piring ketika irisnya menangkap potongan tengtakel gurita yang bergerak-gerak di sudut mulut atasannya - sebelum isi perutnya melonjak naik ke atas dan mengeluarkan semuanya.
Jongin menelan potongan tetangkel gurita setelah mengunyahnya sekilas. Lalu meminum beer untuk menghangatkan perutnya. Kembali menatap wajah manis Naura yang sedikit memerah itu setelah meletakkan gelas beernya. Ia menghela napas pendek. Melihat ekspresi datar Naura serta sedari tadi tampak melamun, sepertinya dia salah membawanya ke sini.
"Kau kenapa? Kulihat sedari tadi terlihat tidak nafsu makan."
"Itu ..." Naura kehabisan kata, tak menyangka Jongin akan memperhatikannya.
"Apa tidak suka dengan menunya?"
"Enggak, kok." Naura menggeleng cepat. "Aku suka menunya. Seafood termasuk menu favoritku, kecuali ... gurita hidup,” cengirnya.
"Tapi, kalau guritanya sudah dimasak, aku mau memakannya, kok---Maaf, aku nggak bermaksud untuk menyinggungmu," tambah Naura cepat. Tak ingin Jongin salah paham karena sikapnya. Jujur, Naura memang tidak suka dengan makanan gurita hidup. Seumur hidup belum pernah makan yang beginian. Cuma sering saja melihat di drama-drama Korea. Dan hari ini ia tak menyangka akan langsung melihat makanan gurita hidup ini langsung.
Jongin tersenyum dan mengedikkan bahu. "Tidak masalah. Aku mengerti."
"Terima kasih."
"Atau kau ingin makan yang lainnya? Panggil saja pelayannya kalau kau mau," sambung Jongin lagi sembari menyingkirkan gurita hidup ke sampingnya. Lebih menghormati keberadaan Naura.
"Enggak. Gak usah." Naura menolak. "Kepiting besar ini saja sudah cukup, kok," imbuhnya sambil menunjuk kepiting besar di depannya.
"Atau kau sebenarnya sakit?" tanya Jongin khawatir.
"Enggak. Aku gak sakit, kok. Benaran. Gak bo'ong,” kata Naura meyakinkan.
"Syukurlah. Semoga saja memang begitu," sahut Jongin memperhatikan lekat wajah memerah Naura.
Naura mengangguk kecil. Sedikit risih dalam duduknya kala mata elang Jongin hanya tertuju padanya. Diraihnya smartphone di sampingnya, berpura-pura mengecek sosmednya.
"Naura," panggil Jongin saat keheningan melanda mereka sekitar dua menitan.
Naura menengadah dan meletakkan smartphonenya ke atas meja. "Ya?"
Jongin menarik napas dalam-dalam. Mata elangnya menatap lekat iris cokelat Naura yang berpenda-pendar bagaikan kunang-kunang di dalam hutan. "Bagaimana dengan kandunganmu?"
Naura meremat ujung coatnya di bawah meja. Baik Jongin dan Raka sama saja. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini bermuara nantinya. "Baik," jawabnya singkat sembari mengelus perut buncitnya.
"Naura, apa kau sudah memik---"
"Maaf, Jong. Aku belum berpikiran untuk menikah sekarang," potong Naura cepat. Sangat paham akan perkataan yang akan dilontarkan oleh Jongin.
"Aku ..." Naura menarik napas dalam. "...kurasa kau---"