"Percaya padaku, aku takkan mencuri atau berbuat apa pun pada majikan kalian." Naura berujar tegas, meyakinkan pada dua security di depannya. Nada suaranya pun tidak terdengar gugup sedikit pun - meski bahasa Koreanya masih belum lancar dan masih terbata-bata. Irisnya menatap penuh harap pada dua pria warga asli Korea yang saling berpandangan, agar mengizinkannya masuk ke rumah mewah.
Dua jam yang lalu, ketika masih bekerja tadi, Neil meneleponnya. Memberi tahunya bahwa Raka sakit selama semingguan ini. Pantas saja ia tidak pernah melihat batang hidung Raka di sekitarnya. Ternyata masih sakit. Dia pikir pria dengan sifat dominannya itu sudah menyerah atas niatnya. Hal itu mengingatkannya akan kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika semingguan tidak melihat Raka.
Tak ingin kejadian itu terulang kembali, lagipula Raka sakit karena dirinya. Tanpa berpikir lagi, sepulang dari bekerja Naura bergegas pulang ke apartemen tanpa menghiraukan ajakan Jongin untuk mengantarnya pulang. Yang dilakukannya saat ini tentu saja memasak bubur hangat kesukaan Raka. Dahulu, kala masih berpacaran, saat sakit Raka sering memintanya membuatkan bubur.
Satu hal yang Naura tak habis pikir pada pola pikir pria dengan body goalsnya itu kenapa setiap sakit, tidak mau dirawat di rumah sakit. Menurutnya itu lebih baik ketimbang dirawat di rumah yang tentu saja takkan ada yang merawatnya. Serta jauh dari perhatian kedua orang tua. Tapi, kembali lagi pada sifatnya yang tidak mau diatur. Apa yang menurutnya baik baginya, tentu saja baik. Padahal belum tentu baik bagi orang lain.
Sama seperti pilihannya. Kadang Naura bertanya dalam hati. Pilihannya sudah tepatkah? Membesarkan anaknya tanpa menikah? Tidak menerima permintaan Raka. Tidak memberi kesempatan Raka memperbaiki kesalahannya. Semuanya sudah tepatkah?
"Kumohon, Pak." Naura berujar lagi, memecahkan keheningan di ruang yang penuh dengan layar monitor CCTV di seluruh penjuru rumah mewah.
Salah satu dari security dan terlihat lebih muda menggaruk bagian belakang kepala sambil berpikir. Sekali lagi menatap Naura. Baik dia dan rekannya bimbang. Tidak ada pesan atau instruksi apa pun terkait wanita hamil ini dari boss besarnya. Hanya berpesan harus izin terlebih dahulu bila memasuki kediamannya. Sementara untuk saat ini sang boss besar hanya ingin sendiri dan tak ada yang boleh mengganggunya kecuali Neil. Diizinkan keluar masuk selama semingguan ini.
"Kumohon, Pak," pinta Naura memelas. Sekali lagi berusaha meyakinkan. Sekilas irisnya menatap pada paper bag di sampingnya. Meremat ujung coatnya. Bila setengah jam lagi tidak diizinkan masuk, mungkin bubur buatannya akan mendingin dan tidak enak untuk dimakan lagi. Dan sepertinya dirinya pun akan menyerah, pulang kembali ke apartemen dengan harapan kosong.
"Bukankah boss kalian sudah seminggu ini sakit?" Naura mengelus perut buncitnya. Terlihat jelas kerutan di dahinya. Meringis, manakala bayinya menendang. Seolah merasakan apa yang dirasakannya saat ini.
"Memang betul." Salah satu security yang lebih tua menjawab usai meneguk minuman kopinya.
"Dan biarkan aku menengok boss kalian."
"Tidak perlu rep---"
"Aku tidak repot," sergah Naura buru-buru memotong ucapan pria berambut cepak di depannya. Pandangannya semakin memelas dengan memancarkan puppy eyes andalannya. Andaikan saja yang berada di depannya adalah Raka, Neil, atau pun Sunny mungkin akan luluh seketika melihatnya. Apakah kali ini juga berhasil pada kedua penjaga keamanan ini? Ia berharap begitu.