Kelopak yang terpejam erat itu tiba-tiba saja terbuka lebar, menampakkan iris indah di dalamnya. Iris yang mampu membuat lawan jenisnya akan terpikat untuk pertama kalinya, dan susah untuk berpaling ke lain lagi. Iris itu juga yang pertama kalinya membuat Raka terpesona pada pertemuan pertamanya pada Naura, membuat debaran jantungnya meningkat tajam kala bertemu pandang, membuat dunianya hanya berpusat pada Naura seorang.
Naura mengerjap, membiaskan cahaya kamar terang benderang pada retinanya. Dahinya berkerut samar manakala menyadari berada di tempat asing. Ini bukan kamarnya. Seketika ia membeliak. Baru sadar ini kamar Raka. Sebelumnya ia datang kemari membawa bubur hangat, lalu mengompres dahinya yang suhunya sangat panas. Sambil menunggu buburnya dingin dan suhu tubuhnya menurun, dia melakukan ....
Astaga! Naura melotot. Faktanya ia ketiduran. Cepat ia bangun dari baringannya. Tunggu. Naura kembali mengernyit. Perasaan ia duduk di sisi Raka. Lalu sekarang ... kenapa bisa tidur di tempat Raka? Dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya? Ke mana Raka? Bukankah tadi, Raka yang berbaring di posisinya?
"Sudah bangun?"
Iris Naura langsung menuju ke sumber suara di sudut ruangan dengan cahaya tetap dibiarkan temaram. Dilihatnya Raka menikmati bubur buatannya. Tampak begitu lahap dengan sorot mata berbinar-binar bahagia, seolah anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru dari ayahnya di hari ulang tahunnya.
Entahlah. Apakah itu efek dari cahaya lampu temaram dengan mengandalkan cahaya bulan--bersinar terang di balik jendela yang terbuka lebar--hingga wajah Raka terlihat sangat tampan bak pahatan wajah dewa-dewa mitologi yunani di kerajaan olimpus. Naura tertegun sejenak, terbius akan pemandangan indah itu.
"Sudah berapa lama aku ketiduran?" Naura mengelus kepalanya sembari menutup kuapnya. Menyeret langkahnya yang terasa berat ke arah sofa di mana Raka berada. Duduk bersebarangan tidak jauh dari Raka. Saat kembali melihat wajah Raka, buru-buru Naura menundukkan kepala menatap lantai--berusaha menyembunyikan wajahnya yang tanpa diundang memerah tomat--manakala mengingat Raka menggendongnya ke atas tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya.
"Tidak lama," sahut Raka setelah menyelesaikan suapan terakhir bubur di mangkuknya. Habis tak bersisa. Sepertinya benar-benar kelaparan.
"Buburnya pasti sudah dingin." Naura berkata dengan pandangannya tertuju pada mangkuk kosong di atas meja. Samar sudut bibirnya sedikit terangkat, tersenyum tipis kala melihat buburnya ternyata masih dimakan oleh Raka.
"Tidak juga. Masih tetap hangat." Raka berkata jujur dengan mengangkat bahu.
"Um ... bagaimana denganmu. Sudah merasa baikan?" tanya Naura sedikit gugup.
"Sangat lebih baik dari sebelum kamu datang kemari." Raka menjawab jujur. Berkat kehadiran Naura, rasa sakit yang menggelayutinya selama semingguan ini pergi entah ke mana. Ajaib bukan. Dengan kehadiran Naura saja sudah membuat perubahan besar dalam hidupnya. Ia jadi teringat kala menghakhiri hubungan mereka. Dunianya jadi kacau seketika. Terasa tak sanggup lagi menjalani hari-hari ke depannya.
"Oh." Naura berkata pendek. Tak bisa menyembunyikan rasa lega di hati sembari mengelus perut buncitnya. Sepertinya sang jabang bayi juga senang mendengar ucapan dari belah bibir calon ayahnya. Mungkin. Siapa tahu. Hati orang siapa yang bisa menebak. Hanya sang pemilik alam semestalah yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Setelah itu, terjadi keheningan panjang mengisi cela di antara kedua insan manusia ini. Keduanya seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Membiarkan jarum jam berdetak nyaring bagaikan suara penyanyi wanita solo yang menghibur fans-nya di kamar temaram ini, dengan latar suara dari angin yang berembus pelan mengiringi.
"Na." Raka berujar dengan suara seraknya, berhasil memecah keheningan di antara keduanya.
"Y-ya?" Lagi Naura berkata gugup. Entah mengapa. Mendengar suara bass milik Raka jantungnya berdetak tak karuan. Apa mungkin efek dari semingguan ini tidak mendengar suara Raka di sekitarnya?
Raka menggeser duduknya, mendekat pada Naura. Ditatapnya lekat wajah manis Naura dalam bayangan temaram. Tidak jauh berbeda dari Naura rasakan, dadanya pun berdebar-debar tak karuan manakala menatap wajah mempesona Naura, bagaikan salah satu bidadari surga dunia.
"Terima kasih sudah mau datang ke sini," ucap Raka setelah mampu mengendalikan detak jantungnya. Untuk mengalihkan debaran di dadanya, diusapnya sudut bibir sensualnya dengan mata elangnya tiada henti menatap Naura. Seolah takut akan menghilang dalam sekejap mata dari pandangannya.
Raka tak perlu bertanya darimana Naura tahu dirinya sakit. Sudah tentu itu dari Neil. Padahal, sudah diperingatkannya untuk tidak berkata apa pun tentang sakitnya. Kendati demikian, ia sangat bersyukur Naura mau kemari. Dilihat dari sikapnya, Naura masih menyimpan rasa peduli padanya, bahkan mungkin masih menyimpan rasa cinta padanya. Mungkin. Sangat berharap begitu.
"Um ... sama-sama." Naura menjawab hampir berbisik. Suaranya nyaris tenggelam oleh debaran jantungnya. Wajahnya makin memerah. Dengan susah payah menelan air liurnya manakala pandangan Raka terlalu intens padanya, membuatnya merasa terintimidasi oleh aura dominannya.
"Terima kasih bubur hangatnya. Kau tahu? Sudah dua hari ini aku tidak makan,” aku Raka dengan jujur.
"Kenapa enggak dirawat di rumah sakit saja?"
Raka menggeleng cepat. "Kau sudah tahu sifatku. Aku paling malas dirawat di rumah sakit."