Dear, My Baby

Renny Ariesya
Chapter #26

26| Dear & Baby

“Kenapa, Na. Apa kau sakit?” Suara bass Jongin terdengar begitu khawatir di seberang telepon. Sebelumnya, Naura memberinya kabar, dirinya izin tidak bisa masuk kerja hari ini.

Naura menggigit bibir sembari mengelus perut buncitnya. Jujur. Ia tidak pernah berbohong seperti ini. Akan tetapi ... Naura menghela napas panjang. Seakan permasalahannya semakin menumpuk dan bertambah rumit saja. Dengan langkah pelan berjalan menuju balkon. Pandangannya lurus menatap ke bawah. Semilir angin yang bertiup pelan menerbangkan helaian rambut almond panjangnya. Seolah memberi salam untuk pagi yang dingin di hari ini. Ia menggigil kedinginan manakala angin yang berembus pelan menyapanya, menyelinap ke balik mantel tebalnya, dan membelai kulit porselennya.

Naura mengeratkan mantel tebal ke tubuhnya. Mantel milik Raka. Raka meminjaminya sebagai ganti pakaiannya, sebab semalam terpaksa menginap di sini. Mengingat hari sudah sangat malam. Terlalu riskan untuknya kembali ke apartemen di tengah malam dan dalam keadaan hamil pula. Terlebih Raka tidak akan mengizinkannya.

Raka mulai menunjukkan sikap protektifnya setelah mereka berdua sefakat untuk kembali menjalin kasih. Disesapnya sekilas wangi khas tubuh yang tertinggal dari pemilik mantel hitam ini, membuatnya merasa rileks serta merasa hangat. Terutama pada bagian hatinya.

"Na, kau baik-baik saja?"

"Eh? Iy-ya." Naura tergagap ketika suara Jongin menginterupsi lamunannya. Samar telinganya menangkap suara desahan Jongin. Begitu berat. Seolah tidak akan melihat Naura lagi.

"Perlukah aku ke apartemenmu?"

"Enggak usah." Buru-buru Naura menjawab, hampir berteriak mengalahkan suara anak burung-burung yang mencicit di pepohonan manakala induknya pergi mencari makan.

"Tapi kau sendirian di apartemenm. Sementara kau sedang sakit. Tak ada yang mengawasimu saat ini." Suara Jongin di seberang telepon makin terdengar cemas, mengalahi cemasnya seorang ibu ketika anak gadisnya pergi bersama pacarnya di malam minggu.

Naura bergumam sekilas. Berusaha mencari alasan yang tepat. Mengetuk-ngetuk bibir cherrynya. "Sebenarnya ... aku berada di apartemen Sunny. Semalam aku menginap di sini."

"Syukurlah." Jongin menarik napas lega, walau Naura dengan jelas menangkap nada kecewanya.

Maafkan aku, Jong. Naura menatap kosong perut buncitnya. Untung Jongin tidak tahu di mana apartemen Sunny berada. Jadi aman. Jongin takkan nekad datang ke apartemen sahabatnya. Selain itu, kebohongannya juga tidak akan terbongkar.

"Eum, sudah dulu, ya, Jong. Sepertinya aku harus istirahat total hari ini." Suara Naura nyaris tenggelam ketika berusaha mengakhiri kalimatnya.

"Lekas sembuh dan jangan lupa minum obatnya. Bila kau butuh bantuan, segera telepon aku, oke."

"Oke. Terima kasih banyak, Jong." Setelahnya Naura buru-buru menutup sambungan teleponnya. Ia sudah tak sanggup berbicara dengan Jongin karena kebohongannya. Sungguh, dirinya tidak tega membohongi Jongin seperti ini, dimana Jongin begitu dalam menaruh hati padanya. Akan tetapi, bila ia berkata jujur, bahwa dirinya izin kerja karena mengurusi Raka yang sakit, tentu Jongin akan makin kecewa padanya.

Huft, sekali lagi maafkan aku, Jong. Hanya kalimat di dalam hatinyalah yang saat ini diutarakannya. Seolah ada sosok Jongin berada di depannya saat ini. Sekaligus menenangkan hatinya sendiri.

"Kenapa tidak berkata jujur saja padanya."

Naura membeku mendengar suara berat dan serak menembus pendengarannya, bersamaan sepasang tangan kokoh melingkar erat di pinggangnya. Raka merengkuhnya dari belakang. Memeluknya dengan posesif - seperti semalam. Sepanjang malam Raka terus mendekapnya, seolah memastikan bahwa kejadian semalam bukanlah mimpi yang selalu menemani tidurnya tiap malam.

Naura bergidik manakala napas mint Raka mengembus tengkuknya ketika menyenderkan dengan nyaman kepalanya di bahu sempitnya. Menyesap wangi tubuhnya. Ia menggeliat geli. Tangannya menumpu di atas telapak tangan Raka yang mengelus perut buncitnya. Bayinya bereaksi. Menendang-nendang dinding perutnya, merasakan sentuhan hangat tangan Raka. Seketika dadanya dipenuhi rasa sesak bahagia. Seolah ada ribuan bidadari-bidadari kecil menari-nari di sekitarnya.

Sungguh Naura tidak bisa menjabarkan perasaannya seperti apa saat ini. Ini untuk pertama kalinya ia merasakan langsung tangan Raka mengelus perut buncitnya. Meski ia tidak memungkiri, sebelumnya Raka telah mengelus perut buncitnya. Tapi itu berbeda. Saat ini dia dalam keadaan sadar. Sedang sebelumnya dalam keadaan tidur, ia merasa itu seperti mimpi.

"Kalau aku berkata jujur, aku takut mengecewakannya."

"Biarkan saja dia kecewa, Na.”

“Ih, kamu jahat,” cibir Naura.

Well. Aku tak peduli.”

“Jangan gitu ih. Nggak boleh jahatin orang nanti kena karma.”

“Biar dia tahu, Na.”

“Tahu apa?”

“Sekarang kau benar-benar milikku. Dia tidak berhak lagi mengusikmu." Terdengar nada suara Raka naik setingkat. Kesal. Bila membayangkan wajah tampan Jongin, ingin sekali Raka menonjoknya kembali. Sudah jelas dia katakan Naura adalah miliknya, masih tetap main embat saja si Jongin.

"Enggak bisa begitu, Ka---"

"Dear," potong Raka cepat. Segera memutar tubuh wanitanya, hingga berhadapan dengannya. Sudut bibirnya tersungging senyuman menawan manakala menatap iris indah kekasih hatinya.

"Ya?" Dahi Naura berkerut. Irisnya menatap lekat wajah pucat Raka di bawah sinar mentari pagi. Kembali sudut bibir Raka mengembangkan senyuman lebar. Diselipkannya poni yang menjuntai Naura ke samping telinganya. Mengelus pipi putih mulus dan berisi itu.

"Bukankah itu panggilan untukku? Apa kau sudah lupa?" Raka mengingatkan sembari melayangkan kecupan ringan di dahi Naura. Naura bersemu merah. Tentu saja ia tidak pernah lupa. Dulunya ia memanggil Raka dengan sebutan Dear, dan Raka memanggilnya Baby.

"Karena kita sudah resmi balikan. Aku juga ingin panggilan sayang itu kembali. Oke, Baby." Raka mengedipkan sebelah mata. Mengelus pucuk kepala Naura dengan sayang.

Lihat selengkapnya