Dear, My Baby

Renny Ariesya
Chapter #28

28| Dalam Sekejap Mata

Range Rover itu bergerak dengan kecepatan standar. Melintas di jalan raya yang begitu padat bersama lampu-lampu mobil menghiasi jalanan, seolah ingin menyaingi bintang-bintang yang berkelap-kelip menghiasi langit malam. Raka melirik Naura. Kesunyian melanda keduanya. Seolah mereka berada di tempat kuburan dan itu sudah hampir lima menit berlalu, terhitung dari dirinya menjemput Naura pulang dari bekerja.

Lagi dan lagi Raka mengeluh pada kekasihnya dalam diam tanpa bisa berbuat banyak. Salah satu alasannya melarang Naura bekerja tentu saja karena pulang malam. Paling cepat jam delapan malam. Akibatnya akan berdampak pada kelelahan fisik, dan juga berpengaruh pada kandungannya. Tetapi, apa daya. Ia juga tak bisa terlalu keras melarangnya bekerja - walau pun ia sudah membujuk dengan mati-matian. Tetap saja ia kalah dari wanita yang dicintainya.

Raka menghentikan mobilnya tepat berada di depan resto yang menjual berbagai macam seafood. Mungkin saja dengan mengajaknya makan, akan membuat Naura kembali bersemangat. Diperhatikannya, sepanjang perjalanan, Naura tampak lesu dan tak berbicara sama sekali. Awalnya, dalam perjalanan tadi ia mengajaknya mengobrol. Tapi, pada akhirnya ia pun diam saat yang diajak bicara hanya mengeluarkan kata 'ya atau tidak' saja. Seolah dia adalah robot.

"Baby," panggil Raka dengan suara lembut namun tidak mengurangi rasa wibawa dan tegas dalam kata-katanya. Ia menempelkam bibirnya sekilas di pipi putih berisi itu. Memanfaatkan keadaannya ketika dalam fase blank. Entahlah, apa yang dipikirkan sedari tadi oleh kekasihnya.

Naura menoleh cepat saat merasakan pipinya dicium. Irisnya segera beradu dengan mata elang Raka yang jaraknya sangat tipis di antara mereka, bahkan ujung hidung keduanya saling bersentuhan. Ia bisa mencium aroma mint yang keluar dari mulut pria yang selalu mampu membuat debaran di dadanya meningkat tajam bak kesatria yang mengayunkan pedangnya ke leher musuh, berembus pelan menerpa wajahnya. Segera Naura memalingkan wajahnya, agar tidak terjadi tabrakan bibir. Cukup dengan tabrakan hidung saja, sudah membuat pendaran merah merona menari liar di wajahnya.

"Kenapa?" tanyanya setelah bisa menguasai hati dan pikirannya.

"Seharusnya aku yang bertanya." Raka mengelus perut buncit Naura di balik coat biru dongker yang dibeli olehnya.

"Ya?" Naura menaikkan salah satu alisnya. Tidak mengerti. Dibiarkan saja Raka mengusap perutnya, membiarkan bayinya menendang-nendang, selalu bereaksi setiap telapak tangan Raka menyentuh perutnya.

Raka menarik tangannya dari perut Naura. Kali ini iris abu-abunya begitu lekat memperhatikan iris cokelat bening Naura. Bila melihat iris indahnya, ia jadi ingat pada satu wanita yang bila tidak diselesaikan masalahnya akan menjadi batu penghalang paling besar antara dirinya dan Naura, Tesha.

Bagaimana kabar wanita yang sebentar lagi menjadi mantan tunangannya itu? Karena dirinya sakit beberapa hari ini, terpaksa dia menunda kepulangannya ke Indonesia untuk bertemu dengannya.

"Kau ingin makan?" tawar Raka setelah mengenyahkan masalahnya bersama tunangannya. Diselipkannya poni Naura yang menjuntai ke samping telinganya.

"Kau lapar?" Naura balik bertanya, membiarkan kekasih hatinya memainkan ujung rambut almondnya.

"Tidak."

"Kau sudah makan?"

Raka mengembuskan napas pendek. Kenapa dirinya yang jadi ditanyai. Jari-jarinya bergerak-gerak mengikuti helaian rambut Naura.

"Sudah," katanya menjawab jujur. "Kau sendiri?"

"Belum, tapi aku lagi gak mood makan, Dear." Naura buru-buru menjawab sebelum pria yang paling tidak suka dibantah perintahnya ini mengeluarkan protes keras dari celah bibir tebalnya.

"Jangan begit---"

"Aku tahu. Kalau lapar aku juga bakalan makan, kok. Gak bakalan nahan-nahan lapar, kasihan debaynya," potong Naura sambil mengelus sayang perut buncitnya.

Lagipula tak perlu khawatir. Kemarin masih sempat belanja mengisi kulkasnya sebelum kembali ke rumah Raka, mengurusnya yang masih sakit. Hari ini dirinya memutuskan bekerja karena pria yang kembali mengisi hari-harinya ini sedikit membaik. Diliriknya penampilan Raka, memakai kemeja putih yang sudah tidak rapi lagi. Lengannya digulung sampai batas siku dengan kancing kemeja teratas dibiarkan terbuka hingga dada bidangnya sedikit mengintip.

Naura menggembungkan pipi. Sedikit kesal. Baru saja sembuh hari ini, Raka sudah mulai bekerja. Sebenarnya ia ingin protes. Tapi diurungkan mengingat sifat Raka keras kepala soal pekerjaannya. Tidak bisa memungkiri juga, sifatnya hampir mirip dengan kekasihnya ini bila menyangkut ke pekerjaan.

"Kenapa, Baby?" Raka berkata setelah akhirnya memutuskan untuk menyerah, tidak memaksa kekasihnya untuk makan. Ia menghidupkan kembali Range Rovernya, perlahan meninggalkan parkiran resto seafood bersama angin dingin menyertai.

"Ya?"

"Apa di dalam pikiranmu hari ini hanya ada kosa kata ya atau tidak saja, Na?"

Naura tercengir sembari mengelus batang hidungnya. Entahlah. Dirinya saja bingung.

"Kenapa denganmu? Sepertinya kau tampak lesu? Kau sakit?" Dari nada bicaranya, Raka sangat cemas terhadap Naura. Ia khawatir Naura mulai tidak enak badan karena kelelahan mengurusinya selama dua hari ini, ditambah lagi seharian ini sudah masuk kerja.

Lihat selengkapnya