Naura menutup pintu Range Rover dengan keras. Dentuman suara pintunya bagai bom atom yang mengudara di distrik Hiroshima kepualaun Jepang, hingga Raka mengembuskan napas dan mengacak rambut hitam lebatnya. Tentu saja Raka tahu, Naura marah padanya akan tindakannya, yang kata sang kekasih--sepanjang jalan mengomelinya--menjuluki tindakannya adalah bar-bar.
Oh, ayolah. Siapa yang tega membiarkan begitu saja sang pemilik hati tinggal di tempat yang lingkungannya tidak terlalu aman dan sehat, ditambah lagi tinggal sendirian. Terlebih dirinya melihat dengan mata kepala sendiri, ketika berada di dalam lift, mereka selalu memergoki sepasang anak cucu adam sedang berciuman. Takutnya akan berdampak pada berkembangan janin dalam kandungan Naura bila selalu melihat hal begituan.
Sementara dia sendiri punya tempat tinggal lebih dari layak. Yang pastinya sangat aman, serta tidak akan membuatnya cemas terhadap ibu dari calon anak-anaknya. Perlu diketahui. Memindahkan Naura ke rumahnya adalah agenda pertamanya ketika mereka kembali menjalin hubungan. Tak ada yang bisa mengganggu gugat keputusannya.
"Jangan ngambek dong, Baby." Raka turun dari tunggangannya. Mengikuti langkah Naura yang berhenti tepat di depan pintu rumahnya. Naura berbalik dengan kedua tangan bersilang di dada. Menunggunya membukakan pintu tanpa berbicara sama sekali padanya. Raka merogoh saku di balik hoodienya, mengambil kunci rumah.
"Di mana semua barang-barangku." Naura berkata setelah berada di ruang tamu. Pandangannya menajam memperhatikan ruangan luas di sekitarnya.
"Ada." Raka menjawab ambigu hingga membuat Naura memiringkan kepala. Tidak terlalu mencerna makna ucapannya.
"Ada di mana? Lagian kenapa harus dibawa ke rumahmu, sih." Naura bersungut kesal sembari melepaskan mantel yang melekat di tubuh berisinya. Rasa kantuk yang ditahannya ketika pulang bekerja tadi telah lenyap entah ke mana semenjak barang-barangnya raib dari apartemennya.
"Dan nggak ngomong-ngomong lagi sama aku," tambahnya seakan tidak puas untuk mengomel, meski dirinya sudah mengomel sepanjang perjalanan menuju kemari.
"Duduk dulu. Jangan berdiri terus, nanti kakimu sakit." Sebelum menjawab omelan Naura, Raka mengambil mantel berbulu Naura di lengannya dan menuntunnya duduk di sofa. Setelah menyampirkan mantel ke sandaran sofa, barulah ia menjawab pertanyaan Naura.
"Dengar, Na," Raka meraih tangan Naura. Mengelusnya dengan sayang. "Sudah kuputuskan, mulai sekarang dan seterusnya kau tinggal bersamaku."
"Apa!"
"Ya. Tinggal bersamaku, selamanya," imbuh Raka tegas. Setegas mata elangnya menatap pendaran yang menari-nari bagai cahaya lampu disco di bola mata sang kekasih.
"Astaga!" Naura mengelus perut buncitnya ketika bayinya menendang. Sepertinya sang bayi ikut merasakan terkejut saat berteriak tadi. Begitu syok akan keputusan Raka yang tiba-tiba.
"Keputusanku bukan tiba-tiba hari ini saja, Baby." Kembali Raka berkata, seolah bisa membaca apa yang ada dalam benak kekasihnya saat ini.
"Aku sudah memikirkannya, jauh sebelum kita kembali bersama," Tangan Raka beralih mengelus perut buncit Naura--dilihatnya Naura meringis sakit--menenangkan bayinya. "Saat kau tinggal di apartemen sendirian di pulau Jeju ini."
"Tapi--huft. Ya, sudahlah," Naura mengangkat bahu. Kehabisan kata-kata. Tak ada gunanya lagi protes sebab itu percuma saja. Ia tahu benar sifat kekasihnya. Dalam kamusnya tidak mau mendengar ada kata bantahan, bila menurutnya itu benar. Maka akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. "Lalu mana semua barang-barangku," lanjutnya.
"Ada di kamarku."
"Semuanya?" Naura membelalak lebar tak percaya. Masa seluruh isi apartemennya berada di kamar Raka. Rasanya sungguh mustahil.
"Memang mustahil." Raka menjawab apa yang ada dalam benak Naura. Menyugar rambutnya sekilas. Sudut bibirnya tersenyum tipis seolah menyembunyikan sesuatu.
"Jangan bercanda. Aku serius, kau ke manakan barang-barangku."
"Di kamarku." Sekali lagi Raka mengulangi ucapannya.
"Termasuk kulkas? Lemari? Sebatang sofa? Tempat tidur?" Naura mengabsen satu persatu barang yang ada di apartemennya.
"Itu ..." Raka mengusap tengkuknya sembari tercengir lebar. Ia tahu kalimat yang akan meluncur dari belah bibirnya nanti--akan membuat rumahnya bergejolak bagai berada di atas lautan ketika badai menghampiri. Raka menelan air liur sebentar, seakan bisa memprediksikan mulutnya tidak akan bisa memproduksi saliva dalam beberapa detik ke depannya.
"Kurasa kau ... tidak membutuhkan barang-barang itu di rumah ini. Jadi ... kulkas dan sejenisnya sudah kusumbangkan pada yang lebih membutuhkan."
"Apa!! Arrrgh!" Naura memekik. Lengkingan suaranya nyaris menyamai penyanyi solo USA--Mariah Carey--ketika menarik nada tinggi. Buru-buru mengelus perut buncitnya. Menarik napas dalam-dalam, menenangkan dadanya yang bergemuruh. Nyaris saja bayinya keluar akibat kontraksi dini.
"Sayang, kau baik-baik saja." Raka ikut mengelus perut buncitnya. Diraut wajahnya yang tampan terlukis segurat kecemasan.