"Astaga! Masih molor?" Naura berkacak pinggang kala mendapati Raka masih meringkuk nyaman di balik selimut tebalnya. Ia pikir, saat masak di dapur tadi Raka telah bangun dan melakukan aktifitas rutinnya. Misalnya jogging mengelilingi kompleks perumahan, atau--bila cuaca tidak mendukung di luar--melakukan treadmill di ruang khusus fitness. Bila tidak olahraga, biasanya pria dengan model rambut undercut ini mengurung dirinya di ruang kerjanya - memeriksa hasil pekerjaan kantornya.
Tidak biasanya Raka bermalas-malasan di pagi hari. Atau memang benar-benar kelelahan karena urusan kantornya? Naura bisa memahaminya. Sebagai CEO di perusahaan besar, Raka jarang punya waktu kosong, apalagi sudah semingguan ini dia sakit. Tentu banyak yang harus diurus.
"Dear, wake up. Wake up. Sudah siang, masa kalah sama ayam." Naura mengguncang-guncang tubuh besar Raka. Menyibak selimut tebal berwarna biru polos. Tampak Raka meringkuk bagai janin dalam kandungan. Ia hanya menggeliat sebentar. "Ayo, bangun!"
"Ini hari minggu, Baby," gumam Raka dengan suaranya yang begitu serak dan dalam. Ditariknya guling dan memeluknya sangat erat. Seolah guling itu adalah tubuh berisi Naura. Selain itu, ia tampaknya malas menggerakkan tubuh besarnya.
"Astaga! Jangan mentang-mentang hari ini libur bisa molor sampai siang. Ayo, bangun!" Kali ini Naura menarik-narik selimut yang melilit di ujung kaki Raka.
"Bentar lagi, Baby."
"Enggak bisa, Dear."
"Kali ini saja, Baby," mohon Raka seraya mengerang samar. “Please, Baby.”
Naura mengembuskan napas. Menyerah. "Oke. Tapi jangan lama-lama ya. Enggak baik juga tidur kesiangan. Nanti banyak penyakit yang hinggap di tubuhmu."
"Oke, nyonya cantik, Abang mengerti." Raka tersenyum senang ketika Naura kembali menyelimuti tubuhnya. Membiarkannya bergulat kembali dengan selimut dan bantal. Ya, kali ini saja, biarkan ia tidur dengan nyaman tanpa ada beban pikiran. Setelah bisa bernapas lega usai memutuskan pertunangannya dengan Thesalia. Dan setelah ini membawa Naura ke hadapan orang tuanya - sesuai dengan rencananya semalam. Omong-omong soal orang tuanya ...
Raka tersentak. Secepat kilat bangun dari baringannya--seolah tak peduli pada bantal guling yang seakan bersedih ketika dia menyingkirkannya dari dekapannya--hingga membuat Naura mengerutkan dahi akan reaksi tiba-tibanya.
"Kenapa, Dear?" Naura menatap lekat Raka. Memperhatikan penampilannya. Rambut hitamnya tampak acak-acakan.
Raka tidak serta merta menjawab. Melompat dari tempat tidur. Berjalan agak gesa ke arah kamar ganti pakaian dengan Naura yang mengiringinya. Tercetak jelas di dahi Naura rasa kebingungan. Raka membuka lemari pakaian. Mencari jas yang dipakainya kemarin. Setelah menemukan jasnya - ternyata telah ditumpuk dengan pakaian kotor di samping pintu. Merogoh sakunya. Sudut bibir sensualnya terangkat ke atas, tersenyum manakala menemukan apa yang dicarinya. Dua buah tiket. Yup! Tiket perjalanan ke Jakarta. Setelah memutuskan pertunangannya kemarin siang dengan Thesa. Tanpa mengulur waktu lagi ia pun membeli tiket untuk kembali ke tanah air. Sesuai janjinya dengan Cathie. Hari ini atau besok ia akan pulang ke Jakarta.
"Apa itu, Dear?" Naura memiringkan kepala. Alis simetrisnya bertautan kala memperhatikan senyuman lebar menari-nari di belah bibir Raka sembari menimang amplop di tangannya. “Amplop apa itu?”
"Oh, ini ..." Raka memberikannya ke tangan Naura. "Tiket," lanjutnya seraya menyugar rambut hitamnya. Baru sadar rambutnya sangat berantakan saat irisnya menatap pantulan tubuhnya di kaca.
"Tiket?" tanya Naura makin bingung. Ditatapnya bolak-balik amplop cokelat di tangannya tanpa membukanya sama sekali.
Raka menuntun Nauraa keluar dari kamar ganti pakaian. "Tiket pulang ke Jakarta. Sesuai janjiku, kita akan liburan ke Indonesia.”
Raka memutar kembali tubuh berisi Naura, menghadap padanya. Mendaratkan kecupan ringan di dahinya. Tampak rona kemerahan menari-nari di wajah Naura. Setiap kali Raka mendaratkan bibirnya di atas dahinya, selalu membuatnya tersipu malu.
"Kapan berangkatnya?" kembali Naura mengajukan pertanyaan.
"Siang nanti."