Dear, My Baby

Renny Ariesya
Chapter #34

34| Dua Nama Satu Orang

Entah berapa lama Naura diam berdiri. Seolah tak mempedulikan waktu yang terus bergulir. Seolah tak peduli pada rasa lelah yang menggelayuti kakinya. Seolah tak peduli pada bau obat-obatan yang menyengat hidungnya. Seolah tak peduli pada hilir mudik beberapa perawat di sekitarnya. Irisnya hanya terpaku pada sosok lemah di atas tempat tidur dengan selang infus melilit di pergelangan tangannya. Kelopaknya dengan setia menutupi kedua belah matanya.

Kenapa jadi begini, batin Naura. Tangannya terkepal erat di dalam saku coatnya. Pandangannya menyayu. Ekspresi penyesalan dan kebingungan memenuhi wajah manisnya.

"Baby." Raka menepuk lembuk pundak Naura. Menyadarkan dari rasa terpakunya.

"Duduklah dulu. Sekalian ada yang ingin kubicarakan padamu soal Thesa” Raka menatap sejenak wajah Thesa sembari menuntun Naura.

"Sebaiknya kita bicara di luar saja," imbuhnya. Mata elangnya menatap sekilas pada dokter bername tage Claudia Kim di jas dokternya. Membiarkannya memeriksa mantan tunangannya.

"Kau tidak perlu cemas terhadapnya," Raka kembali berkata setelah mereka duduk di kursi tunggu rumah sakit. Sekali lagi ia mengembuskan napas pendek. Kembali meneruskan penjelasannya dengan jujur. "Thesa memang punya penyakit jantung lemah semenjak dari kecil---itu kata Mr. Brown saat mengenalkannya padaku. Katanya pula Thesa sering pingsan. Aku sendiri baru melihat Thesa pingsan sekarang ini.”

Ya. Mana tahu Raka keadaan Theresia yang sebenarnya. Setelah mereka bertunangan dan memutuskan hubungannya dengan Naura, saat itu juga segera pergi ke luar negeri. Menetap di sana selama dua tahun lebih untuk menyembuhkan luka hatinya. Hanya Theresialah yang sering mengunjunginya. Itu pun, ia selalu bertindak acuh dan tak peduli padanya.

"Kak Tere punya riwayat sakit jantung lemah sedari kecil?" Naura nyaris bergumam. Dari nada bicaranya tidak bisa mempercayainya.

Tidak mungkin, sangkal Naura dalam hati. Ia sangat mengenal Theresia. Gadis itu sangat sehat sekali. Bahkan ketika dia dan Theresia di panti asuhan. Gadis itu sering membuat onar. Sering mengganggu anak-anak panti lainnya. Sering merampas mainan anak-anak lainnya. Jadi dari mana mungkin Theresia mendapatkan sakit jantung lemah?

Kecuali kak Tere berbuat licik demi ... ya, Tuhan! Naura tercekat sendiri dengan pemikirannya. Bukan tidak mungkin Naura berpikir demikian. Sebab sangat tahu sifat keras kepala Theresia. Menghalalkan berbagai cara demi mendapatkan keinginannya. Naura ingat ketika seminggu dia dan Theresia di panti asuhan. Theresia sudah membuat anak seumurannya masuk rumah sakit dengan cidera patah tulang akut. Theresia mendorong anak itu hingga jatuh dari tangga hanya demi mendapatkan boneka di tangannya. Dan bukan hal yang mustahil pula, bila Theresia berbuat nekad dengan berpura-pura sakit demi mendapatkan Raka di sisinya.

"Na." Raka meraih tangan Naura dan menggenggamnya dengan erat. Iris abu-abunya memancarkan perasaan yang mendalam dan penuh harap pada Naura.

"Soal aku dan Thesa sudah berakhir. Aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa pun lagi. Sekali lagi maafkan aku. Sebelumnya aku tak jujur padamu." Lagi, Raka harus berkata jujur dan mengakui kesalahannya.

Naura diam tak menyahut. Ia hanya tertunduk. Perasaannya campur aduk.

"Memang awalnya Thesa adalah tunanganku. Kau tahu penyebab kita putus? Kenapa tiba-tiba aku memutuskanmu?"

Lagi Naura hanya bergeming. Ingatannya segera melayang pada kejadian dua tahun lebih. Tanpa ada angin dan hujan, tiba-tiba saja Raka memutuskan hubungan mereka setelah melakukan kencan indah.

Raka mendesah pendek. Diacaknya rambutnya menjadi sangat berantakan. Sungguh tidak disangka masalahnya akan jadi serumit ini setelah memutuskan pertunangannya dengan Theresia.

"Penyebabnya karena Daddy memaksaku bertunangan dengan Thesa. Ia menyuruhku meninggalkanmu dengan menjadikan Mommy sebagai ancaman untukku. Dan kurasa kau tahu alasan terbesar Daddy menyuruhku bertunangan dengan Thesa, Na," jelas Raka jujur.

Tentu saja Naura tahu. Semua karena keturunan. Siapa yang mau menghabiskan waktu sia-sia dengannya tanpa bisa memberikan keturunan. Mungkin juga itu yang dipikirkan oleh Mr. Andrew dan Raka sendiri. Naura tidak bisa menyalahkan keduanya sepenuhnya. Sebagai manusia normal, bohong dan terlalu munafik bila menikah tidak menginginkan keturunan. Siapa pun tentu ingin punya keturunan untuk meneruskan silsilah keluarga. Hanya saja ... bila saja mereka bisa sedikit bersabar tentu semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Ya. Hanya perlu bersabar sedikit lagi. Tentu akan ada jalan.

Bukankah Tuhan juga memerintahkan kepada hamba-hambanya untuk terus bersabar dalam mencari rahmatnya? Di balik penderitaan pasti ada kebahagiaan. Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Semuanya sudah diatur. Dan buktinya sekarang ia bisa hamil. Itu pun benih dari Raka sendiri dengan melalui perantara sahabat mereka sendiri, Neil.

"Dan sekarang kau tak perlu mencemaskan semuanya, Na." Sayup suara bass Raka merangsek masuk ke telinga Naura. Menghancurkan lamunannya seketika. "Percaya padaku. Hubungan kami sudah berakhir. Yang aku inginkan hanya bertanggung jawab padamu dan anak kita."

Naura mengembuskan napas pendek. Tak bisa berkomentar apa pun. Bingung bagaimana mengambil sikap selanjutnya. Keraguan kembali memenuhi pikirannya. Apalagi melihat Theresia terbaring lemah seperti itu. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, ia juga meragukan sikap Theresia.

"Sudah kukatakan tidak perlu kau memikirkannya, Na." Raka berkata seolah bisa membaca jalan pikiran Naura saat ini. Berusaha meyakinkan hati yang mulai ditumbuhi keraguan.

"Yang sekarang kau pikirkan adalah fokus saja sama kelahiran anak kita dan pernikahan kita. Oke?" Raka menggenggam begitu erat tangan Naura. Di dalam hatinya penuh dengan harapan terhadap keputusan Naura.

"Na, tolong bicara," lanjut Raka dengan hati gelisah. Sedari tadi Naura belum sama sekali membuka mulutnya.

"Entahlah, Dear. Aku ... aku ..." Naura tak sanggup untuk melanjutkan ucapannya dikala hatinya dipenuhi rasa bimbang. Bibirnya bergetar berusaha menahan rasa sesak di dada dan cairan bening yang tertahan di pelupuk matanya. Seolah mengerti apa yang tengah dirasakan Naura, segera Raka memeluk tubuh berisinya. Mendekapnya dengan erat.

“Tidak apa-apa. Tak usah dijawab bila memang berat untuk saat ini. Tapi kumohon satu hal padamu. Jangan bertindak gegabah. Pikirkan masa depan bayi kita, oke?” bisik Raka serak di telinga Naura.

Lihat selengkapnya