"Sudah kukatakan dari kemarin, kita sudah tidak punya hubungan lagi. Aku sudah bersama Naura." Raka membuka percakapan ketika hanya ada dia dan Theresia saja di ruangan. Theresia tidak mengamuk lagi. Keadaannya jauh lebih tenang dari lima menit yang lalu.
Theresia mendengkus mendengar penjelasan Raka. Sangat tidak suka mendengarnya. Kenapa harus Naura yang menjadi batu sandungan antara dia dan pria yang paling diinginkannya menjadi pasangan hidupnya ini. Itu mengapa ia tidak menyukai saudara perempuan satu-satunya ini. Setiap orang melihat mereka berdua, selalu membandingkannya. Naura jauh lebih manis ketimbang dirinya. Naura lebih baik ketimbang dirinya. Naura lebih menyenangkan ketimbang dirinya. Naura inilah. Naura itulah. Hingga membuat kupingnya panas mendengarnya. Diakuinya saudara perempuannya memang satu tingkat lebih baik dari dirinya.
Di tengah orang yang selalu membandingkan mereka berdua, ibunya tidak demikian. Ibunya lebih memilih dirinya dibanding Naura. Meski jauh di sudut hatinya, ia sakit akan sikap dan perlakuan ibunya. Ternyata di balik semuanya, ibunya hanya ingin memperalatnya. Dijadikan tameng untuk ayah tirinya. Karena ibunya tahu, Naura terlalu polos dan baik untuk dijadikan korban. Ia mengetahui semuanya ketika ibunya akan meninggal dan membuka rahasianya. Itu pula alasannya kenapa dia tidak mau mengakui Naura sebagai saudara perempuannya dan tidak sudi bersamanya lagi.
"Jauh sebelum aku bertunangan denganmu, aku dan Naura sudah berpacaran selama lima tahunan."
"Tapi itu dulu. Sebelum kau bertunangan denganku.” Theresia berkata sengit. Hatinya menolak untuk menerima penjelasan Raka.
Raka menggeram samar. "Kau tahu penyebab kami putus?" tekannya. Seolah tidak ingin memberikan pengharapan pada gadis yang terbaring meringkuk di sudut tempat tidur. Membelakanginya. Menyembunyikan kepalanya di balik selimut.
"Itu semua karena kau!" imbuhnya dengan nada begitu dingin.
"Karena aku?"
"Kalau bukan kau memaksa Mr. Brown dan Daddy untuk bertunangan denganku, tentu semua itu takkan terjadi."
Theresia menggeletukkan gigi. Amarahnya kembali meluap. Semua karenanya? Jangan salahkan dia sepenuhnya. Salahkan Andrew yang menerima dan menyanggupi permintaan dari ayah tirinya.
"Salahkan Om Andrew. Kalau kau sudah punya pacar, kenapa Om Andrew masih mau menerima permintaan dari Papa." Theresia mendengkus keras. Dilemparnya selimut putih dari tubuhnya dengan kasar ke lantai. Pandangannya menajam menatap Raka - bersidekap di samping tempat tidur.
Raka terdiam sesaat. Itu memang benar. Jelas Andrew menginginkan keturunan darinya. Sedang saat itu Naura diketahui tidak bisa hamil. Karena tak ada masa depan yang pasti dari Naura, maka Andrew memaksanya untuk mengakhiri hubungannya. Memaksanya bertunangan dengan Theresia. Menyesal Raka rasakan sekarang ini. Andaikan saja kala itu ayahnya bisa bersabar atas hubungannya dengan Naura. Tentu saat ini dirinya sudah bahagia bersama Naura - menunggu calon bayi mereka lahir ke dunia.
"Itu karena Daddy memaksaku memutuskan Naura.” Suara Raka terdengar begitu rendah.
"Astaga! Ternyata Om Andrew enggak menyukai Naura, toh. Bisa dipahami. Mana mau dia bermenantukan gadis miskin seperti Naura.” Theresia berkata sinis.
"Tutup mulutmu! Jangan pernah pernah menghina Naura! Jangan asal bicara kalau tidak tahu masalah sebenarnya!" hardik Raka dengan wajah merah padam menahan amarah. Andaikan saja gadis di depannya ini berjenis kelamin sama dengannya, sudah tentu Raka tinju sekuat tenaga.
"Dahulunya Daddy merestui hubunganku dengan Naura. Tapi karena tahu Naura saat itu tidak bisa hamil, Daddy menjadi kurang suka padanya. Kemudian ayahmu datang pada Daddy, hingga membuat Daddy berubah pikiran."
Naura enggak bisa hamil? Theresia tertegun sejenak. Tetapi rasa tertegunnya hanya sementara saja. Dikibaskan rambutnya sekilas. Seolah tak acuh dengan masalah yang dialami Naura. Tak peduli sama sekali.
"Aku setuju dengan pemikiran Om Andrew. Dengan kau bersama Naura, enggak akan punya masa depan. Sedang bersamaku, akan punya masa depan yang cerah." Theresia berkata penuh keangkuhan.
"Omong kosong! Masa depanku tentu saja bersama Naura dan calon anakku."
"Calon anakmu? Jadi kau benaran selingkuh dengan Naura sampai hamil begitu! Keterlaluan." Theresia makin meninggikan volume suaranya. Ia mendelik tajam.
"Selingkuh? Jangan asal menuduh." Raka tak kalah tajam melotot. "Asal kau tahu, Naura hamil karena proses inseminasi, dan bibit spermanya itu dariku."
"Demi bisa mendapatkanmu dia rela hamil melalui jalan inseminasi dengan menanam benih darimu. Ternyata Naura licik juga untuk merebut posisiku."
"Tutup mulutmu!" Seketika Raka berdiri. Dadanya naik turun menahan luapan amarah yang semakin menumpuk di dada. Pandangannya makin menajam laksana mata pedang katana hingga membuat Theresia gemetaran. Seolah tatapannya mampu mengulitinya detik ini juga. Raka menunduk, mencondongkan tubuh besar atletisnya ke arah Theresia. Gadis itu beringsut mundur ketakutan. Nyalinya menciut. Dalam hati merutuki ucapannya yang tidak disaring terlebih dahulu hingga memprovokasi sang raja hutan keluar dari sarangnya.
"Jangan pernah mengatakan hal buruk tentang Naura. Naura tidak seperti yang kau katakan," bisik Raka penuh penekanan. "Naura merebut posisimu? Biar kuperjelas padamu. Kaulah yang sebenarnya mengambil posisi Naura. Menyingkirkannya dari sisiku."
Theresia terkesiap. Darahnya berdesir halus mendengar sindiran tajam Raka. Sindirannya begitu telak menghujam jantungnya.
"Mulai sekarang kita sudah tak ada hubungan apa pun lagi, Thes---ah tidak, seharusnya aku memanggilmu Theresia Almira Atmajaya." Sudut bibir Raka terangkat ke atas, tersenyum sinis. Segera menarik kembali tubuhnya seperti semula. Berdiri tegap. Dada Theresia bergemuruh hebat. Rahangnya mengeras kaku.
"Kenapa? Kau terkejut? Bukankah kau kakak kandung Naura? Oh aku tahu ... kau takut tidak mendapatkan simpati dari Daddyku lagi. Karena tahu mantan calon menantunya tidak sebaik yang disangkanya. Sikapnya begitu buruk."