Kurang lebih sepuluh menitan Andrew menghabiskan waktu hanya mondar-mandir dengan ekspresi campur aduk. Marah, bingung dan syok mendominasi perasaannya saat ini. Antara percaya dan tidak pada kejadian yang dialaminya. Dihentikan langkahnya. Membalik tubuhnya, pandangannya segera tertuju pada sepasang anak cucu adam dan hawa; duduk di sofa panjang di ruang keluarga. Tak jauh darinya berdiri, sang istri--Cathie--duduk di sofa tunggal dengan wajah sembab serta kebingungan - tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakannya.
Andrew mengembuskan napas. Memijat dahinya yang berdenyut. Sepertinya, setelah ini dirinya akan memeriksakan tensi darahnya karena kejadian bertubi-tubi hari ini. Ditatapnya Raka dan Naura. Keduanya saling bergenggaman tangan, seolah takut akan dipisahkan. Bahkan Andrew dengan jelas melihat ekspresi wajah Raka begitu serius. Dipancaran iris abu-abunya ia menemukan sebuah keyakinan yang begitu kuat, tidak goyah oleh apa pun. Seolah tiang besi yang begitu kokoh berdiri di pinggiran jalan. Tetap berdiri tegak meski pun ada badai, hujan dan angin menerpanya setiap saat.
Mata elang Andrew kini tertuju pada Naura seorang - sepenuhnya menjadi pusat perhatiannya. Tak jauh berbeda dengan wajah Cathie. Wajah manis Naura begitu sembab. Tampak kedua pipi putihnya sangat merah. Serta iris cokelat beningnya memancarkan perasaan cemas.
Berulang kali Naura mengigiti bibir plumnya, berusaha menekan rasa takutnya. Buru-buru ia menundukkan kepala, menatap ujung sandal berbulunya manakala matanya beradu pandang dengan mata dingin Andrew. Tak berani lagi ia mendongak ke atas ketika Andrew memperhatikannya begitu lekat. Samar dielusnya perut buncitnya. Dirinya tahu, kedua mata Andrew tertuju pada perutnya di balik jubah tidur kebesaran Raka yang dipakainya. Tak sempat lagi ia mengganti piyama hamilnya dengan gaun ketika mendengar suara ribut-ribut di lantai satu. Bahkan rambut almond panjangnya dibiarkan saja tergerai - tak punya waktu untuk merapikannya.
“Apa benar yang dikatakan Naura, Raka. Kau bertanggung jawab padanya?” Akhirnya Andrew membuka percakapan setelah sekian lama kebisuan mendominasi ruangan yang hawanya sedari tadi terasa panas dan mencekam. Ditatapnya secara bergantian Raka dan Naura seraya bersidekap. Kedua alisnya bertautan memperhatikan perut buncit Naura sambil berpikir. Beberapa pertanyaan telah tersusun apik di kepalanya. Siap untuk dikemukakan pada dua orang berbeda jenis kelamin ini.
Andrew tidak menyangka Naura bisa hamil. Bukankah iabilang dirinya tidak bisa hamil? Lalu ... siapakah ayah dari bayi yang dikandungnya? Benarkah putranya yang menghamilinya? Bukankah selama ini mereka sudah putusan? Apakah mungkin mereka berdua melakukan backsreet?
Astaga! Andrew menarik napas dalam-dalam. Memijat tengkuknya yang terasa kebas - bagai kepalanya dihimpit dengan besi baja yang beratnya berton-ton. Sungguh ia butuh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya.
Raka menarik napas dalam-dalam. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Naura. Tampak begitu dingin dan bergetar dalam genggamannya. Lewat gerakan tangannya, dirinya berusaha memberikan kode bahwa semua akan baik-baik saja.
“Jadi, alasan kau memutuskan pertunanganmu dengan Thesa karena ingin bertanggung jawab dengan Naura?” tanya Andrew untuk kedua kalinya kala Raka belum juga membuka mulutnya. Seolah ingin meyakinkan telinganya sendiri atas pernyataan Naura sepuluh menit yang lalu.
“Seperti yang Daddy lihat.” Raka menjawab ringan sambil mengangkat bahu. Suaranya tampak tegas. Dalam nada suaranya yang begitu serak tak ada keragu-raguan yang terdengar di telinga Andrew.
“Ya, Tuhan!” Andrew mendesah. “Jadi, anak yang dikandung Naura itu anakmu, begitukah?” Untuk kesekian kalinya Andrew meyakinkan hatinya sendiri.
Raka mengangguk mantap dan dengan tegas menjawab, “ya, anakku.”
Hampir saja Andrew pingsan kalau sang istri tidak cepat tanggap. Membimbingnya duduk di sofa seraya mengelus lengannya. Menenangkannya. Kali ini benar-benar yakin apa yang didengar langsung oleh telinganya. Sama seperti Andrew. Cathie juga tampak terkejut. Akan tetapi ... tak ada yang memperhatikan wajahnya, samar sudut bibirnya terangkat ke atas, tersenyum tipis mendengar Naura hamil anak dari putranya.
“Bukankah kau bilang kau tidak bisa hamil, Naura? Lalu apa ini?” Andrew beralih bertanya pada Naura. Tatapannya begitu sengit.