Tepat pukul setengah enam pagi, Naura selesai menyiapkan semua bahan untuk membuat pancake durian. Semuanya sudah tertata rapi di atas meja. Ada telur, gula pasir, tepung terigu, baking fowder, susu bubuk, dan air. Serta alat-alat dapur seperti mangkuk kaca berukuran sedang dan kocokan telur manual. Sengaja Naura tidak memakai mixer. Karena baginya kocokan manual saja sudah cukup untuk membuat adonan pancakenya mengembang sempurna. Naura mengetuk dagu sembari memperhatikan bahan-bahan pancakenya di atas meja. Mengabsen satu persatu.
“Sepertinya ada yang kurang deh,” gumamnya mengerutkan dahi.
“Tapi apa ya?” sambungnya seraya mengelus bibir merah mudanya. Berusaha berfikir.
“Telur sudah, gula sudah, tepung terigu sudah, baking fowder juga sudah ... Oh, iya. Buah duriannya.” Naura terkekeh menertawai dirinya sendiri. Masa pemeran utama dalam pembuatan bahan kuenya terlupakan begitu saja. Segera memutar tubuh berisinya, berjalan pelan ke arah kulkas. Mencari bahan utama buah durian sebagai varian rasa pancakenya. Kemarin sore, bersama Raka sepulang dari mengunjungi Theresia, (meski berakhir dengan kegagalan. Gadis itu tidak sudi bertemu dengan Naura) mereka berdua menyempatkan mampir ke minimarket sekitaran rumah sakit.
Saat berkeliling mencari bahan-bahan masakan, Naura menemukan buah durian montong impor dari Indonesia, meski di sebelahnya juga ada durian montong dari Thailand. Tetap saja Naura ingin membeli produk dari negara asalnya sendiri. Biar dikata dirinya berada di luar negeri, tetap dirinya mencintai segala produk dari tanah air tercintanya. Indonesia.
Astaga! Merasakan bau buah duriannya saja, membuat Naura makin rindu dengan tanah kelahirannya. Terutama rindu akan masakan-masakan bumi pertiwi yang melegenda sampai ke manca negara. Ada begitu banyak. Setiap membayangkan masakan tersebut membuatnya menelan air liur berkali-kali. Seolah makanan-makanan tersebut sudah berada di ujung lidahnya.
“Sabar, ya, Baby. Ini Mommy lagi bikin pancake kesukaanmu dan Daddymu lho,” ujarnya seraya mengelus perut buncitnya. Ketika hidungnya menangkap bau durian yang mengudara--mencemari seluruh dapur mewah ini--jabang bayinya menendang-nendang, seolah tak sabaran untuk ikutan mencicipi buah duriannya.
“Pantasan saja Raka nggak bisa move on darimu, Na. Kalau setiap hari dibuatin sarapan pagi begini.”
Suara lembut dari belakang Naura membuatnya terlonjak kaget. Nyaris saja dijatuhkan kocokan telurnya kalau tidak digenggamnya begitu erat.
“Eh, Tante.” Naura tersenyum canggung mendapati Cathie tersenyum manis padanya. Cathie telah berdiri di sampingnya, memperhatikannya yang kembali meneruskan kegiatannya. Tidak seperti beberapa detik yang lalu, tampak santai membuat kudapan paginya. Kali ini, di bawah Cathie yang mengawasi gerakannya, membuatnya sedikit rikuh kala memasukkan adonan pancakenya ke atas teflon. Memanggangnya.
“Buat apa, Na?”
“Um ... pancake durian, Tan...te,” jawab Naura gugup.
“Pantas saja bau wanginya sampai ke ruang kerja Raka.”
“Makanan kesukaan Raka akhir-akhir ini, Tante,” imbuh Naura seraya membalik pancakenya yang telah berubah warna menjadi kecokelatan.
“Anak itu. Semua makanan yang ada duriannya pasti disukainya.” Cathie menggelengkan kepala seraya mengingat wajah putra semata wayangnya. Barusan saja ditinggalkannya Raka bersama Andrew di ruang kerja. Membiarkan keduanya berbicara hanya empat mata, membahas masalah pertunangan Raka dengan Theresia, serta hubungan Raka dan Naura sendiri. Ia sendiri tidak ingin mencampuri urusan suami dan anaknya. Yang penting baginya, Raka bahagia. Tetapi, akan lebih setuju lagi bila Raka bersama dengan Naura. Terlebih Naura hamil anak Raka. Otomatis itu juga menjadi cucu pertamanya.
Cathie mengikuti Naura dari belakang, membawa pancake yang telah jadi ke atas meja makan. Diperhatikannya begitu lekat Naura menyiramkan sirup maple ke atas pancake. Sebagai hasil akhir ditambahkannya keju cheddar di atasnya. Cathie tersenyum melihat hasil kreasi masakan Naura. Dalam hati ia berkata, putranya tidak akan kelaparan bila Naura yang menjadi calon menantunya.
“Sudah berapa bulan kandunganmu, Na?” Cathie menjilat bibirnya di balik polesan lipstik merah hati.
“Baru jalan delapan bulan, Tan...te.” Naura menjawab canggung seraya meletakkan sisa kejunya ke atas meja dengan pandangan Cathie tiada lepas dari keju di tangannya.
“Panggil saja Mommy. Seperti dulu, Sayang.” Cathie berkata lembut seraya melarikan tangannya ke perut buncit Naura.
“Iya, Mom...my.” Mata Naura berkaca-kaca menahan haru. Hatinya dipenuhi rasa sesak bahagia. Ketika tangan Cathie menyentuh perutnya, seolah ia merasakan tangan ibunyalah yang mengelus perut buncitnya. Ya, Tuhan. Betapa dia rindu sosok ibunya yang telah tiada.
“Astaga, Naura. Baby-nya menendang-nendang.” Cathie berseru antusias.
“Babynya memberi salam sama Omanya.” Naura berkata dengan wajah penuh merah merona, membiarkan Cathie terus mengusap perutnya.
“Oh begitu, ya. Hallo Baby Boy. Ini Oma,” sapa Cathie tepat mensejajarkan wajahnya di depan perut besar Naura. Kemudian menciumnya dengan sayang seraya berkata; “cepatlah lahir Baby Boy, biar Oma ada teman ngobrol ... atau mungkin teman berantem dan adu mulut? He he he.”
***
“Bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Thesa?” tanya Andrew sepeninggal sang istri dari ruang kerja Raka. Kedua pria berbeda generasi ini duduk berhadapan di sofa panjang.