“Ya, Tuhan!”
Nyaris Andrew melempar sepatu pantofelnya ke kepala Raka bila tidak mengingat dalam pelukannya ada sosok wanita hamil yang dicintainya. Ia takut salah lempar dan justeru mengenai kepala Naura, atau bahkan justeru mengenai calon cucunya. Tidak. Ia tidak menginginkan hal itu terjadi. Andrew bukanlah Raka yang jago melempar apa saja tepat pada sasarannya.
“Kok, cepat sekali pulang dari rumah sakit?” Raka melepaskan dekapannya dari Naura sebelum meninggalkan jejak kecupan di dahinya, kemudian memandang bisa saja ayah dan ibunya. Sedang Naura, wajahnya sudah sangat merah padam. Ingin bumi menenggelamkannya sekarang juga. Selalu begini. Setiap kali bemesraan dengan Raka, selalu dipergoki oleh Andrew dan Cathie. Lima kali mereka bermesraan, lima kali juga mereka dipergoki.
Andrew membuka mantelnya dibantu Cathie. Setengah jam yang lalu, ia dan Cathie mengunjungi Theresia di rumah sakit, serta berbicara baik-baik dengan Denny. Meminta maaf pada sahabatnya atas perbuatan Raka. Tentu saja Denny marah besar. Dan ia tidak bisa berbuat apa pun untuk menenangkannya, membiarkan saja Denny menumpahkan kemarahannya.
“Kalau Daddy sama Mommy lama di rumah sakit, kau bisa terus-terusan bermesraan, begitukan,” balas Andrew jengkel. Duduk dengan penuh wibawa di sofa panjang di seberang dua sejoli ini. Sebelah kaki kanannya bertumpu di atas kaki kiri dengan pandangannya begitu tajam.
“Daddy tahu saja keinginan anak muda,” cengir Raka.
Andrew menggelengkan kepala. “Kalau begitu, segeralah menikah.”
“Itu sudah pasti, Dad,” sahut Raka cepat.
“Terus, kapan kalian akan menikah?”
“Kami sudah sefakat, Dad.” Raka mengggenggam erat tangan Naura. “Usai Naura melahir---”
“Kelamaan itu. Lusa kalian menikah!”
***
“Tak ada pilihan lain lagi, selain menuruti ucapan Daddy, Baby.”
Naura menengadah mendengar ucapan Raka. Setelah makan siang bersama, mereka kembali ke kamar. Ia berdiri dari sisi tempat tidur, beringsut berjalan menuju Raka; barusan keluar dari walk in closet. Menghela napas sekilas. Ditatapnya punggung kokoh Raka yang membelakanginya menghadap cermin, mematut pakaian formal kerjanya. Seharusnya Raka tidak usah masuk kerja dulu seperti dirinya. Sayangnya, sekretarisnya barusan meneleponnya. Memberitahukan ada rapat penting yang tidak bisa ditunda siang ini.
“Kurasa juga begitu, Dear.” Naura akhirnya berkata setelah memutar tubuh atletis Raka, membantunya memasangkan dasi berwarna silver ke leher jenjangnya.