[Day-5, menuju hari H pernikahan]
Naura meraih kalender duduk di atas meja nakas. Sembari membulati tanggal di kalender berjalan pelan menuju sofa panjang di ujung kamar. Dengan nyaman mendudukkan buttnya di sofa yang menghadap langsung ke jendela. Sinar mentari senja merangsek masuk ke dalam, menerpa kulit porselennya di balik gaun hamilnya.
Dua hari telah berlalu, tinggal lima hari lagi menuju hari H. Hari yang paling dinantikannya bersama Raka. Jantungnya--semenjak ditetapkan tanggal pernikahan--seakan tiada henti berdegup liar. Sungguh perasaannya tak bisa dijabarkan lewat kata-kata. Gugup, takut, bingung dan segala jenis perasaan bercampur aduk dalam dirinya. Ia rasa, Raka pun demikian. Sama gugupnya dari hari ke hari. Hanya saja, Raka pandai menutupi kegugupannya di balik ekspresi dingin yang menghiasi wajah tampannya sehari-hari.
Ditatapnya pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Terdengar suara kecipak air dari dalam. Raka sedang mandi. Ia baru saja pulang dari kantor dengan membawa setumpuk kartu undangan berwarna biru muda dengan bertuliskan tinta emas. Undangan pernikahan yang baru saja selesai dicetak.
Naura mengalihkan perhatiannya ke atas meja sofa. Diraihnya paper bag. Mengambil satu kartu undangan di dalamnya. Sudut bibirnya tersenyum bahagia manakala jemarinya menyentuh tulisan timbul bertinta emas.
{Naura & Raka}
Sungguh, Naura tidak pernah membayangkan akan sampai ke tahap ini. Pada akhirnya, cintanya pada Raka akan berlabuh di atas pelaminan. Sebulir cairan bening di sudut matanya perlahan jatuh membasahi kartu undangan yang telah diberi plastik transparan. Ia menangis ketika membayangkan wajah kedua orang tuanya. Di hari bahagianya nanti, kedua sosok paling penting dalam hidupnya tidak bersamanya.
“Hiks Ayah. Ibu ...” Kembali tetesan air mata membasahi kartu undangan pernikahannya. Semakin lama menatap kartu undangan di balik matanya yang buram oleh air mata, semakin deras pula cairan beningnya meluncur. Ketika pandangannya semakin memburam, nama Theresia muncul dalam benaknya.
Bagaimana dengan Theresia sendiri?
Sudah tiga hari ini belum mengunjungi Theresia yang kini dirawat di sebuah villa. Ingin dia melihat langsung keadaan kakaknya. Namun, perempuan itu masih menolak kehadirannya. Saat Raka menyambungkan teleponnya ke Mr. Brown--kemarin dan tadi pagi, Theresia tetap kekeuh menolaknya. Menurut kabar dari Mr. Brown, Theresia--entah bohong atau tidak--masih terbaring lemah di atas tempat tidur bersama selang infus melilit pergelangan tangannya, juga menolak makan. Sepertinya Theresia masih mengharapkan Raka kembali padanya. Masih menunggu hati Raka luluh padanya--meski itu tidak mungkin terjadi. Bahkan, Theresia semakin meraung-raung histeris setelah mendengar kabar pernikahannya bersama Raka akan digelar lima hari lagi.
“Kak Tere, maafkan aku.” Naura berbisik seraya menyeka air matanya. Ia tak bisa berbuat banyak terhadap Theresia. Ini bukan masalah kebahagiaannya sendiri. Bukan masalah egoisme semata. Tetapi ini demi bayi yang dikandungnya. Andaikan saja dirinya tidak hamil anak Raka, mungkin saja dia rela melepas pria yang dicintainya untuk Theresia.
“Baby? Kenapa menangis?”
Tanpa disadari Naura, Raka telah berdiri di sampingnya. Baru saja memakai kaus putih polos ke tubuh atletisnya. Samar Naura mencium wangi sabun dan sampo yang menguar dari tubuh Raka.
“Sudah kubilang jangan menangis lagi.” Raka berucap serak penuh nada kecemasan di dalam suaranya. Disekanya air mata yang berkilauan di pipi Naura. Mengembuskan napas pendek dan meraih tubuh berisi Naura ke dalam dekapannya.
“Ssst! Ini untuk terakhir kalinya kulihat kau menangis. Kecuali ... saat akad nikah nanti, baru kuizinkan kau menangis sepuasnya. Oke.” Hibur Raka sembari mengelus sayang punggung Naura.
“Kali ini apa yang kau tangisi, eum? Ditinggal aktor favoritmu menikah? Idola boybandmu ketahuan dating diam-diam sama pacarnya?” seloroh Raka.
“Ih, enggaklah, Dear.” Naura meninju dada bidang Raka. Samar bibirnya tersenyum tipis. Setidaknya, tangisannya tidak sehebat sebelumnya. Raka memang pintar menghibur hatinya.
“Ayah dan Ibumu sudah bahagia di atas sana. Mereka juga menyaksikanmu bahagiamu,” tutur Raka seolah tahu apa yang ditangisi oleh Naura. Dilepaskan pelukannya setelah berhasil menanamkan kecupan di puncak kepala Naura.
Naura mengangguk. Hatinya semakin tenang setelah mendengarkan penuturan Raka.
“Eh, katanya tadi mau ke tempat Sunny, jadi tidak?” tanya Raka mengganti topik pembicaraan--mengalihkan perhatian sang kekasih agar tak larut dalam kesedihan.
“Jadi dong. Kan mau memberikan undangan kita.”
“Kalau begitu bersiaplah. Aku tunggu di bawah, Baby.” Raka beranjak dari duduknya. Lagi dan lagi, ia mengambil kesempatan, mencuri ciuman ringan di bibir plum sang kekasih.
***
Raka menyapukan air kepermukaan wajahnya. Membasuhnya hingga bersih. Kemudian memandangi wajahnya di cermin sembari mengusapnya dengan lembut memakai handuk. Kali ini rasa kantuknya benar-benar hilang setelah membasuh wajahnya. Melirik ke arah tempat tidur, Raka merutuk dalam hati. Andaikan saja pria yang mendengkur halus itu tidak memeluknya sambil meracau, tentu saja dirinya masih tidur di tengah malam buta seperti ini.
Oh, tidak. Seharusnya ia tidak terjebak dengan Do-jin di kamar ini, andaikan saja Sunny tidak membujuk Naura untuk menginap di sini. Hell. Raka mengembuskan napas kasar ke udara, dengan gerakan cepat melempar handuk di tangannya ke arah Do-jin.
“Sial!” Raka mengacak rambutnya. Berjalan pelan ke arah pintu. Lebih baik meminum sesuatu. Siapa tahu bisa membuatnya kembali tidur--dengan catatan tidak satu tempat tidur dengan Do-jin lagi. Raka menghentikan langkahnya ketika melewati kamar Sunny. Bertanya-tanya dalam hati. Apakah Naura juga tidur nyenyak? Tidak dipeluk Sunny juga, kan.
Dengan langkah pelan Raka melanjutkan perjalanannya - menyusuri tangga. Dahinya mengerut memperhatikan ruangan dapur menyala terang. Mata elangnya menangkap bayangan seseorang sedang membuka kulkas dan membelakanginya.
“Naura?” gumamnya setelah memastikan sosok itu adalah kekasihnya, dan bukanlah halusinasinya.
“Dear?” Naura nyaris terkesiap. Kalau tidak mendengar suara Raka, mungkin dirinya akan berteriak kala merasakan seseorang memeluknya dari belakang.
Raka meletakkan dagunya di bahu sempit Naura. Menatap pantulan bayangan mereka di danding. “Kenapa? Tidak bisa tidur juga, Baby?”
“Sedikit.” Naura melepaskan kedua tangan Raka di pinggangnya, berjalan ke arah meja makan. Menggerutu sebal ketika membuka botol minuman airnya tumpah, memercik ke lantai membentuk bulatan kcil.
“Apa Sunny tidurnya juga mendengkur?” tanya Raka sambil memperhatikan Naura meminum air putih langsung dari botolnya. “Pelan-pelan, Baby. Lihat tumpah semuanya,” lanjutnya, dengan cepat mengusap ceceran air di sudut mulut Naura.
“Enggak.” Naura bersemu merah seraya menyingkirkan jemari Raka di bibirnya. “Hanya saja perutku sedikit mules.”
“Oh, ya. Mungkin karena bayinya belum mendapatkan sentuhan dari Daddy-nya. Iya, kan, Jagoan.” Raka melarikan tangannya ke perut Naura. Mengelusnya dengan sayang.