Dear, My Baby

Renny Ariesya
Chapter #42

42| Tak Sanggup

Lama Naura memandang layar hitam di gawainya. Ia terpekur.

“Kenapa kau tidak menyahut, Jong,” gumamnya sembari mengembuskan napas berat. Setengah jam yang lalu ia mendapatkan kabar dari rekan kerjanya. Kania. Gadis itu memberitahunya, bahwa Jongin telah berhenti dari perusahaan kemarin siang tanpa sebab dan kabar yang jelas.

Menghela napas pendek, Naura meraih satu kartu undangan di dalam tasnya. Memperhatikan nama Kim Jongin. Andaikan saja tidak terjadi insiden terpeleset, rencananya kemarin dirinya akan menyebarkan kartu undangan pernikahannya ke rekan-rekan di perusahaan. Menggelengkan kepala, perlahan Naura berjalan tertatih-tatih menuju inkubator. Sekarang ini pikirannya begitu kusut. Jangankan memikirkan Jongin, pernikahannya yang akan digelar tiga hari lagi saja sudah tidak dipikirkannya. Saat ini pikirannya hanya tertuju pada satu malaikat kecilnya.

 “Baby Yukhei, maafkan Mommy. Mommy telah gagal menjagamu. Huks ...” Untuk kesekian kalinya air mata Naura tumpah ruah. Tersedu-sedu. Mencengkram erat kaca tebal di depannya. Penghalang utama untuk menyentuh langsung bayinya. Ini hari kedua bayinya berada di dalam inkubator. Terbaring lemah tak berdaya. Meringkuk sendirian tanpa bisa dipeluknya.

“Apakah kau kedinginan di sana, um? Maafkan Mommy tak bisa memelukmu seperti biasanya,” bisiknya sendu. Biasanya, bila bayinya menendang dinding perutnya, maka ia akan mengelusnya dengan sayang.

Mengusap air mata. Naura menoleh ke belakang saat mendengar suara ketukan. Pintu terbuka lebar. Sedikit terkejut ketika melihat siapa yang muncul--orang yang tak diharapkan kehadirannya. Theresia datang bersama Mr. Brown. Naura kembali berbalik, seolah tak menganggap kehadiran kedua orang itu di ruangan.

“Bagaimana bayinya?” Suara berat Mr. Brown memecah kesunyian. Perlahan Naura mendengar langkah kaki mendekatinya. Mr. Brown dan Theresia berdiri di sampingnya. Ikut menatap bayinya. Naura hanya diam. Toh, tak dijawab pertanyaan Mr. Brown, sudah jelas bagaimana keadaan bayinya. Dan itu kembali membuat luka hatinya kembali terkuak. Ia bergetar menahan tangis.

“Ke mana Raka?” tanya Mr. Brown lagi seraya menatap sekeliling ruangan, tak ada satu pun yang menemani Naura.

“Keluar sebentar.” Naura menjawab dengan enggan. Sedang Cathie dan Andrew sudah lima belas menit yang lalu pulang ke rumah.

“Aku duduk di sofa. Bicaralah kalian berdua.” Seolah mengerti Mr. Brown membiarkan kedua saudara kandung ini berbicara. Sebenarnya ia ragu untuk membawa Theresia kemari. Tetapi gadis itu memaksa untuk menemui Naura. Menangis dan memohon padanya. Melihat air mata Theresia, ia pun luluh. Menemaninya berkunjung ke sini.

Dalam hati Theresia merutuk menatap bayi dalam inkubator. Kenapa bayi lemah dan mungil ini justeru begitu terlihat mirip dengan Raka.

“Bayinya begitu lemah, apalagi hasil inseminasi,” celetuknya semakin membuat dada Naura bergemuruh.

“Hn! Andaikan saja ...” Theresia melirik sekilas ayah tirinya, telah tertidur di sofa. “...andaikan saja kau tidak egois, mungkin dia ...” Seolah sengaja. Theresia tidak meneruskan ucapan ambigunya. Ia rasa Naura pintar untuk menelaah ucapannya. Tetapi mulutnya gatal untuk melanjutkan sindirannya.

“Ya. Mungkin bayimu akan baik-baik saja dan tidak perlu menanggung derita seperti itu. Tidak seharusnya kau dan Raka bersama.”

Naura menegang. “Tak usah bicara bila tidak tahu masalah sebenarnya, Kak,” balasnya dingin menatap sendu bayinya.

Theresia mendecak. “Ini hukuman, karena kau telah mengambil milikku, maka bayimu yang menderita. Satu lagi, Naura. Jadi orang jangan terlalu rakus mengambil kebahagiaan. Pikirkan kebahagiaan orang lain juga.”

***

“Baby, apa yang kau pikirkan?” bisik Raka. Merengkuh tubuh kurus Naura. Melingkarkan kedua tangannya di perut datarnya. Ia mengernyit. Merasakan ada yang aneh ketika merasakan perut datar Naura--selama beberapa bulan ini dirinya akrab dengan perut buncitnya.

“Sepertinya Baby Yukhei suka tidur.” Raka terkekeh, berusaha menghibur Naura. Dipandanginya bayi merah berumur dua hari sambil meletakkan dagunya di atas bahu sempit Naura. Mengerling pada Naura. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Pandangannya begitu kosong, meski irisnya memperhatikan bayi mereka.

Lihat selengkapnya