Dear, My Baby

Renny Ariesya
Chapter #43

43| Hidup Sesuai Keinginan

[Dua bulan kemudian ....]

[Maafkan aku, Raka. Setelah kupikir lagi. Aku tidak bisa bersamamu. Aku menyerah. Biarkan aku hidup bersama bayiku. Dan kau hidup bersama kak Tere.]

Untuk kesekian kalinya, tanpa bosan Raka membaca pesan dari belahan jiwanya. Ya. Belahan jiwanya, kini pergi membawa separuh jiwanya. Tidak, ia rasa bukan lagi separuh jiwanya, lebih dari separuh jiwanya. Karena Naura membawa serta bayi mereka pergi.

Ini hari ke enam puluh kepergian Naura dan bayinya dari sisinya. Selama itu pula, ia belum menemukan jejak Naura di mana pun. Di hari pertama kepergian Naura, ia telah menjelajahi seluruh pulau Jeju, mengerahkan seluruh detektif dan bodyguard terbaik di pulau ini untuk membantunya. Tak luput untuk memeriksa CCTV rumah sakit. Tapi hasilnya membuatnya kecewa. Sungguh aneh. Seolah Naura tak pernah keluar dari ruang inapnya.

Di hari kedua ia memperluas pencarian, hingga seluruh Korea. Namun, tetap saja tak menemukan jejak Naura. Tak kehabisan akal, ia pun melacak melalui smartphone Naura hingga melacak dari sosial media yang digunakannya. Sahabat dan kenalan Naura pun tak luput dari interogasinya. Hasilnya tetap nihil, seolah Naura benar-benar tenggelam dari dunia ini. Sampai detik ini ia masih berusaha mencari jejak Naura.

“Di mana kalian sekarang ini? Apa kalian baik-baik saja?” Raka menggumam serak seraya mengelus layar gawainya. Samar sudut bibirnya tertarik ke atas, tersenyum memandang foto bayinya di dalam inkubator. Hanya foto inilah menjadi media pelepas rindunya pada dua orang tercintanya. Sempat diabadikannya--satu-satunya--foto Naura yang memperhatikan bayi mereka.

“Na, apa kau bahagia sekarang ini?”

“Apa kau menikmati hidupmu dengan baik sesuai pilihanmu?”

“Kau tahu? Aku di sini sama sekali tidak baik. Aku ... aku ...”

Bagai orang gila, Raka berbicara sendiri, tertawa, menangis, menciumi layar gawainya atau mengelus-elusnya. Ditinggalkan sosok yang dicintainya membuatnya begitu terpuruk dan frustasi. Kondisinya sekarang ini jauh lebih mengenaskan dibandingkan dirinya putus dari Naura beberapa tahun silam. Sungguh memprihatinkan. Rambut hitamnya mulai memanjang. Wajahnya tidak terurus, dibiarkan begitu saja bulu-bulu halus memenuhi sekitaran dagunya. Bentuk wajahnya makin tirus, begitu pula dengan bentuk tubuhnya, makin mengurus. Matanya bengkak dan merah.

“Sekarang kau puas, Na. Aku ... hancur,” ucapnya parau.

“Bagaimana Baby Yukhei? Dia sehat-sehat saja, kan?” Kembali Raka meneruskan monolognya.

“Kenapa kau lakukan ini padaku. Kenapa kau tega padaku. Kenapa, Na. Kenapa?” tanya Raka di depan gawainya seolah benda elektronik di tangannya adalah sosok yang dicintainya. Satu penyesalannya. Kenapa di malam itu ia membiarkan Naura sendirian.

“Aku benar-benar bodoh.” Raka mengacak rambutnya.

“Sayang? Waktunya makan.” Tanpa disadari Raka, Cathie telah berdiri di sampingnya. Berjalan ke arah jendela. Membuka jendela lebar-lebar, membiarkan cahaya matahari memasuki kamar yang dibiarkan gelap. Menatap kembali sang putra. Hatinya sakit melihat Raka bagai mayat hidup. Cathie mendesah. Sungguh ia tidak mengerti akan pola pikir Naura. Kenapa tega menghancurkan semuanya. Rencana yang susah payah dirancangnya hancur seketika, membuat Raka, dirinya dan Andrew syok berat. Bahkan suaminya sama seperti putranya, hampir gila.

 “Sayang. Mommy sudah siapin makanan kesukaanmu. Jajangmyeon kacang hitam pedas.” Satu-satunya asupan makanan bagi Raka. Sudah dua bulan ini memakan mie jajangmyeon--makanan kesukaan Naura ketika berada di negeri gingseng ini--setiap harinya. Dengan memakan mie jajangmyeon, seakan Raka bisa melepas rindu pada Naura.

Raka menggeleng. “Nanti saja, Mom. Raka belum laper,” jawabnya sembari mengelus perutnya yang berbunyi keras.

“Sayang. Dari pagi tadi kau belum makan apa pun. Makan, ya. Sedikit saja.”

“Nanti saja, Mom.”

Huft. Baiklah.” Cathie menyerah ketika melihat raut wajah Raka yang serius. Tak menggubris ajakannya.

“Sekali-kali kau keluar dari kamar ini, Sayang. Kau seperti pertapa. Astaga! Kadar ketampananmu jadi berkurang karena penampilan jelekmu. Idih, coba berkaca dulu, deh,” seloroh Cathie terkekeh, mencoba menghibur Raka--meski kedengaran sumbang selorohannya. Cathie mengembuskan napas manakala Raka hanya bergeming.

 “Lihat!” Cathie menyisir rambut panjang Raka dengan jemarinya. “Ada banyak hal yang bisa kau lakukan.”

Lihat selengkapnya