Benda bulat yang sempurna itu menggantung di langit, tampak begitu indah menghiasi langit malam. Cahayanya yang bersinar terang keperakan memasuki kamar melalui tirai jendela yang terbuka lebar, menerpa wajah sang pemilik kamar. Bagaikan pahatan patung dewa yunani wajah Raka terlihat dari samping, menyenderkan tubuh atletisnya ke sandaran ranjang seraya memangku laptopnya.
Suara gemerisik angin yang berembus pelan dari luar jendela, menggerakkan dahan pohon palem ke depan dan ke belakang, seolah mengajaknya berdansa di bawah sinar bulan. Pemandangan yang luar biasa indahnya di luar jendela, tak mampu mengalihkan perhatian Raka dari layar di depannya. Bahkan suara lembut kaki bergerak ke arahnya pun tak dirasakannya.
“Dear.” Naura telah berdiri di samping Raka dan meletakkan nampannya ke atas nakas.
Dua mug cokelat panas masih mengepulkan asap putih. Aroma wangi dan manis memenuhi udara. Warnanya begitu cantik hingga membuat orang yang melihatnya akan tergelitik untuk mencecap rasa manisnya, serta mengoyangkan lidahnya di dalam mug couple itu.
Tanpa pengecualian, begitu pun dengan Raka. Hidungnya segera mengendus bau wangi minuman. Berhasil mengalihkan perhatiannya dari layar laptop ke mug miliknya. Iris abu-abunya beralih menatap iris cokelat bening Naura. Naura tersenyum lebar sembari menyodorkan mug padanya. Naura menatapnya begitu dalam sembari mengelus cincin pernikahan mereka. Tanpa terasa mereka mengarungi rumah tangga sudah empat tahunan. Bersyukur selama ini tidak ada masalah dalam rumah tangga mereka. Tidak seperti sebelum mereka menikah.
“Yukhei sudah tidur?” tanyanya di sela-sela menikmati cokelat panasnya.
Naura mengangguk, beringsut duduk di samping Raa. “Yup. Meski agak sulit untuk menenangkannya.”
Diliriknya jam beker di atas nakas. Dua belas malam. Luar biasa. Seperti malam-malam sebelumnya. Meninabobokkan jagoannya butuh tiga jam lebih.
“Dia terus berceloteh dan menggambar,” gumam Naura sembari menghela napas pendek. “Tak sabar untuk memperlihatkannya padamu besok pagi.”
“Wah, bakalan dapat kejutan.” Raka terkekeh sembari meletakkan kembali mug yang tinggal setengah lagi isinya ke atas nakas. Mata bulatnya kembali beralih ke Naura. Berdiri dari duduknya, perlahan membuka jubah tidurnya. Jakunnya naik turun melihat pemandangan di depannya. Naura hanya memakai gaun tidur transparan, sukses mengaduk-aduk gairahnya naik ke permukaan.
“Tidak melanjutkan pekerjaan lagi, Dear?” Naura memiringkan kepala, mengamati sang suami menyingkirkan laptopnya ke atas nakas.
“Ada yang lebih menarik dari benda mati itu.” Raka menyeringai. Menarik tangan Naura hingga jatuh kepelukannya.
“Muuum ... huweee.”
Seketika Raka melotot. Bagai kecepatan petir menyambar dahan pohon, tubuh sepasang suami istri ini berpisah. Buru-buru Naura membenahi posisinya tepat sang jagoannya melompat kepelukannya.
“Kenapa, eum,” ujarnya kaku sembari mengelus sayang pucuk kepala putranya. Menyenderkan kepala mungilnya di pangkuannya. Naura menatap Raka. Mengangkat kedua belah bahunya. Raka mengembuskan napas, menatap Yukhei dengan wajah keberatan. Gagal lagi mereka bercinta selama seminggu ini.
“Yukhei takut tidul cendilian,” jawab batita ini, semakin erat memeluk pinggang Naura. Membenamkan kepalanya di dada wanita muda ini.
Raka mendecak dan melotot. “Takut tidur sendirian? Hey, jagoan. Kau itu laki-laki, masa takut sendirian.”
“Ih, Daddy. Cekalang hujan delas loh,” balas Yukhei mencebik.
Serta merta Raka dan Naura mengalihkan perhatian ke luar jendela. Karena tenggelam dengan hasrat mereka, mereka tak menyadari hujan deras telah mengguyur bumi. Raka terbatuk kecil.
“Bolehkah Yukhei tidul di cini, Mum?” Yukhei mendongak, menatap mata cokelat Naura.
“Tid---”
“Tentu saja boleh. Yukhei boleh tidur di sini,” jawab Naura seraya melotot pada Raka. Raka mendengkus.
“Yeay!” Yukhei berteriak kegirangan.
“Tidurlah.” Naura menepuk punggung putranya dan menyelimutinya. “Kau juga, Dear,” lanjutnya mengelus lengan Raka. Tak ada pilihan, Raka menuruti Naura. Berbaring tak nyaman dengan gelora gairah di tubuhnya tak mampu dipadamkannya.