Bandara Internasional Incheon.
Rabu, 28 Maret 2018.
Matahari perlahan mulai memancarkan sinarnya di Kota Seoul, seolah menghidupkan kembali bumi dari musim dingin yang beku. Seribu pohon Sakura mulai merekahkan bunganya di sepanjang Jalan Yunjunro, seakan menyambut kedatangan seseorang yang dinantikan seantero negeri, Jaksa Ahn Jisung.
Setelah menghabiskan 17 jam perjalanan, akhirnya pesawat yang ditumpangi Jisung mendarat di Bandara Internasional Incheon pukul 13:00. Penampilannya tampak karismatik dengan setelan jas berwarna abu-abu, kemeja putih dan dasi yang senada dengan warna jasnya. Coat berwarna hitam pekat yang membalut badannya tidak mampu menutupi bentuk tubuhnya yang solid. Rambut hitam yang ditata klimis mempertegas ketampanan wajahnya yang paripurna. Didampingi satu jaksa senior dan satu jaksa junior, Jisung berjalan menuju pintu keluar Terminal 1 sembari menyeret koper hitam berukuran 20 inchi dengan tas laptop diatasnya. Terlihat kerumunan awak media lengkap dengan kamera ENG* yang telah siaga menunggu kedatangannya.
Para wartawan segera menyerbu dan menghujani sang anjing pemburu yang keluar dari pintu kedatangan internasional dengan berbagai pertanyaan:
“Jaksa Ahn, bagaimana putusan Mahkamah Pidana Internasional?”
“Jaksa Ahn, apakah terdakwa akan menjalani hukuman sesuai yurisdiksi* Republik Korea?”
“Jaksa Ahn, tolong jawab pertanyaan kami.”
Jisung menatap salah satu kamera dengan raut wajah yang serius dan memberikan sebuah pernyataan singkat.
“Mengingat besarnya jumlah kerugian yang ditanggung oleh Negara Republik Korea, perdagangan senjata ilegal ini tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang, melainkan lebih dari satu kelompok penjahat terorganisir di lebih dari satu negara yang bertugas menyuplai senjata untuk kelompok teroris. Terkait putusan Mahkamah Pidana Internasional, lebih lanjut akan diumumkan melalui press release pihak Kejaksaan Agung.”
Jisung mengakhiri pernyataannya dengan tegas dan meninggalkan kerumunan wartawan. Dalam langkahnya, terdengar suara para wartawan yang masih memanggil-manggil namanya, berharap mendapat informasi tambahan. Tanpa menghiraukan panggilan para wartawan, Jisung berjalan menuju mobil sedan hitam yang berhenti tepat di depan pintu lobby utama bandara.
Seorang supir yang mengenakan pakaian formal bernuansa serba hitam menyambut kedatangan Jisung yang berjalan menghampirinya. Supir itu diutus oleh Ketua Tim Investigasi Kejahatan Transnasional untuk menjemput para perwakilan negara yang baru saja mendarat dari Belanda. Jisung menyerahkan koper hitam miliknya pada supir itu dan ia pun masuk ke kursi penumpang belakang bersama satu jaksa senior, dan jaksa muda duduk di bangku penumpang depan. Pak supir duduk di depan kemudi segera setelah menyimpan koper milik Jisung dan rekannya ke dalam bagasi, lalu melajukan mobilnya menuju Kantor Kejaksaan Agung.
⁂⁂⁂
Kehadiran Jisung dan rekannya disambut oleh Ketua Tim Investigasi Kejahatan Transnasional, Park Dokyung, di ruangannya. Ketua Tim membuka map yang ia terima dari Jisung, lalu membaca sepintas putusan Pengadilan Pidana Internasional, kemudian merogoh saku jas bagian dalam untuk megeluarkan ponselnya. Ia menelepon sekretarisnya agar menyiapkan ruang konferensi.
“Kita lakukan konferensi internal untuk mendengarkan laporanmu selama persidangan. Bagian administrasi akan meneruskan laporan ini ke Mahkamah Agung, Majelis Nasional dan Blue House.* Baru setelah itu kita adakan konferensi pers.”
“Saya mengerti.” Ucap Jisung.
Jisung beserta dua rekannya meninggalkan ruang Ketua Tim dan bersiap untuk melaksanakan konferensi. Dengan kondisi yang masih jetlag, mereka harus kejar tayang melakukan konferensi internal, disambung dengan konferensi pers.
Ruang konferensi bergaya boardroom telah disiapkan. Cahaya ruangan yang diatur redup, dan hanya diterangi oleh lampu dari proyektor, membuat para anggota memusatkan perhatiannya pada materi yang dipaparkan.
Anggota Tim Investigasi Kejahatan Transnasional mulai memenuhi ruang konferensi. Tidak hanya anggota tim, konferensi internal itu juga dihadiri oleh Jaksa Agung, Jung Wootaek, yang duduk di bangku paling ujung, menghadap langsung pada proyektor.
Jisung bediri tegak di podium yang berada di sisi kiri layar proyektor. Dengan detail, ia menjelaskan dinamika persidangan, termasuk perdebatan yang terjadi selama persidangan, hingga putusan akhir pengadilan.
“Putusan akhir Pengadilan Pidana Internasional menyatakan bahwa para pelaku kejahatan transnasional akan diekstradisi*.”
Belum selesai Jisung memberi penjelasan, seorang jaksa senior yang juga bagian dari Tim Investigasi Kejahatan Transnasional mengajukan pertanyaan.
“Bukankah kita tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Turq dan Sahara?”
“Betul. Namun pihak Pengadilan Pidana Internasional menempatkan setiap terdakwa di bawah pengawasan Interpol* dan memastikan masing-masing negara asal harus menjamin para pelaku tindak pidana menerima dan menjalankan hukuman sesuai putusan Pengadilan Pidana Internasional yang telah ditetapkan.”
Lampu ruang konferensi kembali dinyalakan setelah Jisung selesai menyampaikan paparannya. Jisung pun kembali ke tempat duduknya.
“Kerja bagus untuk Tim Investigasi Kejahatan Transnasional. Segera persiapkan konferensi pers. Kita harus segera menenangkan keresahan masyarakat.” Ucap Jaksa Agung.
⁂⁂⁂
Aula Kejaksaan Agung disulap menjadi ruang bergaya kelas. Para wartawan telah siap dengan laptop yang terbuka di mejanya. Beberapa dari mereka sibuk memainkan jari lentiknya di keypad ponsel untuk memberi kabar terkini ke kantor berita sebelum konferensi pers dimulai. Ada juga yang memberi perkembangan situasi kepada pemimpin redaksi masing-masing melalui panggilan suara.
Serbuan cahaya lampu blitz para wartawan menyambut seluruh anggota Tim Investigasi Kejahatan Transnasional yang memasuki ruang konferensi. Mereka berdiri berjajar di samping podium dengan rapi. Ketua Tim membuka acara konferensi yang disiarkan secara langsung di seluruh stasiun televisi nasional.
“Saya Jaksa Park Dokyung, selaku Ketua Tim Investigasi Kejahatan Transnasional. Perwakilan dari Negara Republik Korea di Pengadilan Pidana Internasional, Jaksa Ahn Jisung, akan memimpin konferensi kali ini.”
Jisung melangkahkan kakinya menuju podium tempat Ketua Tim berbicara.
“Saya Jaksa Ahn Jisung dari Tim Investigasi Kejahatan Transnasional yang bertanggungjawab atas penyelidikan kasus pedagangan senjata ilegal oleh para kelompok teroris. Saya memimpin konferensi ini untuk melaporkan putusan Pengadilan Pidana Internasional.”
Selesai melaksanakan konferensi pers, Jisung memasuki ruangan yang ditata dengan gaya open plan offices* milik Tim Investigasi Kejahatan Transnasional. Ia duduk di office chair miliknya dan menghela napas panjang, seolah satu beban telah selesai ia tangani. Diraihnya amplop cokelat dari dalam laci mejanya. Amplop itu berisi surat keputusan pemindahtugasan. Jisung seharusnya sudah mulai bekerja di Kejaksaan Cabang Daegu sejak tiga bulan yang lalu. Namun karena statusnya masih menjadi bagian dari Tim Investigasi Kejahatan Transnasional, akhirnya pemindahtugasannya pun ditunda hingga investigasi berakhir.
Jisung telah menghabiskan karirnya sebagai jaksa di Kantor Kejaksaan Pusat. Ia meniti karirnya di Departemen Kriminal Kantor Kejaksaan Seoul Pusat, lalu dipindahkan ke Departemen Hak Asasi Manusia Kantor Kejaksaan Seoul Cabang Timur. Setelah itu, ia bekerja di Departemen Keamanan Publik Kantor Kejaksaan Seoul Cabang Selatan. Kemudian kembali ke kantor Kejaksaan Seoul Pusat dan bergabung dalam Departemen Investigasi Khusus, lalu ditempatkan di Departemen Anti-korupsi dan Kejahatan Terorganisir di Kantor Kejaksaan Seoul Cabang Barat setelah investigasi khusus selesai. Terakhir, ia bergabung bersama Tim Investigasi Kejahatan Transnasional yang berada di bawah naungan Pusat Kerja Sama Internasional Kantor Kejaksaan Agung. Ia berhasil menyelesaikan kasus perdagangan senjata ilegal pada kelompok teroris Timur Tengah yang baru saja ia selesaikan di Pengadilan Pidana Internasional, Den Haag, Belanda. Sepanjang perjalanan karirnya sebagai seorang Jaksa, ini adalah pertama kalinya ia ditugaskan ke luar wilayah Seoul, Kejaksaan Cabang Daegu.
Kota Metropolitan Daegu, kota terbesar kedua setelah Busan di wilayah Yeongnam Provinsi Gyeongsan Utara, juga kota terbesar keempat di Korea Selatan dengan jumlah penduduk 2,465 juta jiwa. Sebuah kota yang menjadi pusat industri manufaktur di Korea Selatan. Meski bukan tempat yang jauh dari peradaban modern, kota kelahiran mantan presiden Korea Selatan, Park Geunhye, itu mampu membuat Jisung resah. Ia masih tak habis pikir, diantara sekian banyaknya Jaksa, dari level junior hingga senior, kenapa harus namanya yang terpilih untuk dipindahtugaskan ke Daegu. Sesekali ia berpikir untuk memanfaatkan koneksi ayahnya yang seorang hakim senior sekaligus kandidat terkuat Hakim Agung, agar namanya dihapus dari daftar pemindahtugasan. Namun, ia akan merasa lebih buruk jika harus memanfaatkan koneksi yang dimiliki hanya untuk meraih apa yang ia inginkan. Itu adalah hal yang paling ia benci.
Suara dering ponsel memecah keresahan hati Jisung. Nama Jaksa Yoo Hyungshik, Kepala Kejaksaan Cabang Daegu, muncul di layar ponselnya.
“Yeoboseyo.*” Ucap Jisung sesaat setelah menjawab telepon dari Jaksa Yoo.
“Ya, Jaksa Ahn. Aku sudah melihat konferensi pers yang kau lakukan. Sudah kuduga, kau memang yang terbaik.” Jaksa Kepala Yoo mencoba menyanjung Jisung.
“Terima kasih, Pak Kepala. Itu hanya hal biasa yang sudah seharusnya aku lakukan.” Balas Jisung dengan sungkan.
“Kau memang selalu merendah seperti itu. Oh ya, tak usah buru-buru datang ke Daegu. Kau pasti masih lelah, akan ku beri kau tambahan waktu untuk beristirahat. Kau bisa bersantai sambil memulihkan energimu.”
Jisung berterima kasih pada Jaksa Kepala Yoo lalu mengakhiri teleponnya.
Ketua Tim Park Dokyung menghampiri Jisung ke ruangannya. Ia melihat Jisung sedang sibuk mengemas barang-barang di mejanya.
“Kau langsung mengemasi barangmu? Apa kau akan langsung berangkat ke Daegu? Sekarang? Kau tak akan mengikuti acara pembubaran Tim Investigasi Kejahatan Transnasional?” Tanya Ketua Tim Park Dokyung.
“Ya, mau bagaimana lagi? Surat keputusan sudah keluar sejak tiga bulan yang lalu.” Ucap Jisung lirih. “Tenang saja, aku tetap akan menghadiri acara pembubaran tim.” Sambungnya.
“Hei, ayolah, kenapa kau begitu murung? Apa yang salah dengan Daegu? Kota itu tak seburuk yang kau kira. Kau tahu, aktris cantik yang kau sukai, Song Hyekyo, juga berasal dari Daegu.” Ucap Ketua Tim Park Dokyung. Ia mencoba menghibur junior kebanggaannya itu. “Ku dengar, banyak wanita cantik seperti Song Hyekyo disana. Kau bisa mengencani salah satu dari mereka.” Guraunya.
Kencan?
Apa itu kencan?
Apakah sesuatu yang bisa dimakan?
Ah, benar! Kosakata itu telah lama dihapus dari kamus hidup Jisung. Tak ada lagi hasrat untuk berkencan dalam hatinya setelah mengalami kejadian yang mampu mengguncang jiwanya. Sebuah pengkhianatan dari sang pujaan hati yang begitu memilukan. Suatu peristiwa yang dirasa telah membuat sukmanya mati rasa. Dingin. Seperti mayat hidup.
“Jisung, apa kau masih belum melupakan wanita itu?” Tanya Ketua Tim Park Dokyung menyambar. “Hey! Sampai kapan kau akan tenggelam dalam masa lalumu. Kita bahkan tak tahu, apakah wanita itu juga memikirkanmu atau tidak. Ah benar! Untuk apa dia meninggalkanmu jika sekarang masih memikirkanmu.” Ujarnya sok tahu. “Apa kau akan terus menutup hatimu karena wanita itu?”
Jisung hanya diam sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak penyimpanan.
“Jisung, kau tidak bisa terus menerus hidup seperti ini. Kau juga harus memikirkan masa depanmu. Kau bisa mulai dengan hal yang sepele, berkencan misalnya. Ya, kau bisa mengencani seorang wanita.”
“Entahlah, aku hanya akan mengencani Song Hyekyo yang asli.” Sahut Jisung datar.
⁂⁂⁂
Seorang wanita mengenakan jas berwarna putih keluar dari ruang poliklinik yang bertuliskan ‘Spesialis Pediatric Onchology, Departemen Pediatri’. Emblem bertuliskan Daegu Metropolitan Medical Center nampak jelas di saku kiri atas. Masih di saku yang sama, terdapat tiga pena yang berjajar dengan rapi. Tak ketinggalan, stetoskop yang selalu menggantung di lehernya.
Wanita itu memiliki tatapan mata yang teduh, hidung yang mancung, serta pipi yang sedikit berisi yang memberi kesan imut di wajahnya. Senyum merekah tak pernah hilang dari bibirnya. Kecantikan parasnya seakan mampu membuat bunga sakura di musim semi kembali menguncup saat melihatnya. Ia berjalan melintasi kursi tunggu pasien yang sedang mengantri giliran berkonsultasi dengan dokter di poliklinik masing-masing. Sapaan ramah yang ia berikan, membuatnya disegani tidak hanya oleh staf medis, pasien dan tamu rumah sakit, tetapi seluruh warga kota Daegu. Pesona jiwa dan raganya yang sempurna ini membuatnya dijuluki sang “Musim Semi” bagi Kota Daegu.
Jika hanya dinilai dari penampilan dan kepribadian, wanita itu tidak akan sedemikian dihormati oleh masyarakat Kota Daegu. Keterampilannya membedah pasien tak perlu diragukan lagi. Jika Rumah Sakit Doldam memiliki Dokter Kim Sabu dengan tangan dewanya, maka Daegu Metropolitan Medical Center memiliki Nam Hyejung, dokter berjiwa malaikat. Seorang dokter jenius yang mampu menyabet tiga sertifikasi spesialis dalam waktu singkat: Bedah Onkologi, Bedah Pediatri dan Pediatric Onchology dengan sub-spesialis Children Rare Disease.
Hyejung menaiki lift menuju lantai 4, tempat di mana pusat Departemen Pediatri berada. Tak seberapa lama, pintu lift pun terbuka. Ia berjalan menuju meja administrasi Departemen Pediatri yang berada tepat di seberang lift. Dilihatnya para perawat dan petugas administrasi sedang sibuk menyaksikan berita di televisi layar datar yang menempel di dinding. Televisi itu memang disediakan untuk pasien, wali pasien ataupun tamu rumah sakit yang sedang berada di ruang tunggu. Penasaran dengan apa yang sedang ditonton, Hyejung pun menolehkan pandangannya pada televisi. Ia melihat laki-laki muda, kurang lebih seusianya, sedang melangsungkan konferensi pers dengan headline “Perwakilan Negara Republik Korea, Jaksa Ahn Jisung, berhasil mengadili pelaku perdagangan senjata ilegal di Pengadilan Pidana Internasional.”
“Siapa dia?” Tanya Hyejung pada para staf yang sedang menonton siaran berita dengan seksama.
“Jaksa Ahn Jisung.” Jawab Suster Song Sooyoung singkat.
“Aku juga bisa membaca namanya yang tertera di headline.”
“Lalu kenapa Dokter Nam bertanya?”
“Maksudku, apa yang telah dia lakukan? Sampai dia dipuja-puja.”
Sooyoung mengalihkan pandangannya pada Hyejung dengan tatapan kesal. “Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa saja yang kau lakukan? Sampai kau tak tahu perkembangan berita terkini. Yang kau pedulikan hanya pasien, pasien dan pasien, tidak ada yang lain. Kau bahkan tidak tahu betapa hebatnya pahlawan nasional baru Korea Selatan, Jaksa Ahn Jisung.”