Jum’at, 6 April 2018. Pukul 09:00.
Jam kerja baru saja dimulai, namun Sekretaris Han sudah sibuk di depan layar komputer, sambil berulang kali melakukan panggilan melalui telepon kantor yang ada di mejanya.
“Yeoboseyo, saya Han Yiseo dari Kejaksaan Cabang Daegu. Kim Nambum-ssi,* anda dijadwalkan bertemu dengan Jaksa Ahn Jisung pada hari Senin, tanggal 9 April 2018, terkait kasus berkendara dalam keadaan mabuk dan menyebabkan kecelakaan lalu lintas pada tanggal 11 Januari 2018 pukul 23:00. Mohon untuk hadir sesuai jadwal yang telah ditetapkan, Terima kasih.”
Sekretaris Han menutup teleponnya dan memeriksa daftar kasus yang belum terpecahkan lainnya. Ia mencoret nama yang baru saja dihubungi, lalu mengulangi hal yang sama pada kasus berikutnya.
“Yeoboseyo, saya Han Yiseo dari Kejaksaan Cabang Daegu. Jung Jihwan-ssi, anda dijadwalkan bertemu dengan Jaksa Ahn Jisung pada hari Senin, tanggal 9 April 2018, terkait kasus pelecehan seksual di kereta bawah tanah pada 13 Januari 2018. Mohon untuk hadir sesuai jadwal yang telah ditetapkan, Terima kasih.”
Hal serupa terlihat di meja sebelah Sekretaris Han, Penyidik Baek Hongjin.
“Yeoboseyo, saya Baek Hongjin dari Kejaksaan Cabang Daegu. Choi Pilsung-ssi, telah melakukan pencemaran nama baik terhadap Jang Seojin melalui SNS pada tanggal 2 Februari 2018. Anda dimohon datang ke kantor kejaksaan pada hari Selasa, 10 April 2018 untuk bertemu dengan Jaksa Ahn Jisung. Terima kasih.”
Penyidik Baek menutup teleponnya dan mendengus. “Aku bekerja seolah Jeoseung Saja* berada di sampingku. Belum genap satu minggu, tapi aku bisa merasakan sebentar lagi aku akan mati karena terlalu keras bekerja. Aku bahkan tak sanggup lagi bermain dengan anakku sepulang kerja.”
“Aku juga. Sosok Jaksa Ahn seolah menerorku kapanpun dan dimanapun. Ia hadir di mimpiku saat tidur, ia muncul di cermin ketika aku sedang berdandan, ia muncul di layar televisi saat aku menonton siaran favoritku. Jangankan untuk menikmati hidup, untuk bernapas saja rasanya sulit.” Sekretaris Han menimpali.
“Aku jadi penasaran, bagaimana penyidik dan sekretaris yang menjadi timnya saat di Seoul. Apakah mereka merasakan apa yang kita rasakan? Bagaimana mereka bisa bertahan menghadapi Jaksa Ahn? Atau mungkin orang-orang Seoul memiliki karakter yang sama dengan Jaksa Ahn?” Ujar Penyidik Baek.
Sejak Jisung menjadi jaksa yang memimpin mereka, tak pernah sedetikpun berlalu dengan hal yang sia-sia. Bagi Jisung, waktu adalah pedang. Jika tidak menggunakannya dengan baik, maka pedang itu justru akan menusukmu. Hal ini tentunya memberikan culture shock effect bagi Penyidik Baek dan Sekretaris Han yang terbiasa bekerja secukupnya.
Penyidik Baek dan Sekretaris Han seketika menghentikan obrolannya saat Jisung masuk ke ruangan. Sekretaris Han dengan tanggap memberikan map hitam berisi daftar nama yang akan hadir untuk mediasi perselisihan hari ini. Sekretaris Han membuat janji mediasi perselisihan sebanyak sepuluh kasus dalam sehari, sesuai intruksi Jisung. Meski dirasa mustahil dilakukan, tetapi Sekretaris Han tetap menuruti permintaan Jisung.
Jisung melihat map yang diberikan Sekretaris Han padanya sesaat setelah ia duduk di kursinya. “Apa mereka sudah tiba?” Tanya Jisung.
“Sudah, Jaksa Ahn. Anda bisa memulainya.” Jawab Sekretaris Han.
“Baiklah, Penyidik Baek, tolong panggil urutan yang pertama.” Pinta Jisung.
Seorang kakek berusia sekitar menjelang akhir 80 tahun memasuki ruangan. Ia duduk di kursi tamu, di seberang meja kerja Jisung.
Tak ingin membuang waktu, Jisung segera menanyai kakek itu. “Harabeoji,* disini tertulis anda memasuki toilet wanita dengan sengaja. Kenapa anda masuk ke toilet wanita?” Tanya Jisung sopan.
“Apa? Aku tidak bisa mendengarmu!” Teriak Kakek itu.
Jisung menyondongkan badannya dan mengeraskan suaranya dengan canggung. “Kenapa anda masuk ke toilet wanita?”
“Apa? Aku tidak bisa mendengarmu!” Kakek itu mengulangi perkataannya.
Jisung kembali mengeraskan suaranya sambil menahan emosi. “Kenapa anda masuk ke toilet wanita?”
Jisung akhirnya berteriak. “Harabeoji, kenapa anda masuk ke toilet wanita?”
Lagi-lagi sang kakek mengulang perkataannya. “Apa? Aku tidak bisa mendengarmu!”
Jisung bersandar di kursinya sambil melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekik. Baru satu kasus, namun ia sudah merasa kewalahan. Tak pernah ia mengalami hal demikian di Seoul.
Penyidik Baek melihat kondisi Jisung yang kehabisan kata-kata menghadapi kakek itu. Seolah mengenal tabiat sang kakek, Penyidik Baek mulai angkat bicara.
“Harabeoji, kau menjatuhkan uang 50.000 Won.*”
“Mana?” Tanya kakek itu sambil mengedarkan pandangannya ke lantai: mencari uang 50.000 Won.
Jisung menegakkan badannya, matanya terbelalak saat melihat sang kakek merespon perkataan Penyidik Baek. Namun akhirnya ia berhasil menyelesaikan kasus sang kakek.
Kasus selanjutnya, dua orang lelaki yang dilaporkan karena berkelahi di Pasar Seomun. Mereka memperebutkan seorang wanita penjual buah, dan akhirnya membuat kekacauan di lingkungan sekitar.
“Jadi, Oh Sangpil-ssi menyukai Ji Hyewon, tetapi Go Hwangyoon-ssi menyukai Ji Hyewon lebih dulu?” Tanya Jisung memastikan.
“Tidak! Itu tidak benar! Aku yang lebih dulu menyukai Ji Hyewon!” Ujar Oh Sangpil.
“Apa katamu? Jelas-jelas aku yang menyukainya lebih dulu. Kau merebut dia dariku!” sahut Go Hwangyoon.
Kedua laki-laki itu mulai geram. Mereka beranjak dari kursi yang diduduki dan saling menarik kerah jaket. Perkelahianpun tak terhindarkan.
Jisung dan Penyidik Baek berusaha melerai kedua lelaki itu. Penyidik Baek menarik Oh Sangpil agar menjauh, sementara Jisung berusaha menahan Go Hwangyoon agar tidak memukul Oh Sangpil. Namun usaha mereka sia-sia. Kedua lelaki itu tetap melanjutkan perkelahian. Saat Go Hwangyoon hendak mengarahkan kepalan tangannya pada Oh Sangpil, Jisung tiba-tiba menariknya. Alhasil wajah Jisunglah yang terkena tinju Go Hwangyoon. Jisung terhempas hingga menabrak rak yang dipenuhi tumpukan berkas. Hidungnya mengeluarkan darah.
Setelah beristirahat sejenak, Jisung melanjutkan kegiatannya dengan tisu yang menyumpal salah satu lubang hidungnya untuk menahan darah keluar. “Sekretaris Han, tolong panggil yang selanjutnya.” Pinta Jisung.
Sekretaris Han membawa masuk dua orang wanita paruh baya. Diperkirakan salah satu wanita itu berusia pertengahan 50-an dan satu lagi berusia menjelang akhir 40-an.
“Lee Seoyoon-ssi?” Tanya Jisung.
“Ya.” Jawab Lee Seoyoon.
“Pada malam tahun baru, 1 Januari 2018, sekitar pukul 02:00, anda pergi ke bar milik Kim Jungeun yang berada di kawasan Pasar Chilseong. Anda mencoret-coret pintu rolling door bar yang sudah tutup itu dengan tulisan ‘pergi kau jalang, dasar pengoda suami orang, si brengsek yang mencemari lingkungan,’ betul?” Tanya Jisung dengan wajah serius, namun kertas tisu masih menyumpal lubang hidungnya.
“Ya, benar.” Ucap Lee Seoyoon.
“Lalu Kim Jungeun-ssi, anda baru pindah ke Daegu sekitar pertengahan bulan Desember, tepatnya dua minggu sebelum hari Natal. Anda memutuskan membuka bar di sekitar kawasan Pasar Chilseong.” Ujar Jisung pada wanita yang lebih muda dari Lee Seoyoon.
“Ya, benar.” Balas Kim Jungeun.
“Kudengar kalian berselisih sejak saat itu.” Ucap Jisung. “Menurut pernyataan tetangga, anda menuduh Kim Jungeun telah berselingkuh dengan suamimu?” Tanya Jisung pada Lee Seoyoon.
Lee Seoyoon menyeringai. “Keomsanim,* itu semua bukan tuduhan, tapi fakta.”
“Apa maksudmu?” Kim Jungeun tak terima.
“Sejak membuka bar, wanita jalang ini tak henti menggoda suamiku agar datang ke barnya setiap malam. Tidak hanya suamiku, tetapi para suami ibu-ibu komplek rumah juga merasakan hal yang sama. Wanita ini terus menyebabkan banyak masalah dan aku hanya memberinya pelajaran.” Ujar Lee Seoyoon.
“Keomsanim, itu semua tidak benar.” Tepis Kim Jungeun. “Aku membuka bar hanya untuk mencari nafkah. Kau tahu, betapa sulitnya menjadi orang tua tunggal? Apa aku salah membuka bar untuk menghidupi keluargaku? Aku sama sekali tak ada maksud menggoda siapapun. Datang ke bar milikku adalah pilihan mereka sendiri, aku bahkan tak pernah meminta mereka untuk kembali. Bagaimana bisa aku disebut menggoda mereka.” Sambungnya memperjelas.
“Apa katamu? Jelas-jelas kau menuangkan soju* sambil tersenyum pada pelangganmu!”
Perdebatanpun berujung perkelahian. Kedua wanita itu saling menjambak sambil mengeluarkan kata-kata makian. Lagi-lagi Jisung harus melerai pertikaian yang terjadi. Dibantu Sekretaris Han, Jisung mencoba menghentikan perkelahian antara dua wanita paruh baya itu. Namun berakhir dengan tamparan tangan Lee Seoyoon yang tak sengaja mendarat di pipi Jisung.
Tirai bergaya horizontal blind* yang terbuka, memberikan kesempatan bagi Jaksa Moon Yongkwang, Jaksa Kim Boah dan Jaksa Kang Junghoon untuk meyaksikan carut-marut yang terjadi di ruangan Jisung melalui kaca jendela. Mereka bediri berjajar memandangi Jisung dari luar ruangan.
“Sepertinya dia sudah merasa kewalahan. Hanya dalam beberapa jam, ia sudah mendapat dua pukulan di wajahnya.” Ujar Jaksa Kang.
“Kurasa tak lama lagi dia akan mengundurkan diri dan memilih untuk bekerja di firma hukum. Orang seperti dia mungkin akan meminta bayaran sekitar 30 Juta Won per bulan.” Sahut Jaksa Kim.
“Dia bisa saja membuka firma hukum seperti yang dilakukan ibunya.” Balas Jaksa Kang.
“Kita lihat saja, berapa lama ia akan bertahan.” Jaksa Moon menimpali.
Jisung memejamkan mata dan bersandar di kursinya. Hanya dalam waktu beberapa jam, ia telah mendapatkan dua pukulan di wajahnya. Jisung berusaha menenangkan dirinya yang masih shock dengan apa yang baru saja ia hadapi.
Penyidik Baek dan Sekretaris Han berjalan mengendap menghampiri Jisung.
“Jaksa Ahn, apa kau baik-baik saja?” Tanya Sekretaris Han pelan.
“Kau bisa beristirahat dulu jika lelah.” Timpal Penyidik Baek.
Secara tiba-tiba Jisung membuka matanya, membuat Penyidik Baek dan Sekretaris Han terkejut. “Kaget aku!” Seru Sekretaris Han sambil mengelus dada.
Jisung bangkit dari duduknya. “Aku tidak apa-apa.” Ucapnya. “Sekretaris Han, ayo lanjutkan.” Sambung Jisung dengan wajah teler.
Sekretaris Han menuruti intruksi Jisung dengan sedikit ragu. Ia meraih map hitam di mejanya yang berisi ringkasan kasus untuk jadwal interogasi selanjutnya.
“Jaksa Ahn, ini.” Ucap Sekretaris Han sambil menyerahkan map hitam itu pada Jisung.
Jisung membuka map yang ia terima dan merendahkan posisi kaca matanya. “Oh, sekarang jadwal interogasi kasus Cha Bora.” Gumamnya.
“Sekretaris Han, kau kenal Dokter Nam Hyejung, bukan?” Tanya Jisung sesaat setelah membaca isi map yang ia terima.
“Tentu, semua orang di Daegu mengenalnya.” Balas Sekretaris Han.
Jisung terkejut mendengar jawaban Sekretarisnya itu. “Kenapa semua orang bisa mengenalnya?” Tanya Jisung penasaran.
“Tidak hanya cantik, tetapi budi pekerti dan kedermawanan hatinya, serta kemampuannya menyembuhkan pasien, membuat Dokter Nam Hyejung disegani oleh masyarakat Kota Daegu. Sehingga semua orang di Daegu pasti mengenalnya.” Penyidik Baek menimpali.
“Oh, begitu rupanya.” Jisung semakin terpesona oleh Hyejung. “Baiklah kalau begitu Sekretaris Han, tolong hubungi Dokter Nam. Aku akan meyertakan dia menjadi tim ahli untuk menjelaskan kondisi Cha Bora, dan tolong ajukan penyertaan tim ahli di persidangan Cha Bora pada pengadilan.” Pinta Jisung.
“Baik, Jaksa Ahn.” Jawab Sekretaris Han.
“Jangan lupa sertakan resumenya.” Jisung menambahi.
“Resume? Kurasa pengadilan tidak meminta resume tim ahli.” Ujar Sekretaris Han.
“Resume itu untukku. Aku ingin mengetahui latar belakang dan kredibilitasnya.” Jisung mengklarifikasi.
⁂⁂⁂
Didampingi Penyidik Baek, Jisung memasuki ruang interogasi. Dilihatnya seorang wanita berusia sekitar 30-an sedang menunggu kedatangannya. Jisung duduk tepat di seberang wanita itu, sedangkan Penyidik Baek yang bertugas mencatat berita acara interogasi duduk di samping Jisung dengan laptop yang telah ia siapkan. Jisung membuka map yang ia bawa, dan memulai interogasi.
“Lee Soobin-ssi, anda melaporkan bibi pengasuh Cha Bora, Choi Miso, atas tindak penganiayaan terhadap Cha Bora pada tanggal 8 Januari 2018 ke kepolisian sektor Yeongcheon. Anda adalah guru Cha Bora di Taman Kanak-Kanak Happy Smile, benar?” Tanya Jisung memastikan.
“Ya, itu benar.” Jawab Lee Soobin.
Jisung membuka lembaran kertas berisi ringkasan kasus yang ia bawa. “Berdasarkan laporan yang diterima oleh kejaksaan, anda mengaku melihat Choi Miso memukuli Cha Bora beberapa kali. Benar begitu?”
“Ya, benar.”
“Bisakah anda menceritakan lebih detail kejadiannya?” Pinta Jisung sambil menyondongkan badan dan menyilangkan jari tangan di atas meja.
“Kejadian itu terjadi saat kami melaksanakan program lokakarya musim dingin. Seharusnya anak-anak didampingi orang tuanya, namun seperti biasa, orang tua Cha Bora tidak bisa hadir karena alasan pekerjaan. Akhirnya Cha Bora didampingi pengasuhnya, Choi Miso. Saat anak-anak yang lain hendak bersiap untuk belajar Ice Skating, Cha Bora mengeluh sakit perut. Akhirnya bibi pengasuh membawanya ke toilet. Anak-anak yang lain tidak bisa memulai ice skating karena harus menunggu Cha Bora. Karena sudah terlalu lama menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk menyusul ke toilet. Terdengar suara tangisan Cha Bora dan bibi pengasuh yang melontarkan kata-kata kasar. Ketika aku masuk ke toilet, bibi pengasuh sedang memukuli Cha Bora.”
“Lalu, apa yang kau lakukan?”
“Aku berusaha menghentikan bibi pengasuh dan membawa Cha Bora keluar dari toilet. Sebenarnya, aku juga pernah melihat bibi pengasuh memukul Cha Bora sebelumnya.”
“Kapan tepatnya kau melihat kejadian itu?”
“Sekitar seminggu sebelum libur Natal. Saat itu bibi pengasuh menjemput Cha Bora pulang seperti biasa. Sekitar 10 menit kemudian, akupun pulang karena Cha Bora adalah siswa terakhir yang dijemput. Saat melewati taman bermain, aku melihat bibi pengasuh memukuli kepala Cha Bora sambil berjalan. Kurasa saat itu juga aku melihat Cha Bora memegangi perutnya, seperti sedang kesakitan.”
“Apa kau tidak memberi tahu orang tuanya?”
“Aku hanya pernah bertemu dengan ibunya saat pendaftaran awal. Selebihnya aku tak pernah bertemu orang tuanya karena mereka terlalu sibuk bekerja. Jadi aku memberi tahu ibunya melalui telepon. Namun ibunya tak menganggap itu masalah yang serius.”
“Apa kau masih ingat perkataan ibu Cha Bora?”
“Aku tidak begitu ingat secara rinci, tapi kurang lebih ia mengatakan ‘Cha Bora memang nakal pada bibi pengasuh, jadi bibi pengasuh sering memukulnya, tapi bukan pukulan yang keras. Jadi tidak masalah.’ Tapi yang ku amati di kelas, Cha Bora bukanlah anak yang nakal. Ia penurut, cenderung diam dan tidak terlalu suka bergaul dengan temannya. Kurasa Cha Bora bukanlah anak yang akan membuat kita emosi. Aku juga pernah memberi tahu Cha Bora yang sering mengalami sakit perut, dan ibunya hanya berkata Cha Bora memiliki masalah saluran pencernaan. Ibu Cha Bora memang tidak terbuka kepada kami.”
Jisung mengakhiri wawancaranya dengan Lee Soobin yang statusnya sebagai saksi. ia melanjutkan jadwal berikutnya, Ibu Cha Bora, Kang Jihye.
“Annyeonghaseyo.” Sapa Kang Jihye saat memasuki ruang interogasi.
“Ya, Annyeonghaseyo.” Balas Jisung dan Penyidik Baek sambil berdiri.