Senin, 16 April 2018. Pukul 12:00.
Lantai tiga, tempat di mana berkumpulnya ruangan poliklinik seluruh dokter untuk memeriksa pasien rawat jalan. Diantara deretan ruang poliklinik, terdapat empat ruangan yang memiliki dekorasi berbeda. Keempat ruangan tersebut terlihat lebih cerah, disertai berbagai stiker dinding bergambar karakter kartun yang mampu menambah kesan ceria. Beberapa boneka berukuran kecil dan sedang kian menjadi bagian dari peralatan medis yang tidak boleh hilang dari ruangan itu. Boneka-boneka itu biasa digunakan pasien agar tidak merasa takut saat melakukan pemeriksaan. Apa lagi kalau bukan Ruangan Poliklinik Departemen Pediatri.
Ruang Poliklinik No. 8, Spesialis Pediatric Oncology, Dokter Nam Hyejung.
“Apa masih ada pasien lagi?” Tanya Hyejung pada Sooyoung yang bertugas menjadi perawatnya.
“Tidak ada, itu yang terakhir.” Balas Sooyoung.
Jadwal konsultasi pasien rawat jalan Hyejung telah usai. Bila dibandingkan dengan kedua dokter juniornya di Departemen Pediatri, jumlah pasien yang dirawat Hyejung memang lebih banyak, bahkan melebihi jumlah pasien yang ditangani Ketua Departemen Pediatri, Prof. Choi Yeonseo. Meski bidang spesialisasinya adalah kanker dan penyakit langka pada anak, tak jarang Hyejung menerima pasien dengan keluhan penyakit ringan yang sebetulnya bisa ditangani oleh kedua juniornya, Kang Minhyuk dan Shin Naeun. Hal ini terjadi karena kebanyakan pasien memilih untuk mendapat perawatan dari Hyejung. Pihak rumah sakitpun tak kuasa menolak permintaan pasien dan walinya. Bagi Hyejung yang berprofesi sebagai dokter, menyelamatkan nyawa bukanlah sebuah tugas, kewajiban, apalagi tanggung jawab, melainkan sebuah hobi yang mampu menjadi candu.
Senyum melekuk di bibir Hyejung saat mendengar jawaban Sooyoung. Menandakan bahwa ia merasa gembira karena sudah tidak ada lagi pasien yang menunggu giliran. Hyejung memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dokternya lalu melangkah menuju pintu ruangan.
“Kau tidak makan siang?” Tanya Sooyoung saat Hyejung membuka pintu.
“Nanti saja, aku akan menjenguk Cha Bora terlebih dahulu.” Balas Hyejung.
“Hey, Dokter Nam. Sampai kapan kau akan terus memforsir badanmu? Setidaknya kau butuh asupan energi untuk merawat pasienmu.” Timpal Sooyoung.
Hyejung tak menghiraukan perkataan sahabatnya itu dan pergi meninggalkan ruang poliklinik menuju lift.
Ting …
Suara pintu lift terbuka. Hyejung menaiki lift yang tidak terlalu dipenuhi penumpang. Tak lama setelah pintu menutup, lift pun mulai naik. Lantai demi lantai dilewati lift itu, hingga tiba di lantai tertinggi gedung Daegu Metropolitan Medical Center, tempat di mana bangsal VIP berada. Hyejung berjalan menuju bangsal VIP nomor 3, Pasien Cha Bora.
Hyejung meraih gagang pintu dan menggesernya perlahan. Namun Hyejung mengurungkan niatnya secara tiba-tiba. Ia merasa ibu dan ayah Cha Bora sedang membicarakan hal serius. Dari tempatnya berdiri, Hyejung mendengar suara Cha Yoojin samar-samar. Suaranya halus, intonasi bicaranya tenang, namun tutur katanya dapat mengintimidasi orang yang mendengarnya.
“Bora, jika tidak menurut, apakah bisa disebut sebagai anak nakal?” Tanya Cha Yoojin pada putrinya. “Lalu apa yang akan diterima anak nakal?” Sambungnya
“Anak nakal harus dihukum.” Ujar Cha Bora dengan suara gemetar dan terdengar samar-samar.
“Bagus. Lalu apa yang terjadi pada Eomma jika Bora menjadi anak nakal?”
“Eomma juga akan dihukum.”
“Kenapa Eomma dihukum?”
“Karena telah membiarkan Bora menjadi anak nakal.”
Hyejung berusaha mengintip dari celah pintu yang terbuka. Ia melihat ibu Cha Bora, Kang Jihye sedang berlutut. Sementara Cha Yoojin berdiri memegang sebuah tongkat, lalu memukul Kang Jihye sekuat tenaga. Melihat kejadian itu, kedua tangan Hyejung secara otomatis membekap mulutnya sendiri, berusaha mencegah timbulnya suara. Dilihatnya Kang Jihye yang terkulai di lantai, menahan sakit tanpa bersuara. Melihat istrinya kesakitan, Cha Yoojin justru tertawa lepas, nampak kepuasan dalam ekspresi wajahnya. Cha Yoojin semakin menjatuhi pukulan bertubi-tubi pada istrinya itu. Hyejung tak sanggup lagi menyaksikan kejadian mengerikan itu, dan berlari meninggalkan bangsal Cha Bora.
Hyejung masuk ke area tangga darurat dengan napas yang terengah-engah. Seluruh tubuhnya tremor. Ia mulai menggigiti kuku jari tangannya. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku masuk dan menghentikannya? Namun nyalinya tak seberani itu. Seketika ia teringat Jisung. Ya, ia harus memberitahu Jisung.
Dikeluarkannya ponsel dari saku jas dokter yang ia kenakan. Dengan tangan yang masih gemetar dan napas yang tidak beraturan, Hyejung berusaha mengoperasikan ponselnya itu.
Tut … tut …
Suara telepon tersambung. Namun tak kunjung mendapat jawaban. Hyejung mencoba menghubunginya sekali lagi.
Tut … tut …
“Yeoboseyo.” Ucap Jisung dari seberang telepon.
“Jaksa Ahn, apa yang harus aku lakukan?” Hyejung bertanya dengan suara gemetar.
“Ada apa? Kenapa suara Dokter Nam …” Belum selesai Jisung menyampaikan pertanyaannya, Hyejung memotong pembicaraan.
“Bagaimana ini? … Jaksa Ahn, cepat kemari. Ini gawat.” Ucap Hyejung panik.
“Dokter Nam, tenangkan dirimu. Pelan-pelan, kau bisa mengatakan apa yang terjadi.” Balas Jisung yang berusaha menenangkan Hyejung.
“Cha … Cha Yoojin.”
⁂⁂⁂
Jisung memarkirkan mobilnya di halaman parkir rumah sakit seperti seorang pengendara professional, lalu melangkah turun dari mobil.
Bip-bip.
Mobil terkunci setelah Jisung menekan tombol lock pada kunci mobilnya. Ia berlari ke arah pintu utama gedung rumah sakit.
Diantara pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang, terihat sesosok wanita yang berjalan mondar-mandir di lobby rumah sakit, menandakan ia sedang khawatir. Jisung segera menghampiri wanita yang ia kenal itu begitu melangkahkan kaki, memasuki lobby rumah sakit.
“Dokter Nam.” Seru Jisung.
Hyejung segera menghampiri pria yang sedari tadi ia tunggu-tunggu. Dengan penuh rasa cemas, ia mengajak Jisung ke sebuah koridor rumah sakit yang situasinya lebih sepi untuk menceritakan apa yang telah ia lihat.
“Apa kau yakin?” Tanya Jisung setelah mendengar cerita dari Hyejung.
“Aku juga tidak begitu yakin karena suaranya terdengar samar. Tapi aku melihat Cha Yoojin memukuli Kang Jihye dengan sebuah tongkat. Kelihatannya terbuat dari besi.” Ucap Hyejung. “Aku tak tahu, apakah keputusanku benar atau tidak saat pergi meninggalkan bangsal VIP. Saat itu aku merasa terlalu takut.”
“Tak apa. Tindakanmu sudah benar. Justru akan berbahaya jika kau tiba-tiba masuk dan melerai mereka. Kau juga bisa menjadi sasaran Cha Yoojin.” Ujar Jisung yang berusaha menenangkan Hyejung.
Jisung memangku tangannya sembari berpikir. Apa yang harus dilakukan?
“Jaksa Ahn, tidak bisakah kita langsung lapor polisi? Agar Cha Yoojin langsung ditangkap.” Ucap Hyejung, membuyarkan konsentrasi Jisung yang sedang fokus berpikir.
Jisung menggelengkan kepala. “Tidak bisa. Kepolisian tidak bisa menangkap seseorang jika tidak mendapat surat perintah penangkapan dari kejaksaan. Sedangkan untuk mengeluarkan surat perintah, kejaksaan membutuhkan bukti kongkrit.”
Hyejung mulai menggigiti kuku-kuku jemari tangannya lagi. “Bagaimana ini?” Ucapnya panik. “Aku benar-benar takut sesuatu yang lebih buruk terjadi pada Cha Bora dan Kang Jihye.”
Seketika Jisung mendapat sebuah ide. “Dokter Nam, kau masih menjadi dokter penanggungjawab Cha Bora, kan?” Tanya Jisung memastikan.
“Ya, aku masih menjadi penanggungjawabnya.”
“Jam berapa biasanya kau memeriksa kondisi Cha Bora?”
“Sekitar jam 1 siang. Setelah ia selesai makan siang, disaat waktu minum obat tiba.”
Jisung menoleh ke arah arloji yang ia kenakan di tangan sebelah kiri. Waktu menunjukkan pukul 12:50. “Masih ada waktu 10 menit lagi.” Gumamnya. “Dokter Nam, aku punya rencana.”
Hyejung mengerutkan dahi. Dari ekspresi wajahnya dapat ditebak Hyejung sedang bertanya-tanya, rencana apa yang dimiliki lelaki di hadapannya itu.
“Begini. Pukul 1 siang nanti, kau akan memeriksa kondisi Cha Bora seperti biasa dan aku akan ikut denganmu.” Ujar Jisung setelah memahami rasa penasaran Hyejung dari ekspresi wajahnya.
Hyejung memiringkan kepala, menunggu penjelasan selanjutnya.
“Aku akan masuk bersamamu ke ruang perawatan Cha Bora. Selagi kau memeriksa kondisi Cha Bora, aku akan menelisik kondisi di dalam ruangan untuk menemukan hal yang mencurigakan.” Sambung Jisung yakin.
Jisung memandang wajah Hyejung, menunggu jawaban. Namun paras cantik dokter yang berdiri di hadapannya itu justru menunjukkan rasa keragu-raguan. “Aku tak yakin kita akan langsung menemukan bukti. Tapi apa salahnya mencoba.” Ujar Jisung meyakinkan.
Hyejung menghela napas. “Baiklah, kita lakukan seperti rencanamu.” Lalu keduanya bergegas menuju lantai 10 gedung rumah sakit.
Tak perlu menunggu lama, Hyejung dan Jisung tiba di lantai 10. Kehadiran mereka disambut oleh dokter VIP yang akan mendampingi Hyejung memeriksa Cha Bora. Para dokter VIP menatap Jisung dan Hyejung bergantian. Kenapa ada Jaksa Ahn Jisung?
“Jaksa Ahn akan ikut dengan kita, sekalian menjenguk Cha Bora.” Ucap Hyejung seolah membaca pikiran para dokter itu.
“Oh, baik, kami mengerti.” Balas salah seorang dokter. Mereka pun segera menuju bangsal Cha Bora, karena waktu telah menunjukkan pukul 13:00.
Tiba-tiba langkah Hyejung terhenti. Sontak langkah Jisung dan dokter VIP yang berjalan diibelakangnya ikut berhenti.
“Ada apa, Dokter Nam?” Tanya Jisung.
“Aku hanya … hanya … takut.” Ucap Hyejung sambil menundukkan kepala.
Sementara anggota tim dokter VIP tak mengerti dengan ucapan Hyejung, Jisung mengambil satu langkah ke depan, hingga posisinya sekarang berada sejajar dan menghadap Hyejung. “Dokter Nam, lihat aku.” Pinta Jisung.
Hyejung menengadah dan memandang wajah lelaki dengan tinggi 178 cm di hadapannya itu.
Jisung menatap Hyejung dalam. “Kau tak perlu takut. Ada aku disini. Aku akan melindungimu. Aku akan selalu berada di sisimu dan melindungimu apapun yang terjadi.” Ucapnya meyakinkan.
Mendengar ucapan Jisung, Hyejung tak bergeming. Ia tak bisa berhenti menatap wajah lelaki yang penuh ketegasan itu. Sorot matanya memancarkan ketulusan. Tutur katanya mampu membuat Hyejung yakin bahwa laki-laki ini akan menepati ucapannya. Dan pada saat yang sama, Hyejung menyadari jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Hyejung akhirnya mengangguk dengan tegas, lalu melangkah menyusuri koridor bangsal VIP, diikuti Jisung dan para dokter VIP yang berjalan tepat di belakangnya.
Hyejung membuka pintu bangsal VIP Cha Bora. Sekuat tenaga ia berusaha menghilangkan rasa takut dan cemasnya, dan bertindak seperti biasa.
“Annyeonghaseyo.” Ucap Hyejung pada kedua orang tua Cha Bora. Kang Jihye dan Cha Yoojin membalas salam Hyejung bersahutan.
“Bora, annyeong!” Ucap Hyejung dengan ceria saat berdiri tepat di samping tempat tidur Cha Bora, diikuti oleh Jisung dan tim dokter VIP.
“Oh, Jaksa Ahn!” Sahut Cha Yoojin ketika melihat Jisung. “Bukankah interogasiku sudah selesai? Ada apa kemari?”
“Aku hanya ingin menjenguk Cha Bora, apakah tidak boleh?” Balas Jisung.
Cha Yoojin tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Jisung melirik ke arah Hyejung yang sedari tadi menunggu instruksinya, dan memberi isyarat.
Menangkap kode yang diberikan Jisung, Hyejung pun segera melancarkan skenario yang telah direncanakan.
“Bora, bagaimana keadaanmu? Merasa lebih baik atau masih terasa sakit?” Tanya Hyejung lembut.
Selagi Hyejung melakukan pemeriksaan, Jisung memulai misinya. Ia menyadari Cha Yoojin memperhatikan gerak-geriknya. Akhirnya Jisung hanya mampu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, menyelidik dengan seksama.
Sepuluh menit. Tak lebih dari sepuluh menit, Hyejung menyelesaikan pemeriksaan pada Cha Bora. Durasi pemeriksaan kali ini memang lebih sebentar dari biasanya, terlebih kondisi Cha Bora yang sudah jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Waktu sepuluh menit tak cukup bagi Jisung untuk menemukan barang bukti, apalagi dengan kondisi Cha Yoojin yang bermain sangat rapi. Sepertinya ia telah menyiapkan semuanya dengan matang. Akhirnya, Hyejung dan Jisung meninggalkan bangsal perawatan Cha Bora dengan tangan kosong.
⁂⁂⁂
“Kurasa kuncinya adalah Kang Jihye. Kita harus membuatnya mengungkapkan yang sebenarnya. Dia adalah saksi kunci kasus ini.” Ucap Jisung sambil mengelus dagu. “Dokter Nam, bisakah kau membujuk Kang Jihye agar berterus terang?”
Hyejung merapatkan bibirnya. Pandangannya lurus ke arah lantai, sehingga wajahnya sedikit menunduk. Ia masih menimbang-nimbang, apakah ia bisa melakukannya?
“Baiklah, akan ku usahakan. Tapi aku tak bisa janji akan berhasil.” Ucap Hyejung pelan.
Jisung mengangguk dan berpamitan, kemudian berbalik dan berjalan ke arah pintu utama gedung rumah sakit.
Hyejung berdiri mematung sambil memandangi punggung laki-laki yang berjalan menjauhinya itu. Dalam lamunannya, ia bertanya pada dirinya sendiri, bukankah aku ini seorang dokter? Tugas seorang dokter hanya merawat pasiennya. Urusan penjahat yang melukai pasien bukanlah tugasku, melainkan tugas jaksa dan polisi. Ia masih tak habis pikir, kenapa ia mau menerima permintaan lelaki itu? Bukankah dirinya sudah sibuk untuk merawat puluhan pasien yang menunggu antrian di depan ruang poliklinik? Bukankah jam istirahatnya selalu ia habiskan di ruang operasi? Lihat yang terjadi sekarang, agendanya berantakan. Ia harus mengatur ulang alokasi waktunya karena terlibat dalam kasus ini. Haruskah ia menyesali keputusannya?
Entahlah.
Satu hal yang pasti, dalam lubuk hatinya berkata, aku ingin membantu lelaki itu. Ya, aku ingin membantunya menangkap penjahat yang telah menyakiti pasienku.
Tak terasa sosok Jisung telah menghilang dari pandangannya. Benar, Hyejung sudah berdiri cukup lama di lobby rumah sakit. Ia menghembuskan napas berat setelah memikirkan berbagai pertanyaan yang ia sendiri tak bisa menemukan jawabannya. Hyejung berbalik dan mendapati Cha Yoojin sedang berjalan ke arahnya.
Pikirannya kalut. Bayang-bayang Cha Yoojin memukuli Kang Jihye muncul dalam ingatannya. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku pergi dan berpura-pura tidak melihatnya? Ataukah aku harus menghadapinya? Belum sempat mengambil keputusan, Cha Yoojin menghentikan langkahnya tepat di depan Hyejung yang masih berpikir.
“Apakah Dokter Nam sibuk hari ini?” Tanya Cha Yoojin dengan senyum tipis di bibirnya.
“Ya? Oh, iya.” Balas Hyejung singkat. Ia masih berusaha menutupi keresahan hatinya.
“Begitu rupanya.” Cha Yoojin mengambil satu langkah ke depan, hingga posisinya sekarang berada sangat dekat dengan Hyejung. Badannya sedikit dicondongkan, dan mulai berbicara dengan suara yang lebih pelan.
“Jika Dokter Nam sibuk, ku sarankan tidak usah ikut campur urusan orang lain. Rawat saja Bora dan pasien-pasienmu dengan baik.”
Hyejung menelan ludah. Diam. Tak bergeming.