Suasana di mansion keluarga Quinsley pagi ini sedikit berbeda. Sepasang suami istri terlihat tengah berbicara serius di dalam kamar utama yang ada di lantai satu mansion. Sang pria yang sedang membaca ulang surat yang ada ditangannya, mengerutkan kening dan mengetuk – ngetuk meja dengan jari telunjuk kanannya.
“Kaisar benar – benar ingin menemui Rosalind,” ucap Alexander Quinsley, Duke Tunissa.
“Mengapa beliau tiba – tiba ingin menemui putri kita?” tanya Margareth Quinsley yang ikut membaca surat di tangan suaminya. Wanita bermata hazel itu kemudian berbalik memandang taman bunga rumahnya dari balik jendela besar kamar. Berusaha mengurangi kegelisahan yang ada di hatinya.
“Aku juga tidak bisa menebak apa yang ada di benak beliau.” Alexander berdiri dan meremas kedua bahu istrinya dengan lembut. “Tenang saja, aku akan memastikan keamanan Rosalind.”
Margareth hanya diam. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai hal negatif. Suasana di ibukota Kekaisaran Reich, Kota Freiden Pusat sangat tidak aman untuk saat ini. Terjadi pertarungan politik sebagai pewaris tahta diantara Pangeran Pertama yang merupakan Putra Mahkota dengan Pangeran Kedua. Apalagi kesehatan Kaisar semakin hari memburuk. Ditambah dengan desas – desus akan datangnya pemberontakan dari Kerajaan Neo akibat dari kebijakan pembatasan penjualan alat perang yang merupakan sumber dana terbesar bagi perekonomian kerajaan itu.
Tok tok. Suara ketukan pintu terdengar dan Alexander menyuruh orang dibalik pintu untuk masuk. Sosok gadis kecil dengan gaun rumah berwarna kuning berjalan masuk dan menekuk lututnya sambil mengangkat sedikit kedua sisi gaunnya.
“Selamat pagi, Ayah, Ibu,” ucap gadis kecil itu.
“Pagi,” balas Alexander.
Margareth menghampiri putrinya dan memeluknya. “Pagi, sayang.”
Rosalind mengangkat kepalanya, menatap ragu wajah sang ibu. “Ibu, semalam Rose bermimpi buruk.”
Mendegar hal tersebut, Margareth langsung melirik suaminya, seakan memberi isyarat bahwa mimpi buruk yang dialami Rosalind merupakan sebuah pertanda. Diusapnya rambut panjang bergelombang Rosalind. “Rose bermimpi apa, sayang?”
“Rose tidak ingat, Ibu. Namun mimpi itu begitu menyeramkan hingga saat bangun, tubuh Rose berkeringat dan bergetar.”
Margareth kembali memeluk putrinya dengan erat dan menoleh ke arah Alexander. “Sayang, tolong tolak permintaan Kaisar, kumohon.”
“Mustahil. Kita bisa dianggap berkhianat jika melawan perintah Kaisar,” tolak Alexander dengan tegas.
“Sayang, kau dengar sendiri apa yang dikatakan Rose.”
“Tetap saja tidak mungkin untuk kita menolak perintah ini.”
“Sayang, kau juga tidak bisa mengabaikan pertanda buruk ini,” ucap Margareth dengan lembut. Masih berharap dapat mengubah keputusan suaminya.
“Aku akan menjamin keselamatan keluarga kita. Lusa kita akan berangkat, persiapkan diri kalian,” ucap Alexander sebelum berjalan keluar kamar.
“Alex, tunggu dulu. Alex,” panggil Margareth dengan putus asa.
“Ibu, apa maksud Ayah? Kita akan pergi kemana?” tanya Rosalind yang akhirnya bersuara.
“Kita akan pergi menemui Kaisar Cornwals I, sayang. Beliau meminta kami untuk membawamu saat Rapat Tahunan Kekaisaran lusa nanti.”
Kedua mata Rosalind melebar. “Ibukota? Mengapa Kaisar ingin menemui Rose, Ibu?”
“Ibu juga tidak tahu, sayang. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. Ibu percaya pada ayahmu.”
“Rose juga percaya pada ayah.”