Lima buah kereta kuda telah tersedia di depan kediaman Duke Tunissa. Dua orang pelayan pria terlihat memasukkan barang – barang kebutuhan keluarga Duke selama di ibukota kekaisaran ke dalam kereta keempat dan kelima. Sedangkan kereta kedua dan ketiga ditumpangi oleh pelayan yang ikut pergi.
“James, aku percayakan mansion ini kepadamu selama kami pergi,” ucap Alexander, sang Duke kepada Kepala Pelayan di rumahnya.
“Siap, Tuan. Saya akan bertanggung jawab penuh. Semoga Tuan, Nyonya dan Nona dapat kembali dengan selamat,” ucap James dengan sedikit membungkukkan badannya.
“Baik, kami berangkat sekarang.” Alexander lalu meraih tangan istrinya dan membantunya naik ke dalam kereta utama.
“Terima kasih, sayang,” ucap Margareth.
Alexander mengangguk dan ganti mengangkat tubuh putrinya, Rosalind untuk dia dudukkan di sebelah Margareth. “Terima kasih, Ayah,” ucap Rosalind.
“Sama – sama, sayang.” Dia pun ikut naik ke dalam kereta dan duduk di depan istrinya. “Perjalanan ini akan memakan waktu setengah hari, kalian berisitirahatlah.”
“Rose tidak mengantuk, Ayah. Rose ingin melihat suasana di kota,” jawab Rosalind yang membuka tirai jendela di sampingnya. Pemandangan yang ia saksikan masih berupa pepohonan sebelum akhirnya kereta kuda melewati jalan pusat keramaian Kota Tunis.
“Kereta Duke,” ucap para masyarakat Kota Tunis begitu melihat rombongan kereta kuda Duke Tunissa melintas. Rosalind menatap mereka dengan tersenyum lebar.
“Benarkah dia Putri Quinsley?” bisik seorang pemuda kepada temannya. “Kecantikannya ternyata bukan rumor belaka.”
“Kau benar. Mata birunya sangat jernih dan rambut rosegold – cokelatnya indah sekali,” sahut pemuda lain.
Rosalind yang masih bisa mendengar percakapan mereka hanya tertawa malu dan menutup tirai jendelanya. “Benar kata Ayah, Rose akan tidur sekarang.”
“Kemarikan kepalamu, sayang,” ucap Margareth menepuk pahanya.
“Baik, Ibu.” Rosalind membaringkan tubuh dan meletakkan kepalanya di paha sang Ibu. Dan tak lama dia tertidur lelap.
Margareth terus mengusap rambut putrinya dengan penuh kasih. Dia lalu menatap suaminya. “Sayang, bagaimana kabar terbaru dari Geraldo?”
“Masih tidak ditemukan pergerakan mencurigakan di ibukota. Kondisi Kota Frieden Pusat masih aman.”
“Syukurlah.” Margareth menghela nafas lega. “Apakah Pangeran Kedua kembali menghubungimu?”
“Tidak. Aku sudah memberikan penolakan yang tegas. Aku tidak akan mendukungnya. Kurasa dia sudah mengerti dan menyerah sekarang,” jawab Alexander.
“Semoga saja. Keluarga kita harus tetap netral untuk menghindari pertumpahan darah.” Margareth menurunkan pandangan ke arah putrinya. “Dengan begitu Rose bisa tetap aman.”
Alexander meraih tangan Margareth dan mengecupnya. “Tenang saja, istriku. Aku akan selalu melindungi kalian.”
Setelah menempuh perjalanan panjang, rombongan kereta Duke Tunissa akhirnya tiba di istana. Mereka langsung di arahkan menuju kamar untuk berisitirahat. Hingga malam hari datang dan Kaisar mengundang keluarga mereka untuk jamuan makan malam.
“Salam, Yang Mulia. Semoga Kekaisaran Reich selalu dilimpahi keberkahan,” ucap Duke Tunissa bersama istri dan anaknya saat menghadap Kaisar Kekaisaran Reich, Kaisar Cornwals I.
Kaisar terbatuk – batuk dan berucap, “Sudah lama tidak melihatmu, Duke. Bagaimana kabarmu?”
“Saya baik, Yang Mulia.” Duke Tunissa mengamati wajah pucat Kaisar.
“Senang mendengarnya. Oh, apakah dia putrimu?”
“Benar, Yang Mulia.”
Kaisar lalu menyuruh mereka untuk duduk di tempat yang sudah di sediakan. Setelah Duke Tunissa dan keluarganya duduk, Kaisar bertanya, “Dia sudah tumbuh menjadi gadis muda yang cantik. Siapa namanya? Uhuk uhuk.”
“Rosalind Quinsley, Yang Mulia,” jawab Duke Tunissa.
“Nama yang cantik. Uhuk uhuk,” ucap Kaisar. “Rosalind.”
Rosalind mengangkat ragu kepalanya. “Ya, Yang Mulia.”
“Aku dengar kau menguasai empat bahasa. Uhuk.”
“Benar, Yang Mulia.”
“Kau anak yang cerdas.”
“Terima kasih, Yang Mulia,” jawab Rosalind canggung.
Perbincangan itu berlanjut hingga makan malam selesai. Duke Tunissa dan keluarganya segera mengundurkan diri. Sesampainya di kamar, Margareth mencegah suaminya yang hendak tidur.