Dear Nathan

Coconut Books
Chapter #1

1 Terbukanya Gerbang

“MAMPUS deh gue!”

Cewek itu menepuk jidatnya begitu melihat gerbang sekolah sudah ditutup, lantas melirik jam mungil yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah telat lima belas menit.

Mungkin bagi murid lain, terlambat adalah sesuatu yan biasa. Tapi berstatus murid pindahan yang baru bersekolah selama satu minggu kemudian dapat masalah karena terlambat sepertinya akan menjadi masalah besar.

“Sssstttt….”

Salma tersentak kaget mendengar desisan seseorang dan otomatis menolehkan kepala saat mencium aroma rokok menyengat di dekatnya. Dia menarik tubuhnya dua langkah menjauh lantaran melihat seorang cowok berpenampilan urakan ada di sebelahnya.

“Telat?” tanya cowok itu sambil menyentil batang rokok yang sudah habis terisap masuk ke got dekat gerbang.

“I-iya.” Salma mengangguk takut, tangannya mulai dingin dan... tes... Sebulir keringat menitik di alisnya.

Mata Salma memperhatikan cowok itu. Kemeja sekolahnya tidak dimasukkan ke dalam celana, tidak memakai dasi, rambutnya sedikit melewati kerah dan dua kancing teratas seragamnya terbuka sehingga kaus dalam putih yang dikenakannya dapat terlihat. Tipikal siswa yang gemar melanggar aturan.

“Kamu telat juga?” tanya Salma khawatir.

“Kelihatannya gimana?” balasnya juga dengan pertanyaan.

“Murid baru?”

Salma mengangguk samar, “Iya.”

“Bener, ternyata. Nggak pernah saya liat mukanya di sini.”

Mata Salma berpindah melihat dada kanan cowok itu.

Tidak ada name-tag yang melekat di sana.

“Mau saya bantuin? Biasanya jam segini gerbang samping masih buka, guru-guru belum ada yang jaga di sana.” Kemudian, mata cowok itu berpaling ke jam tangannya. “Tiga menit lagi, Bu Endang baru mulai jaga. Berarti masih sempet.”

“Hah?” Salma mengernyit. “Sempat apa?”

“Sempet untuk bantuin masuk lewat gerbang samping.”

Bingung. Salma menimbang-nimbang dan di sisi lain ketakutan, seumur hidupnya dia tidak pernah coba-coba untuk menyelusup masuk. “E-enggak deh, di sini aja.”

“Yakin?” Cowok itu mengangkat alis. “Soalnya kalau ketangkep di sini lebih bahaya lagi, kamu tau nggak apa hukumannya kalau terlambat? Surat panggilan orangtua ditambah lagi harus bersihin toilet. Tau sendiri toilet sekolah kita itu kayak gimana, kandang sapi aja kalah kali.”

“Terus kamu juga telat, kan?” balas Salma menatap cowok itu heran. “Ya udah, kita sama-sama telat.”

“Yah, kalau saya sih udah puas dikasih hukuman,” sahutnya datar. “Terserah deh. Soalnya kamu masih murid baru, kasian kalau baru sekolah beberapa hari, eh udah dapet hukuman aja,” balasnya dengan nada menyindir. “Oke deh, saya tinggal ya.” Lalu sang cowok tak dikenal itu berbalik, meninggalkan

Salma sendirian. Ya, sendirian. Di balik tembok. Bersembunyi dengan jantung berdebar.

Dengan penasaran, Salma kembali menarik kepalanya untuk mengintip, dan tepat di waktu bersamaan, Bu Rena yang ada di depan gerbang meliriknya.

“Mati gue,” Salma melotot, menarik lagi kepalanya untuk bersembunyi. “Mampus deh, ketahuan,” lirihnya. Dia lalu melihat punggung cowok yang berjalan menjauh ke arah gerbang samping sekolah masih terlihat.

Salma dengan nekat berlari menyusul cowok itu, berusaha menyejajarkan posisinya dan menahan lengan si cowok. “T-tunggu! Ya udah… ikut, deh,” jawabnya dengan napas terengah-engah.

“Oke.” Cowok itu mengangguk sambil tersenyum samar dan kembali melirik jamnya. “Sebentar. Kamu tunggu sini, biar saya cek gerbang sampingnya dulu,” katanya dengan nada seolah dirinya memang sudah terbiasa dengan aktivitas seperti ini.

Salma mengikuti gerakan cowok itu, dilihatnya sang cowok seperti berbicara pada seseorang dan memberikan beberapa batang rokok sebagai bahan sogokan. Tak lama, dia kembali menatap Salma sambil menggerakkan telunjuknya supaya Salma

mendekat setelah berhasil melakukan negosiasi. “Bentar lagi gurunya bakalan datang,” katanya sewaktu Salma sudah berjalan mendekati gerbang samping yang ternyata baru saja dibuka oleh penjaga kantin belakang.

“Kamu nggak masuk?”

“Nggak. Mau cabut.”

Mata Salma terbelalak mendengarnya. “Buruan! Kalau guru ngeliat kamu lewat sini, hukumannya bakal lebih parah.”

“Iya, iya!” Salma mengangguk spontan. “Ya udah, makasih ya!”

Tanpa banyak ba-bi-bu, dengan kaki yang masih gemetar dan lemas, sekuat tenaga dia berlari sekencang-kencangnya melewati koridor gedung samping yang akan membawanya ke lapangan dan berbaris di barisan paling belakang tanpa ketahuan oleh guru.

****

Surga bagi anak-anak SMA sebenarnya sederhana: habis panas-panasan upacara lalu disambut pelajaran Matematika yang luar biasa membosankan—karena gurunya yang killer sekaligus jadul—namun tiba-tiba diberi tahu kalau gurunya tidak masuk karena alasan mendadak. Alhasil semua murid yang ada di kelas X-2 seketika berteriak girang, mengalahkan kehebohan supporter timnas sewaktu tahu tim favorit mereka berhasil menjebol gawang lawan.

Semuanya beraksi di posisi masing-masing. Anak cewek berkumpul di kelompok barisan tengah, biasanya itu kelompok yang suka gosip, semua hal diceritakan; mulai dari Ayu Ting Ting jadian dengan Shaheer Sheikh sampai ujung-ujungnya lari menggosip siapa bapak dari kucing sekolahan yang sedang bunting. Kucing yang diberi nama Cinglay alias kucing belai, karena tiap bulannya pasti dihamili oleh kucing jantan yang berbeda-beda. Sejenis riset kecil-kecilan yang dilakukan oleh sekelompok murid kurang kerjaan.

Sementara barisan anak cowok melompat ke daerah sarang penyamun, paling pojok, benar-benar pojok dan terpencil. Main handphone dan seketika berteriak heboh, “Wow, Man, gila seksi banget!” Yang lainnya lagi membalas tak kalah seru. “Iya, mantap! Gede banget, gila.” Kira-kira bisa ditebak mereka sedang apa.

Makanya tidak salah kalau Riko, ketua kelas X-2 yang baru saja menjabat tiga bulan sebagai ketua kelas ingin cepatcepat mengundurkan diri. Katanya jika disuruh memilih antara mengurus kucing atau mengurus teman-teman sekelasnya, Riko lebih memilih opsi pertama.

“Untung aja lo lewat gerbang samping, kalau enggak yah, lo udah abis kali sama Bu Rena.” Setelah upacara, Salma bercerita pada Orlin—teman yang duduk di depan bangkunya—tentang kejadian tidak menguntungkan tadi pagi. “Lo tau siapa cowok yang udah nolongin lo itu?”

“Enggak, gue nggak tau. Soalnya dia nggak pake badge nama, badge kelas juga enggak. Tapi dari penampilannya, dia pasti anak bandel.”

Mendengar suara teriakan anak-anak cowok yang makin berisik, Orlin memutar bola matanya. “Berisik banget, sih!” Cewek itu bangun dari kursinya dan menatap Jaya tajam sambil berkacak pinggang. “Woi, Jaya, lo tuh ya! Udah sekolah jarang, sekalinya sekolah langsung buat ribut, udah gih sana lo di rumah aja. Nggak usah sekolah nggak apa-apa. Syukur Alhamdulillah, kelas tenang-tenang aja!”

Di setiap kelas pasti ada satu murid yang tergolong spesies unik. Untuk di kelas X-2, gelar itu pantas diberikan ke Jaya. Murid yang terkadang dalam satu minggu hanya sekolah dua hari, kadang tiga hari. Jangan heran kenapa dia jadi langganan dipanggil wali kelas dan sering mendapat surat panggilan orangtua. Sekalinya sekolah langsung jadi biang keributan, kerjaannya di kelas kalau bukan main hape ya tidur. Udah deh begitu. Sampai kiamat.

“Lo-lo pasti nonton aneh-aneh, kan?! Ngaku deh, biarin gue aduin guru lo. Liat aja.”

“Berarti gue normal, dong! Sirik aja, kalau mau ikutan, sini duduk bareng.” Jaya menepuk pahanya dan dibalas Orlin dengan pelototan tajam.

Suasana begini memang benar-benar baru bagi Salma, nama kepanjangannya Salma Alvira. Murid pindahan dari Bandung, karena ayahnya dimutasi ke Jakarta yang akhirnya membuat Salma harus ikut pindah sekolah. Akhirnya pilihannya jatuh ke SMA Garuda yang termasuk salah satu sekolah favorit di Jakarta. Dulu waktu di Bandung, Salma sekolah di SMA yang rata-rata anak lakinya kalem dan tidak banyak ulah. Kebanyakan di kelasnya adalah murid kutu buku dan berkacamata. Makanya dia benar-benar kaget melihat keadaaan kelas barunya yang pantas dijuluki sarang penyamun.

“Lin, udah deh, nggak usah diurusin orang kayak begitu.” Salma menarik baju Orlin supaya tenang. “Kalau lo urusin justru tambah jadi.”

“Biarin sih, lo marah-marah entar ujung-ujungnya cinta, kayak di FTV gitu,” seru Rahma mengerlingkan mata.

“Cinta sama tuh penyamun? Mendingan gue sama Ucup dibanding sama tuh orang.”

Ucup. Manusia paling lugu sekaligus pintar yang ada di X-2. Saat anak-anak cowok sibuk berkumpul di kursi Jaya, Ucup hanya duduk di kursinya sambil baca buku Biologi.

Ucup yang duduk di belakangnya seketika berpaling dan melempar tatapan bingung.

“He, bercanda Cup.” Orlin nyengir.

Sebenarnya nama asli Ucup itu Ramanda Amanoa Putra. Tapi, nama kerennya seketika berubah sewaktu Jaya yang tibatiba memanggilnya Ucup. Entah dapat ilham dari mana bisa mengubah nama kerennya menjadi empat huruf tanpa makna.

Riko muncul di pintu kelas, berdiri di depan papan tulis. “Woi, dengerin gue!” teriaknya supaya didengar seluruh siswa yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Rama, Jaya, Birul, Orlin, Rahma, Meysha, Puteri, Rizki, Adam, Jeri. Lo semua dipanggil ke kelas X-6 sekarang!”

“Loh kenapa dipanggil?” tanya Salma heran.

“Gara-gara nggak ngumpulin tugas PKN, lo semua dipanggil Bu Dian, cepat!”

“Tuh kan, udah gue kira! Pasti gara-gara tugas,” Orlin menggerutu, “nggak asyik.” Orlin bangkit dari kursinya. “Ya udah yuk, buruan, sebelum Bu Dian marah.” Orlin menarik teman-teman segenk-nya supaya keluar kelas dan ke kelas X-6 yang ada di lantai tiga.

Lihat selengkapnya