“EH, lo maling sepatu siapa nih?”
Nathan baru saja duduk di kursinya, paling pojok sekaligus eksklusif, bahkan secara tidak langsung sudah diklaim sebagai kepemilikan permanen. Posisi paling strategis karena di tempat itu dia bisa tidur, mengobrol tanpa harus ketahuan guru karena di depannya ada Robi yang sengaja sudah di-booking Nathan untuk duduk di depannya. (Alasannya, Robi punya badan besar yang bisa jadi tembok mendadak Nathan).
“Canda lo, ah! Masa sepatu Ucup ada bunga-bunga,” Robi menoleh dan tertawa geli sampai bahunya berguncang, membuatnya persis seperti raksasa di tivi-tivi, “… walaupun cupu gitu, dia masih cowok tulen.”
“Liat aja, abis ntar itu anak.”
“Dasar baper, nggak sengaja gitu dia ngelempar sepatunya.” Rian, yang semula memanggil Nathan dari tangga menyahut karena dia melihat di TKP.
Tepat saat Nathan melengos dan berniat melempar kepala Rian dengan kertas yang dia remas menjadi bola, Pak Mahyudi melangkah masuk, yang spontan membuat seisi kelas terdiam.
“Bi, bangun lo, buruan.” Nathan bangkit dari kursinya, berpindah tempat pada tempat duduk Robi supaya Nathan bisa duduk di samping Arif.
Bukan apa-apa, masalahnya Nathan memang bego dalam pelajaran Bahasa Arab. Bukan Arab saja, tapi hampir semua pelajaran. Karena boro-boro mau belajar kalau kerjaannya tiap hari bawa satu buku dan pena hasil maling milik Mita, alasannya karena Nathan sudah trauma bawa buku banyakbanyak. Waktu seminggu memulai belajar, Nathan masih rajin bawa buku kosong, tapi dia madol sampai jam ke lima, dan balik-balik ke kelas, semua bukunya raib. Hilang. Tanpa jejak. Hanya menyisakan sebuah pena di dalam tas.
“Geseran dong.”
Arif meringis tidak nyaman, tahu bahwa Nathan pindah pasti karena ada maunya. Kalau bukan karena kepingin menyontek, alasan lain, pasti sesuatu yang aneh-aneh.
“Buka Alquran kalian.” Sudah menjadi ciri khas Pak Mahyudi dengan kepala botak dan kumis putih di atas bibirnya untuk segera memberi perintah, matanya menatap ke seluruh kelas hingga akhirnya berhenti tepat menatap Nathan yang selalu menjadi sasaran empuk. “Nathan, baca surah Al-Baqarah, dari ayat empat sampai tujuh.”
Terdengar cekikikan kecil dari belakang Nathan.
Nathan menyenggol lengan Arif. Arif mengerti, cowok itu segera ikut membuka Alquran-nya dan mulai melantunkan suara ngaji sementara Nathan membuka bibir, sekadar megapmegap—persis seperti penyanyi lipsing—membuat seisi kelas menahan tawa setengah mati, sementara Pak Mahyudi duduk di kursinya sambil mendengarkan Nathan tanpa tahu kejadian sebenarnya, bersyukurlah karena ternyata Pak Mahyudi rabun jauh.
“Nathan!”
Nathan tersentak. Bibirnya berhenti megap-megap, namun Arif masih tetap mengaji.
Lengan Nathan kembali menyenggol Arif supaya berhenti, tapi anak itu tetap aja mengaji.
Pak Mahyudi bangun dari kursinya, matanya memicing untuk mengamati Nathan. “Saya menyuruh kamu mengaji, bukan Arif!”
Sekelas lagi-lagi menahan senyum.
“Saya lagi sariawan, Pak,” jawab Nathan refleks.
“Kamu! Kemari kamu!”
Nathan melengos kesal. Mau tak mau, dia bangun dari kursinya dan berjalan malas-malasan mendekati Pak Mahyudi.
“Keluar kamu!” teriak Pak Mahyudi keras, “cepat!” Salah besar kalau hukuman untuk Nathan mengeluarkannya dari kelas, bagi anak-anak lain mungkin ini benar-benar sebuah bencana besar. Tapi buat Nathan, ini namanya rezeki nomplok. Bisa keluar kelas tanpa harus capek-capek bolos.
“Makasih, Pak. Saya keluar, deh.” Nathan mengangguk, lalu cepat-cepat berbalik untuk keluar dari kelas, setelah sebelumnya menyeringai puas menatap Robi.
****
“Rahma, sepatu gue gimana, nih?” Salma berdiri di balik tembok gedung belakang sekolah.
“Ya lo ambil sana.” Rahma memandang lurus ke depan, pada gerombolan Nathan dan kakak kelas tiga yang kali ini sedang berdiri di kantin belakang sekolah, sebagian sedang duduk di atas meja sambil mengopi ria. Sementara lainnya sedang tertawa sambil merokok. “Buruan, lo mau pulang apa enggak?”
“Gue ngeri.” Salma menggeleng paranoid, melihat Nathan bergabung bersama gerombolannya yang terkenal tukang rusuh, bukan pilihan yang tepat untuk didekati. Apalagi mereka adalah gerombolan yang sangat terkenal suka menggoda adik kelas, tipe senior buaya darat.
“Ngeri? Nathan nggak gigit kali. Lagian lo tadi pagi udah dia tolongin, nah, berarti dia nggak mungkin ngapa-ngapain
elo. Gue liatin deh.” Tangan Rahma menepuk punggung Salma.
“Ogah ah.” Salma menggeleng. “Sumpah, gue takut.” Namun anehnya, Salma tidak punya alasan tepat untuk menjelaskan kenapa dia tiba-tiba takut pada Nathan.
“Kalau lo nggak nemuin, sepatu lo nggak bakalan balik.”
“Iya juga sih.”
“Dibanding sepatu lo nggak balik, pasti lo ntar ditanyain Nyokap. Sepatunya mana? Kalau mau beli sepatu lagi kan namanya buang duit, Sal.” Tangan Rahma yang tadi di punggung Salma segera mendorongnya, membuat tubuh Salma tersentak ke depan. “Sekarang kalau lo nggak ambil sepatunya, terpaksa gue tinggal. Bye!”
“Eh, iya iya deh, tunggu.” Karena tidak punya pilihan, Salma menyerah. “Oke, tunggu di situ.”
Cewek itu lantas memberanikan diri, menarik napas perlahan-lahan dan mengembuskannya dengan keras. Dia berjalan mendekati Nathan dan teman-temannya dengan jantung berdegup keras seperti bunyi bedug yang dipukul berulang-ulang. Salma sudah berada di area mereka hingga obrolan antara anak kelas tiga berhenti sejenak, mereka semua menatap Salma dengan bingung dan setelahnya berganti dengan sorotan jahil.
“Hai cewek, ada apaan nih? Nyariin Kakak ya?” Tanya kakak-kakak kelas itu dengan nada geli. “Duile, Adek ini manis deh, anak baru ya? Atau gue aja yang nggak pernah liat?”
“Dasar gatel! Inget lo udah ada Cindy. Pasti nyariin gue, iya kan? Dari fans gue?”
Bukannya bicara, Salma justru bisu dan tidak berkutik. Matanya menatap satu arah, pada Nathan yang sekarang tidak meliriknya, cowok itu justru mengobrol dengan temannya tanpa sedikit pun menyadari keberadaan Salma.
“Gue ngerti,” seseorang menyahut lagi sambil mengikuti arah tatapan Salma. “Lo pasti mau ketemu Nathan, iya kan?”
Nathan akhirnya menoleh, melirik Salma.
Mata hitam Nathan menatap Salma terang-terangan, setelah mengamati Salma beberapa detik, Nathan mengangguk. “Ooh iya, inget. Kamu cewek yang tadi pagi saya tolongin, kan?”
“Apa? Pake ‘kamu-saya’, ya? Bukan ‘gue-elo’? Cihuy, tumben amat Nathhhh....” Kor membahana menyambut jawaban Nathan.
“Nathan nolongin cewek? Kiamat, gempa bumi, longsor!” Lalu disambut siul-siulan yang membuat wajah Salma memerah seperti tomat setengah matang. “Pokoknya kalau Nathan pedekate sama cewek, gue bakal nyukur bulu gue.”
“Bulu di mana dulu, tuh?” seloroh yang lainnya pada Aditya. “Jangan bilang bulu-bulu bawah!”
“Bulu dagu gue lah, alias jenggot.”
“Halah, jenggot tipis gitu aja dibanggain.” Bukan tipis lagi, tapi super tipis, lagian kalau bukan dilihat dari dekat, mana mungkin orang tahu kalau Aditya punya jenggot. “Nunggu kiamat baru deh tuh jenggot tumbuh setebel punya Rhoma Irama.”
Aditya tertawa geli, lalu matanya kembali melirik Nathan. “Lo nolongin dalam rangka apa dulu, nih?”
Nathan menatap gerombolannya jengkel. “Kenapa?” Pertanyaan terakhir itu ditujukan Nathan pada Salma—yang wajahnya sudah tidak tahu terlihat bagaimana lagi, perpaduan antara ngeri dan parno.
“Ihiy, akhirnya Nathan dekatin cewek, gue kira lo homo.” Tidak tahan karena seruan teman-temannya yang berisiknya serupa dengan orang utan, Nathan bangun dari atas meja yang dia duduki, mengajak Salma supaya mengikuti dia menjauh dari teman-temannya.
“Nah, nah, liat tuh! Nathan ngajakin cewek mojok, wah parah! Gila! Sinting! Ciri-ciri kiamat udah dekat!” Seruan-seruan itu makin parah, tapi akhirnya menghilang tak lagi terdengar sewaktu Nathan mengajak Salma masuk ke dalam gedung sekolah.
Begitu keduanya sudah benar-benar tinggal berdua, Nathan memutar pandangannya menatap Salma. Membuat Salma mati kutu di tempat. “Itu… gue mau ngomong soal… sepatu… yang dilempar Ucup.” Salma memberanikan diri untuk angkat suara dengan nada yang terbata-bata.
“Oh, itu sepatu kamu?” tanyanya lagi, dijawab Salma dengan anggukan pelan. Mata Nathan tertuju pada name-tag di seragam Salma. “Nama kamu Salma? Salma Alvira?”
Salma melihat mata Nathan tertuju ke name-tag-nya dan balas mengangguk lagi. “Iya.”
“Saya kira punya Ucup, tapi bagus kalau bukan dia yang datang,” katanya. “Soalnya kalau dia yang datang,” Mata tajam Nathan menatap Salma lurus-lurus, ”… mungkin dia udah bonyok sekarang.”
Salma mundur selangkah sampai kepalanya menyentuh tembok. Dilihatnya Nathan tersenyum puas melihat reaksi Salma, lalu mengambil sesuatu dalam tas ransel, sepatu Salma.
“Ya udah, saya balikin,” katanya sambil memberikan sepatu Salma dan cewek itu cepat-cepat mengambilnya. “… berhubung kamu pucet banget, saya jadi nggak enak.”
“Thanks.”
“Lain kali kalau ketemu sama saya biasa aja,” balas Nathan kalem, sementara matanya melinangkan sorot geli. “Saya jinak kok, nggak bakalan berani gigit.”