Dear Nathan

Coconut Books
Chapter #3

3 Bantuan Tak Terduga

SESUAI dengan rencananya yang sudah disiapkan Salma sejak tadi malam, pagi ini dia akan menginterogasi Rahma habis-habisan. Seperti dugaannya, semua teman-teman sekelas sudah berkumpul, termasuk Jaya yang terkenal raja ngaret. Bukan karena mereka rajin. Tapi hari ini ada pelajaran Bu Naila di jam pertama, ditambah ada PR Biologi mengerjakan 50 soal di kertas folio. Sebagai wujud solidaritas salah kaprah khas anak SMA, mereka berencana untuk mengerjakan secara gotong-royong di sekolah. Beruntungnya, Salma memang sudah mengerjakan dari jauh-jauh hari.

“Woi, pokoknya abis Kia, gue liat punya Ridho,” teriak Orlin sudah nge-booking duluan. “Sal, Sal, lo udah ngerjain Biologi?” Orlin menjegat Salma yang berada di depan pintu kelas.

Salma melengos dan segera duduk di kursinya. Mukanya lecek abis, jutek, tidak seperti biasanya. “Lo kenapa deh? Sebel banget ekspresinya.”

“Rahmaa!!!” Salma berteriak. “Rahmaaa!” teriaknya lagi karena perhatian Rahma masih tertuju pada buku Biologi yang sedang dia salin di atas mejanya.

“Apaan sih, gue lagi nyalin nih, sabar.”

“Iya, kenapa sih, Sal? Lagi PMS ya?” tanya Meysha bingung.

“Bukan PMS lagi, gue lagi pingin makan orang!” Salma mendelik pada Rahma, yang terlihat tidak bisa diganggu gugat sama sekali. Salah satu keajaiban anak SMA, yang malas bisa berubah jadi rajin seratus delapan puluh derajat dalam keadaan kepepet. Dan yang biasanya nulis super-lambat bisa kebut mendadak dalam hal menyalin PR teman, alias nyontek.

“Wuih, tip-ex woi!!! Minjem tip-ex!!!” terdengar teriakan heboh dari pojok, kelompoknya Jaya. “Siapa yang punya tip-ex? Buruan kek minjem!! Urgency, nih!” Dan dalam suasana super panik, tip-ex yang biasanya selalu nangkring manis di dalam kotak pensil, bisa hilang dan mencar ke mana-mana. Dari ujung bisa loncat ke ujung, dari depan bisa loncat ke belakang.

“Lo mau ngomong apaan?” Rahma akhirnya menyelesaikan PR-nya, cewek itu balik badan dan berhadapan dengan wajah Salma yang terlihat jengkel setengah mati.

“Siapa yang ngasih nomor gue ke Nathan? Elo kan?!”

“Ha? Siapa yang bilang?”

“Nathan.”

“Udah gue bilangin jangan bilang-bilang dari gue.” Rahma meringis. “Iya, abis dia kemarin ngejegat gue waktu mau pulang. Gue kan kemarin pulangnya nggak bareng lo. Dia nanya nomor lo, terus gue kasih deh.”

“Kenapa lo kassiiiiiihhh?!!” Suara Salma terdengar merengek sebal, sementara Meysha dan Orlin menatap dengan tatapan terheran-heran, tidak tahu pokok permasalahan.

“Enggak mungkin, Nathan minta nomor lo? Buat apa?” tanya Meysha bingung. “Oh, jangan-jangan ada kakak kelas yang naksir lo, iya kan? Terus minta nomor lo lewat perantara Nathan,” nada bicara Meysha terdengar bingung sekaligus menduga-duga. “Kakak kelas yang kemarin di pintu itu ya? Lumayan kok, ganteng, walaupun masih jauh gantengan Nath—”

“Enggak. Nathan SMS gue, dia nelepon gue semalem.”

“APAAAA?!” Meysha dan Orlin bereaksi bersamaan. “Demi apa lo, Sal?”

“Semua ini gara-gara lo, jahat banget ngasih nomor gue!”

“Ya emang kenapa sih? Dia bilang katanya takut lo kenapa-napa, soalnya lo pingsan kan gara-gara dia juga, dan menurut gue itu tandanya dia gentle, mau bertanggung jawab,” lanjut Rahma.

“Terus kenapa lo kasih?”

“Soalnya kemarin posisinya gue lagi nunggu bus di halte sendirian. Terus ada Nathan, ngehampirin gue. Nggak mungkin kalau nggak gue kasih.”

“Jadi sekarang lo ngorbanin teman sendiri demi keselamatan lo, gitu?” Salma makin sewot. “Kalau gue ganti nomor, ya nggak mungkin, soalnya Bokap gue, teman-teman lama gue kalau SMS atau nelepon ke nomor itu.” Wajah Salma berubah ambigu. “Kalau Nathan SMS gue lagi, gimana?”

“Sal, heran deh, lo kenapa segitu ngerinya sih? Biasa aja, lagian Nathan tuh minta nomor sekadar nanyain kabar lo doang.”

“Seriusan nih, Nathan minta nomor lo?” Orlin ternyata masih tidak connect alias tulalit dengan apa yang dibicarakan antara Rahma dan Salma. “Masa iya?”

“Terserah deh, pokoknya lo harus tanggung jawab, nggak mau tau!”

“Kalau gue jadi elo sih ya, gue bakalan senang, hati gue berbunga-bunga dan pastinya bakalan gue ladenin. Nathan tuh ganteng, pokoknya idaman banget. Tinggi, terus tajir, kalau tentang nakalnya mah gampang, tinggal lo ubah aja. Dia tuh nggak playboy, kelihatannya sih setia.” Bel masuk yang berbunyi tiga kali membuat seluruh murid yang masih sibuk menyalin seketika berteriak heboh, lebih heboh dibanding korban kebakaran.

“Udah Sal, ladenin aja, itu tuh rezeki, ibarat kalau buahbuahan, sama kayak durian runtuh.”

****

Seisi kelas berubah hening, bungkam, pekat tanpa suara saat Bu Naila mengajar di depan. Ibu guru cantik nan rupawan, bening, manis, tapi punya tatapan super tajam!

Semua siswa memperhatikan saat guru itu menjelaskan seputar Taksonomi hingga akhirnya konsentrasi mereka dipecahkan dengan ketukan pelan yang terdengar dari arah pintu kelas.

“Selamat Pagi, Bu Naila.” Muncul Bu Rena di pintu, membuat seisi kelas mengalihkan pandangan ke pintu. “Saya titip anak murid ya, Bu, sampai berakhir jam pelajaran Ibu. Dia terlambat. Tapi saya nggak kasih dia untuk ke kelas. Kemari kamu!” Bu Rena melotot pada seseorang di balik pintu.

Orlin segera menyikut lengan Salma. “Sal, liat tuh, Nathan… telat.”

Salma segera menoleh dan melihat cowok berpostur tinggi itu masuk ke kelasnya.

“Kamu duduk di depan, Nathan!”

Nathan mengangguk paham, raut wajahnya berubah jadi anak yang patuh aturan saat dipelototi sedemikian rupa oleh Bu Rena. Salah satu kelebihan Nathan dibanding anak-anak lain, dia pintar dalam mengubah mimik wajah. Kalau di depan guru dan sadar dirinya sedang berbuat salah, dia bisa jadi anak teladan yang patuh aturan. Cowok itu lantas mengambil tempat di bagian paling depan, tepat di depan meja guru.

“Pagi, Bu.” Nathan mengangguk pada Bu Naila yang melemparkan tatapan super tajam.

“Kamu lagi, kamu lagi! Kapan sih kamu nggak telat?!”

“Nah iya, saya mau jelasin, Bu,” jawabnya dengan seculas senyum manis. “Jadi gini, hari ini sebenarnya niat saya ke

sekolah itu datang pagi-pagi, saya udah janji sama Robi buat bantuin dia piket. Sebagai teman yang baik, saya juga nggak tega lihat sahabat karib saya sendirian bersihin kelas, jadi—”

“Saya tidak tanya alasan kamu! Yang saya tanya kenapa kamu terlambat?” Bola mata Bu Naila terlihat nyaris mau keluar.

“Gara-gara nonton bola, Bu!” sahutnya lagi lugas, singkat, padat, dan meledaklah tawa satu kelas.

“KAMU! NATHAN! Saya tidak minta kamu bicara seperti itu.”

“Lah, terus Ibu minta saya bohong? Kata guru ngaji saya, bohong itu dosa, Bu. Sekalinya bohong nanti ketagihan. Kalau gitu, Ibu mau nanggung dosa saya?”

Salma yang semula mengetuk-ngetuk pena miliknya langsung terdiam, matanya menatap Nathan dengan sorot tak percaya.

“Gitu yang kata lo keren?” Salma memajukan wajahnya ke depan, berbisik di dekat Rahma, membuat cewek itu menoleh. “Bukan keren, tapi nggak sopan, parah banget.”

****

Suasana kantin siang ini lumayan sepi, tidak separah dan seramai kemarin. Mungkin sebagian murid-murid bakal lebih memilih membawa bekal dari rumah dibanding makan di kantin yang biasanya bakal ribut sekaligus garing karena suara genjrengan gitar milik Aditya.

Lihat selengkapnya