Dear Oma

Lyra
Chapter #4

Chapter 4 : Kampung Halaman Oma

 “Marum hamil??” Ucap Al saat mendengar kabar kehamilan Marum, bahagia sekaligus haru memenuhi perasaannya saat itu, ia akan menantikan adik kelima, batinnya. Marum yang sedang berbaring lemas di kasur Oma mengangguk sambil tersenyum, tampaknya kehamilannya bertabrakan dengan penyakit lambungnya, yang pun memang sudah parah, membuat rasa mual menjadi terasa berkali lipat.

 

 Kabar kehamilan Marum pun tersebar dengan cepat, semua orang yang mendengar kabar tersebut pun bersyukur mendengar kehamilan Marum dan memberi selamat kepada pasangan dan keluarga yang bersukacita.

 

 Marum yang hamil muda membuatnya tidak bisa ikut pergi ke Padang bersama Oma. Rencana Oma ke Padang adalah tidak lain untuk memenuhi undangan pernikahan anak dari Inyiak Adang di pertengahan tahun 2016 nanti. Paman dari Oma itu mengundang langsung Oma dan beberapa adik Oma untuk datang ke Padang.

 

 Tiket pesawat pun dipesankan, dua kamar hotel dibooking dari jauh hari. Al diajak ikut ke Padang untuk menemani Oma, Oma yang sudah berumur 71 tahun itu sudah sulit untuk melihat saat malam hari. Mawa khawatir, takut-takut Oma terpeleset di kamar mandi yang licin dan tidak ada yang mendampinginya. Walaupun Mawa yang tidur di kamar berbeda dengan Oma tetap pastinya akan terus berada di kamar Oma nanti sampai ia beranjak tidur, adanya Al untuk tidur bersama Oma setidaknya mungkin bisa menenangkan hatinya.

 

 Akhirnya, hari itu pun tiba. Mereka bangun pagi-pagi sekali dan bersiap berangkat ke bandara. Barang-barang yang sudah ditaruh dan disusun dengan seksama di dalam mobil malam harinya tampak memenuhi bagasi mobil. Mawa, Om Hardi, Oma dan Aliyah pun berangkat ke bandara setelah berpamitan dengan semua orang. Oma menitipkan pesan pada Abbar dan Daria untuk memperhatikan adiknya yang sedang hamil. Alika dan Fatma pun dipesankan untuk menemani Marum yang akan sendirian di rumah saat Om Bima pergi ke kantor nanti.

 

 Jalanan kosong saat itu memperlancar perjalanan mereka ke Bandara. Pak Rahman, supir lama Oma sejak dulu mengantarkan mereka sampai ke Bandara Soekarno Hatta. Al melihat mobil yang baru saja mereka naiki itu pergi menjauh dari drop zone Bandara. Mereka segera bergegas untuk check-in dan melakukan pemeriksaan keamanan.

 

 Setelah kian lama menunggu, akhirnya pemberitahuan keberangkatan Pesawat maskapai mereka pun terdengar dari speaker. Beberapa menit lagi, pesawat akan segera berangkat. Setelah mereka memastikan pintu keberangkatan di boarding pass sekali lagi, mereka segera bergegas menuju ke pintu keberangkatan dan memasuki pesawat.

 

 Sekitar 1 jam 45 menit perjalanan mereka lalui, mereka pun tiba di Bandar Udara Internasional Minangkabau. Langit yang sudah cerah saat itu memamerkan awan dan warna kebiruan yang sangat jelas, tidak serupa dengan kota Jakarta yang keruh oleh polusi. Lokasi bandara berada tidak jauh dari bukit, pegunungan dan juga pantai di samping kanan dan kirinya menciptakan sebuah kombinasi udara yang segar, cerah namun tidak panas saat itu. Al melihat pemandangan di sekitarnya dengan takjub, baru kali ini ia pergi ke Padang. Angin yang cukup kencang menari-nari di wajahnya, memainkan ujung kerudung yang ia ikat di leher. Mereka berjalan menuju sebuah mobil dan supir yang sudah menunggu di drop zone, disediakan oleh Inyiak Adang untuk mengantarkan mereka kemanapun mereka pergi.

 

 Mereka pun memulai perjalanan ke Bukittinggi, sesaat berhenti di sebuah Rumah Makan Minang yang cukup luas. Jendela-jendela restoran yang dibuka membiarkan angin sejuk masuk dan menciptakan ruangan yang sejuk dan lebih terang. Lauk pauk satu-persatu disajikan di meja, mereka pun makan dengan lahapnya. Memang makanannya terasa berbeda dari Rumah Makan Minang yang ada di Jakarta, yang asli tentulah lebih berasa.

 

 Malam itu, mereka beristirahat di hotel, rencananya mereka hanya akan tidur satu malam di hotel itu, lalu pindah ke Padang esok harinya setelah mengunjungi kampung halaman Oma. Mereka akan berada di Padang selama lima hari lamanya, dan sangat memungkinkan bagi mereka untuk menghabiskan waktu pergi ke beberapa tenpat wisata sebelum menghadiri acara utama mereka.

 

 Al berlari keluar hotel, menyusul Mawa dan Om Hardi yang hendak berjalan-jalan malam melihat Jam Gadang. Aliyah menengok ke kanan dan ke kiri, ia khawatir akan tertinggal, ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk pergi ke Jam Gadang. Tidak lama kemudian, ia akhirnya bertemu Mawa tidak jauh dari lobby.

 

 Udara Bukittinggi terasa dingin terutama di malam hari, Al memasukkan tangannya yang dingin ke kantung sweater merahnya. Matanya menyipit berusaha melihat jelas Jam Gadang yang bayangannya mulai terlihat dari kejauhan.

 

 “Al, kamu mau beli oleh-oleh nggak buat adek-adek?”

 

 Mata Al beralih dari Jam Gadang ke arah Mawa yang menunjuk boneka robot anjing kecil yang sedang dipamerkan oleh penjual. Al membeli dua boneka anjing, yang satu berwarna putih dengan aksesoris kacamata kecil berwarna merah muda, dan satunya berwarna cokelat muda. Aliyah terkikik kecil melihat gerakan anjing kecil itu ketika ia menekan tombol di perut boneka itu.

 

 Setelah puas berfoto di depan Jam Gadang, mereka berjalan-jalan mengitari area di sekitar Jam Gadang. Al melihat sekekelilingnya, beberapa orang tampak sedang sibuk mengabadikan momen di depan Jam Gadang, beberapa orang lain nampak sedang menikmati kencan malam mereka, banyak pula anak-anak yang sedang berlarian dan bermain dengan asyiknya, lampu-lampu yang gemerlapan berkilauan di sekitarnya. Setelah membeli mainan pesawat untuk kedua adik laki-lakinya, mereka pun segera beranjak kembali ke hotel.

 

 Mereka sedang bersiap untuk menempuh perjalanan ke kampung halaman Oma. Membuat janji dan bertemu dengan beberapa adik Oma di sebuah rumah makan, mereka melanjutkan perjalanan setelah makan siang, dan berhenti sejenak di sebuah tempaat wisata yang cukup terkenal, Air terjun Lembah Anai. Aliyah mengikuti Mawa dan Om Hardi yang turun untuk melihat air terjun. Suara hantaman air yang mengalir deras, monyet-monyet yang ketara di berbagai tempat menggericau bersautan antara satu sama lain, dan pemandangan asri kehijauan itu akan menenteramkan hati siapapun yang berkunjung. Setelah beberapa lama mereka mengambil gambar dengan seru, mereka pun kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.

 

 Mereka akhirnya sampai di tujuan, sebuah rumah sederhana mereka jumpai setelah melewati beberapa gang yang berkelok, beberapa orang dengan senyum ramah mereka tampak di depan pintu, menyambut kedatangan mereka, segera di persilahkan masuk oleh tuan rumah yang gercap menggandeng lengan Oma. Seorang laki-laki paruh baya yang dipanggil Inyiak Adang muncul dari dalam rumah dan segera menyambut mereka dengan hangat.

 

 Al diajak ke belakang rumah oleh Mawa, Mawa yang sebelumnya sudah pernah datang kesitu memamerkan sebuah sungai yang sangat jernih dan berarus deras. Mereka memijakkan kaki mereka di batu-batuan besar di hilir sungai, memperhatikan pemandangan alam yang asri. Semakin sore, semakin deras arus sungai, mereka dipanggil dan diperingatkan untuk tidak berlama-lama di sungai.

 

 Malamnya, mereka melanjutkan perjalanan ke kota Padang, menuju sebuah hotel yang cukup besar. Setelah check-in dan menurunkan barang. Mereka bergegas ke kamar masing-masing. Oma beranjak tidur setelah hari yang panjang dan melelahkan, Ia mengganti baju ke kamar mandi ditemani oleh Aliyah, lalu membereskan beberapa barangnya yang berserakan di kamar, tampaknya Oma tak gemar membiarkan dirinya beristirahat sementara barangnya belum teratur dan belum dirapihkan, Al berusaha membantu, namun tangan Oma jauh lebih sigap dan mendapat penolakan dari Oma, “Kamu indak tau barang Oma mau ditaruh dimana, kacau beko.” Namun, Al tetap mengambil beberapa barang Oma, dan menanyakan dimana ia harus meletakkan barang-barang itu. Akhirnya Oma membiarkannya membantu.

 

 Hari selanjutnya, mereka pergi ke sebuah tempat wisata, Lubang Japang. Sebuah gua yang dijadikan tempat persembunyian dan penyiksaan tentara Jepang pada jaman perang dahulu, Al bergidik ngeri saat hadir di depan Lubang, dilihatnya Oma yang tengah sibuk memilih baju di toko-toko souvenir untuk dibawa sebagai oleh-oleh bagi mereka yang menanati di rumah ditemani oleh adik perempuan dari Oma, Al sekilas berharap jika ia bisa tinggal bersama Oma di toko, namun rasa penasaran menghantuinya, sehingga ia memutuskan untuk ikut bersama Mawa dan Om Hardi.

 

 Di sepanjang tur, mereka kerap melihat peta kecil yang ada di brosur yang di serahkan pada mereka sebelum masuk, disitu hanya ada dua pasangan yang ikut masuk bersama mereka, setelah sekian lama berjalan, nampaknya meraka menghadapi masalah.

Lihat selengkapnya