Februari, 2017
"Aliyah! Alikah! Fatma!!" Suara Ummi nampak gelisah memanggil anak-anaknya yang ada di kamar mereka diatas.
Al terburu-buru turun kebawah mendengar suara gelisah yang tidak biasa, "Kenapa mi??"
"Kita ke rumah sakit sekarang, Marum udah pembukaan. Ayo siap-siap sekarang."
Mobil melaju dengan cepatnya, dada Aliyah berdebar, bukannya masih 8 bulan? Apa Marum baik-baik saja? Berbagai pertanyaan memenuhi benaknya, kegelisahan menyelimuti perempuan berumur 11 tahun itu, berdo'a dalam hati agar Marum dilancarkan persalinnya tanpa melewati masalah apapun.
Mereka segera bergegas menuju ke lantai Ibu dan Anak. Dari kejauhan, beberapa orang yang tampak familiar di mata Al tengah menunggu dengan gelisah di ruang tunggu. Oma yang tengah sibuk membaca yasin di tangannya, Mawa yang sedang senewen menelepon beberapa keluarga dan tengah mengabari keadaan Marum. Menunggu kabar dari Om Bima yang mendampingi Marum di ruang pemeriksaan.
"Gimana Narumi, Naj?" Ummi menoleh kearah Mawa yang baru mematikan teleponnya. Wajah Mawa yang memperlihatkan rasa gerun semakin mengkhawatirkan Aliyah.
"Narumi harus segera caesar, tapi tensinya tinggi sekali, jadi belom bisa mulai operasi. Kita semua disini masih nungguin keputusan dari dokter Ani." Alis Mawa berkerut cemas.
Sebuah pintu di pojok terbuka dan mengeluarkan suara seperti sebuah engsel yang lecet, wajah Om Bima yang keluar dari ruangan itu membuat mereka yang sedang berbicara menjadi hening, menanti kabar yang akan keluar dari mulut Om Bima.
“Ma, Kak, Narumi udah harus masuk ruang operasi, kita do’a dulu yuk, tensinya belom turun juga, jadi resikonya besar.” Om Bima berusaha menyampaikan hal itu dengan suara yang tenang, namun rasa tegang di wajahnya nampak dengan jelas, walaupun ia berusaha untuk membuat keluarga tidak panik.
“Bisa ndak didampingi di ruang operasi? Mama mau dampingi anak bungsu Mama-” Suara Oma terputus sesaat, menahan isak tangis yang tampaknya akan keluar kapan saja. Wajahnya mengerut, bibirnya yang mencibir dan air mata yang keluar perlahan dari matanya menandakan kecemasanya yang tidak bisa ia tutupi. Bagaimana tidak? Seorang ibu yang untuk ke pertama kalinya, akan menantikan kelahiran cucu dari anak perempuan pertama yang melahirkan. Rasa kekhawatiran, dan campuran dari cemas dan takut memenuhi benaknya. Mawa menunggu jawaban dari Om Bima dengan mata yang terbuka lebar, rasa khawatir dan takut di kepalanya membayangkan kembarannya mengalami masa kritis di ruang operasi. “Boleh nggak Bim? Nggak tahan Kakak. Gua mau nemenin adek gua, biar Kakak yang dampingin adek.” Isaknya.
Om Bima menggeleng pelan, “Nggak bisa Ma, Kak, kalo caesar nggak bisa ditungguin, ruangan operasi harus steril katanya.”
Memang sudah diketahui, perempuan yang hamil dan memiliki riwayat tensi tinggi, apabila tekanan darah tidak terkontrol dan terjadi gawat janin akibat tekanan darah terlalu tinggi, maka persalinan harus segera dilaksanakan dengan caesar untuk mencegah komplikaasi serius baik untuk anak maupun ibu. Dalam kondisi Marum, ia memang mempunyai riwayat hipertensi. Dan tidak dapat dipungkiri, seringkali hal itu ia dapat dari stress yang ia peroleh melalui keluarga maupun lingkungan kerjanya.
Mata cemas mereka menatap Marum yang berbaring di ranjang pasien menuju ke ruang operasi. Mawa segera menghampiri kembarannya untuk menenangkannya sesaat, matanya menatap gelisah kearah Marum yang menghilang perlahan di balik pintu. Surah Yasin tidak henti-hentinya dibaca berulang kali oleh Oma, do’a tidak hentinya mereka panjatkan agar Marum dan bayinya bisa keluar dengan aman dan selamat. Mereka menanti di ruang tunggu, berharap hanya kabar baik yang keluar dari pintu ruangan di depan mereka itu.
Satu jam terasa sepuluh kali lipat lamanya di saat mereka menanti di ruang tunggu, Al menatap pintu kaca yang buram di hadapannya, ia hanya berharap untuk keselamatan mereka.
Tidak lama, pintu kaca itu terbuka perlahan, seorang perempuan paruh baya berkerudung merah jambu memperlihatkan dirinya setelah lama ditunggu-tunggu. Ia membetulkan kacamatanya, baju seragam medis yang ia pakai menunjukkan ia yang baru saja keluar dari ruang operasi. Mata-mata tertuju kearah dokter Ani, menantikan kabar yang keluar dari mulutnya.
Seolah membalas mata-mata cemas penuh tanda tanya itu, ia membalas pandangan mereka, “Alhamdulillah, Bu Narumi sudah lewat masa kritisnya, bayi dalam keadaan baik dan selamat. Keluarga harus tenang ya, kalau keluarga tenang, Bu Narumi juga akan tenang.” Dokter Ani tersenyum lembut, lalu ia segera menoleh dan beranjak pergi setelah menerima kata terimakasih dari keluarga.
Rasa lega dan syukur pun memenuhi seisi ruangan. Seorang suster keluar dari balik pintu kaca itu sambil membawa baby box kaca melewati mereka sambil tersenyum sopan. Tidak lama kemudian, pintu kaca itu terbuka lagi, ranjang pasien digiring oleh beberapa suster keluar dari lorong itu, memperlihatkan Marum yang masih tertidur pulas.