Dear Oma

Lyra
Chapter #6

Chapter 6 : 2019

Dua tahun berlalu sejak kelahiran Nayla. Aliyah mendapatkan pengalaman yang cukup banyak dalam hal menjahit. Ia belajar untuk membuat baju seragam lebaran untuknya dan adik-adiknya di tahun 2018, masih sangat berantakan menurutnya, namun ia bersyukur, bisa membuat baju lebih mudah daripada sebelumnya. Al tersenyum simpul, sebuah prestasi? Ia tidak tahu pasti, namun melihat wajah bangga Omanya, di saat ia pertama kali membuatkan baju untuk kado ulang tahunnya, sungguh melepaskan segala rasa kekurangan yang ia rasakan sebelumnya, seolah ia melangkah satu anak tangga pendek. Ia merasa sedikit lebih berguna dibanding sebelumnya, ia bertekad akan membuat lebih banyak baju lagi. Ia merasa agak sedikit malu sekaligus haru, melihat betapa Oma, Mawa, dan Marum begitu membanggakan setiap hasil karyanya yang pun ia anggap begitu berantakan. Sedikit kemajuan, pikirnya. Selanjutnya, ia berharap, adik-adiknya akan mendapatkan kesempatan, kesempatan untuk mengeluarkan bakat dan kemampuan mereka.

Ia mendapat pengalaman ikut bazaar untuk yang ke pertama kalinya di akhir tahun 2018. Bukan stand Al sendiri, namun stand untuk brand baju batik Mamirna. Aliyah mengambil bagian desain baju anak, seusai dengan usianya yang masih dua belas tahun saat itu, walaupun sayang, ia hanya mampu membuat delapan buah baju dalam waktu dua minggu sepanjang bazaar.

 

 Awal tahun 2019, ulang tahun Aliyah yang ke tiga belas.

Tangannya bergetar melihat sebuah kotak yang ada di hadapannya, sebuah tablet yang ia inginkan untuk memperluas hobi menggambarnya, bisa dibilang sebuah hadiah yang tidak ia sangka-sangka. Aliyah segera bergegas ke dapur, Oma yang baru selesai memasak sedang mengeringkan tangannya ke baju daster yang ia pakai setelah ia mencuci piring, Al menghampiri Oma, lalu membuka tangannya dan memeluknya.

 

 “Oma… Makasih banyak ya Oma…” Tanpa ia sadari matanya sudah dipenuhi oleh air yang mengaburkan pandangannya sejenak.

 

“Selamat ulang tahun ya Al, itu Mawa kamu tuh yang cariin tablet buat kamu.” Ujar Oma, senyumnya lekat memandang cucunya itu. Al mengangguk, melihat Oma yang hendak berjalan menuju pintu dapur, ia memegang tangan Oma yang hendak melewati sebuah tanjakan keramik kecil yang membatasi dapur dan pintu keluar dapur. Setelah memastikan Oma sudah masuk ke kamar, Aliyah mencari Mawa yang saat itu baru turun kebawah, melihat kearah Aliyah sembari tersenyum.

 

 “Happy Birthdaayy Kakaaak.” Tangan Mawa melebar menyambut pelukan Aliyah, “Makasih Mawaa.”

 

 Mawa memberikan Aliyah sebuah kado ulang tahun yang cantik. Sebuah jam tangan digital impor dari Singapura berwarna putih keemasan yang ia titipkan pada temannya yang tinggal disana. Al memandang jam itu dengan seksama, ia belum pernah dapat jam dengan model seperti itu, pastinya ia akan terus memakainya dalam waktu yang lama.

 

 “Aaaalll! Mana nihh birthday giiirll?” Suara Marum yang terdengar dan pintu kamar yang terbuka, Aliyah menghampiri Marum dengan senyum lebar, Marum memeluk Aliyah dengan hangat, “Happy Birthday yaa Aliyaah.”

 

 Kado Marum adalah sebuah buku sketchbook yang cukup besar, sebuah pulpen pensil, dan satu set pensil warna. Al menatap Marum dengan penuh terimakasih, mengetahui Marum yang selalu perhatian akan hobi dan bakatnya.

 

 Siang itu, ia mendengar suara-suara kecil dari kamar Marum yang sudah berpindah ke kamar tamu di bawah sejak kehamilan Marum, entah karena alasan apa Ia tidak diperbolehkan untuk masuk ke kamar Marum. Ia mendapatkan sedikit ide tentang apa yang sedang dilakukan oleh Mawa, Marum, dan adik-adiknya di dalam. Namun mendapat ide itu seolah membuat ia agak berkepala besar, akhirnya ia hanya menanti di ruang tamu dengan rasa penasaran di kepalanya.

 

 Tidak lama, Alika dan Fatma keluar dari kamar Marum, membawa sebuah kertas karton berwarna merah muda berukuran cukup besar, sebuah tulisan besar; ‘Happy Birthday Kak Al’, foto-foto masa kecil Aliyah yang di print dan di tempel dengan hiasan dan berbagai dekorasi, sebuah kata-kata kecil di bawah kertas membuat Aliyah tertawa kecil sekaligus haru, kata-kata yang tidak sering mereka ungkapkan.

 

 Aliyah memandang karya mereka itu sementara Alika dan Fatma tertawa riang sambil menjelaskan karya mereka, rasa haru dan terimakasih yang ia bingung untuk ungkapkan terperangkap di hatinya. Al tersenyum sembari memeluk adik-adiknya, rasanya belum pernah mereka membuat sesuatu yang seperti ini sebelumnya.

 

Sorenya, Al berjalan pulang ke rumah, ia membuka pintu kayu berwarna cokelat tua itu, lalu membawa dirinya masuk ke dalam. Ia memasuki sebuah ruangan yang cukup gelap, sebersit cahaya oranye terpantul di beberapa bagian di rumah, menandakan waktu yang sudah memasuki sore hari. Beberapa mainan mobil-mobilan tersebar di karpet ruang tamu, Musa sedang sibuk mengotak atik mainannya, sementara itu, Abi sedang merebahkan diri di sebelah Musa sembari matanya sibuk terarah ke handphonenya, Al yang baru masuk nampaknya pun tidak teracuhkan olehnya.

 

 Al mengucapkan salam, menoleh kearah Al sekilas, mereka menjawab salamnya, seperti biasa, ia tidak mendengar sepatah kata pun tentang ulang tahunnya dari mereka. Namun hal itu sudah biasa, memang sejak kecil, mereka tidak pernah merayakan ulang tahun mereka kecuali bersama Oma, Mawa dan Marum. Abi dan Ummi yang tidak mengucapkan apapun maupun memberikan apapun tidak mengganggu pikiran Al, ia hanya bersikap acuh tak acuh mengenai hal ini, ia sudah tahu sejak kecil, Abi menekankan untuk tidak merayakan hari ulang tahun, karena hal itu bukan budaya Islam. Ia tidak menaruh harap.

 

 Aliyah menemui Ummi yang sedang sibuk membuat yoghurt di dapur untuk pesanan pelanggan, Al memperhatikan wajah Ummi yang nampak lelah, ia merasa bersalah karena tidak membantunya sejak pagi. “Mau aku bantu apa Mi?”

 

 Ummi menoleh kearah Al dengan wajah datar, ia melihat kearah toples-toples greek yoghurt yang sedang ia timbang dan tuang ke toples. “Sini kamu bantuin tuang yoghurt ke toples deh. Kamu udah ngerti kan? Ummi capek, kamu yang kerjain ya Al.”

 

 Al mengangguk, melihat Ummi yang sudah lelah, ia tidak sampai hati untuk menolaknya, ia melihat Ummi yang berbalik dan berjalan ke kamar, memperlihatkan punggungnya yang semakin lama semakin bungkuk. Al mengalihkan perhatiannya pada toples-toples yoghurt yang ada di depannya, kemudian melanjutkan pekerjaan yang sudah dikerjakan Ummi sedari tadi.

 

Ummi membuka sebuah usaha online sejak tahun 2017, ia mempelajari berbagai makanan fermentasi, seperti yoghurt, kefir, kombucha, bahkan kimchi. Usaha ini cukup sukses karena kefir yang bisa dibilang belum umum pada saat itu, dan bisnis Ummi membantu untuk menghidupi keluarga dikarenakan penjualan sepeda Abi yang bisa dibilang ‘kurang’ untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

 Al tidak mau mengucapkan apapun mengenai hadiah tablet yang diterimanya dari Oma, ia sudah tahu bahwa hal itu bisa menciptakan perdebatan antara Abi dan Oma, juga Mawa Marum. Ia sebenarnya tidak diperbolehkan untuk memiliki gadget yang mempunyai akses internet, handphone terakhir yang ia miliki adalah sebuah ponsel kecil jadul dengan keyboardnya, hanya itu yang boleh ia pakai. Internet, games, atau apapun yang berhubungan dengan sesuatu yang disebut ‘online’ tidak diperbolehkan di rumah, lebih-lebih sebuah tablet, tidak terbayangkan olehnya bila Abi dan Ummi tahu soal hadiah yang diberikan Oma kepadanya.

 

Pikiran Al melayang ke masa kecilnya dahulu, sewaktu ia mendapatkan hadiah tablet dari Oma, Mawa dan Marum di usia 7 tahun, hal itu menciptakan sebuah keributan yang cukup panas. Memang mungkin disebabkan oleh usia Aliyah yang masih kecil, belum cukup umur untuk memegang sebuah gadget maupun internet pada saat itu. Namun setelah beberapa tahun, ia dan adik-adiknya ini tidak kunjung tahu banyak soal keadaan di sekitar mereka karena kesempatan mereka yang minim, tampaknya tidak ada internet juga memberikan pengaruh, mereka tidak tahu apa-apa soal kehidupan sosial, anak-anak yang kaku, pendiam, dan anti sosial, terkadang Aliyah kerap berpikir, apa yang seharusnya mereka lakukan untuk keluar dari lingkup ini? Kapan kebingungan ini akan berakhir? Dunia yang begitu luas, namun untuk mengetahui dan menjelajahinya saja terlalu sulit, seolah-olah sebuah tembok tinggi berada di hadapan mereka, sulit untuk dipanjat, sulit pula untuk dihancurkan.

Al teringat, adanya Oma, Mawa dan Marum adalah seperti pengayom hangat yang hadir di hidup mereka, membantu mereka memanjat tembok tinggi itu perlahan demi perlahan dalam pengawasan mereka, tidak sampai hati ketiga orang itu membiarkan anak-anak ini berada di lingkup sekitar mereka saja, karena kehidupan Al dan adik-adiknya hanya berada di sekitar keluarga, teman mereka sebatas anak tetangga satu atau dua orang, belajar di rumah, semuanya di rumah, tidak tahu menahu soal kabar maupun berita dari luar, tidak tahu caranya berteman, tidak tahu caranya berbicara bahkan sesimpel memesan makanan di restoran. Kehidupan sosial anak-anak ini yang sungguh minim sering kali terpantulkan dari sikap pendiam dan anti sosial mereka. Berbagai hal di lakukan oleh Oma, Mawa dan Marum, maupun Mamirna demi menjadikan masa kecil dan awal masa remaja mereka sama layaknya anak-anak yang lain. Mereka lah yang kerap mengajak Aliyah dan adik-adiknya pergi ke berbagai tempat, memberikan pengalaman baru, membuat rasa terjebak di hati Al berkurang karenanya. 

 Pertanyaannya terkadang satu, orangtua mereka? Apa mereka tidak melihat hal itu? Apa mereka tidak mengetahui sikap pemalu dan pendiam anak-anaknya? Memang lucu, tapi hal itulah yang mereka tuju, alasannya adalah, mereka tidak mau membuat anak-anaknya salah arah di kemudian hari. Mungkin bagi mereka, lebih baik tidak tahu sama sekali daripada terbawa arus ke arah yang salah, walaupun Al masih bingung akan hal ini, ia bertanya-tanya, lalu bagaimana jika suatu saat, ada masanya mereka harus tahu akan berbagai hal tanpa adanya keluarga yang mendampingi, dan tidak ada siapapun yang akan mengarahkan mereka? Bukankah itu lebih berbahaya?

 

Al menutup toples yoghurt terakhirnya, tangannya sibuk bergerak, namun matanya kosong membiarkannya tenggelam dalam pikiran yang sedang berlari kesana kemari. Tidak lama, kumandang azan maghrib mengalihkan perhatiannnya, ia segera mengibas pikiran-pikiran itu, kemudian beranjak ke kamar mandi di atas untuk berwudhu.

 

Malam harinya, setelah Al menyimak ta’lim rumah sehabis shalat Isya’, Al membantu membenahi rumah, kemudian ia beranjak ke rumah Oma, seperti biasa setiap malamnya, ia menginap di rumah Oma.

 

 Apa itu ta’lim? Berasal dari bahasa Arab ; ‘Ta’lim wa Ta’lum’ yang artinya, ‘Belajar dan Mengajarkan’. Dalam Ta’lim yang biasa dibaca dan diperdengarkan di rumah Aliyah, mereka membuka satu atau dua kitab yang berisi hadits-hadits Rasulullah s.a.w dan ayat-ayat Al-Qur’an. Setiap bab memiliki bagiannya masing-masing, Bab Shalat, Bab Tabligh, Bab Sedekah, Bab Dzikir, Bab Al-Qur’an, dan masih banyak lagi. Di dalam kitab ini, dijelaskan berbagai fadhilah-fadhilah mengenai keutamaan beramal, dan berbagai penjelasan tentang fiqih-fiqih Islam dan masih banyak lagi. Biasanya, dalam majelis ta’lim mereka ini, akan ada satu orang yang membacakan satu atau dua hadits dan ayat Al-Qur’an beserta penjelasannya dari kitab, sementara yang lain mendengarkan apa yang dibacakan dengan khusyuk. Abi keras sekali dalam hal ini, jika ta’lim pagi maupun malam tidak dilaksanakan, ia akan menegur mereka dengan keras.

 

 Al membuka pintu rumah Oma dengan perlahan, dilihatnya Mawa yang saat itu ada di ruang tamu, sedang duduk di sofa marun yang ada di dekat pintu masuk.

 

“Malem amat Al?” Ujar Mawa, “Kan Mawa dah bilang, jangan kesini malem-malem, di luar itu kita nggak tau ada orang nggak bener apa gimana. Besok-besok jangan gini ya Al, bahaya.”

 

Lihat selengkapnya