Dear Oma

Lyra
Chapter #8

Chapter 8 : Tahun itu, 2021

 Lebaran tahun lalu cukup sepi, iya, bisa dibilang begitu. Mereka tidak pergi mengunjungi siapapun, ataupun dikunjungi siapapun kecuali keluarga inti, Al tidak membuat seragam lebaran untuk tahun lalu, merasa kalau hal itu mungkin tidak diperlukan karena lebaran hanya dirayakan cukup di antara mereka saja. Al meragukan, jika tahun ini ia akan membuat seragam lebaran, kemungkinan lebaran tahun ini pun akan sama dengan tahun lalu.

 

 Tahun kedua pandemi, tampaknya, Oma semakin kehilangan semangat setiap harinya, hal ini sangat mengkhawatirkan bagi Aliyah, sehari-hari terasa membosankan bagi Oma, ia tidak banyak melakukan aktivitas seperti dulu, ia tidak banyak bercerita seperti dulu, dan satu hal yang lebih menakutkan bagi Aliyah, ia tidak banyak tertawa seperti dulu.

 

 Tampaknya berjalan-jalan maupun bepergian dengan mobil saja tidak cukup berpengaruh pada Oma, mungkin hanya satu yang ia harapkan, yaitu berkumpul dan bercengkrama bersama keluarga besarnya kembali.

 

 Memang semua orang pun tahu, pandemi ini bagaikan penjara tanpa tahu kapan waktu bebasnya, bahkan sampai di awal 2021, peringatan akan virus masih ada dimana-mana, protokol masih cukup ketat, banyak orang yang juga sedang melewati masa kritis saat itu, hanya berdo’a dan menjaga kesehatanlah yang mereka lakukan. Oma yang sudah lansia dijaga dengan sangat cermat, siapapun yang hendak bertemu Oma dipastikan untuk selalu memakai masker, anak-anak yang masih kerap berbulak balik dari rumah Oma ke rumah mereka, diperingati untuk selalu menjaga kesehatan, memakai masker, dan kalau bisa, memilih antara satu rumah saja, karena Abi yang tampaknya tidak mau menuruti protokol dan masih bepergian ke berbagai tempat karena berbagai urusannya, membuat keluarga khawatir bila anak-anak ini akan menjadi wadah pembawa penyakit untuk Oma. Jujur saja Al tidak bisa memilih, Abi menetapkan beberapa persyaratan dan peraturan yang harus ia penuhi, seperti shalat tahajjud bersama, ta’lim, duduk dan belajar di rumah lagi sejak guru mulai datang kembali, hingga kegiatan lainnya sampai malam hari, ketika semua itu selesai, mereka bisa bebas ke rumah Oma, walaupun mereka kerap mencari kesempatan untuk datang di siang harinya.

 

 Menurut Aliyah, mungkin ini awal mulanya, salah satu alasan dari sebuah insiden atau ledakan yang terjadi di kemudian hari. Mereka tidak jarang melanggar atau melalaikan amalan yang diamanahkan oleh ayah mereka, mereka tetap pergi ke rumah Oma walaupun beberapa hal belum selesai, dan kadang kala juga, meninggalkan Ummi dengan pekerjaannya, mereka memang pada nyatanya bukan anak-anak yang sholeh dan sholehah seperti yang diharapkan oleh Abi dan Ummi, mereka memang bersalah, mereka hanya peduli dengan perasaan mereka dan berusaha lari dari rumah, anak-anak egois, bisa dibilang begitu bukan?

 

 Layaknya balon yang diisi air hingga penuh, hal itu tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh Abi, ia tampak semakin tidak suka dengan hobi anak-anak ini pergi ke rumah Oma, ia menganggap kebiasaan anak-anak ini adalah menonton televisi yang mana hal itu dilarang keras olehnya. Al terus membantah hal itu, karena memang betul kalau ia dan adik-adiknya berusaha untuk tidak menonton televisi di rumah Oma, sayangnya Abi tidak memercayainya, di kepalanya, ia berspekulasi kalau tidak mungkin ada hal lain yang membuat anak-anaknya gemar ke rumah Oma selain itu dan bermain-main sepuas mereka, mungkin ia berharap agar anak-anaknya bisa lebih disiplin dan senantiasa menunaikan amalan mereka, walaupun itu membuat Al bingung, apakah Abi berpikir bahwa apa yang tidak ia lihat berarti sudah pasti tidak dikerjakan oleh anaknya? Kenapa ia begitu tidak memercayai mereka? Ummi pun berharap kalau anak-anaknya akan selalu membantu pekerjaan beratnya, (yang mana Al dan adik-adiknya tetap membantu), dan tidak pergi terus meninggalkan mereka.

 

 Entah itu karena trauma atau apa, Al pun tidak tahu, namun banyak, sangat banyak, banyak perasaan dan rasa tidak nyaman yang entah kenapa ia rasakan di rumah. Memang betul, Abi hanya menyuruh mereka untuk sesuai dengan agama, ia tidak meminta sesuatu yang buruk, ia memang sering kali galak, namun hal itu masih bisa Al mengerti, karena itu semua untuk kebaikan, dan Ummi juga, ia tidak kerap memarahi anak-anak, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan mereka sebagai seorang ibu, makanan dan lauk pauk dulu memang biasa di sediakan oleh Oma, namun seiring berjalannya waktu, Ummi berusaha untuk memasak sendiri, walaupun Ummi memang menganggap dirinya tidak cocok ataupun berbakat, tapi ia tetap berusaha untuk belajar sebisa mungkin.

 

 Hal itupun membuat Al bertanya-tanya, apa yang membuat mereka tidak nyaman di rumah? Semua tampak baik-baik saja, mereka tidak kerap dihukum seperti dulu, mereka tidak selalu di teriaki ataupun dimarahi seperti dulu, mereka tidak dipukul ataupun disiksa, mereka tetap dipenuhi kebutuhannya, walaupun Ummi memang bisa dibilang agak dingin, namun pastinya hal itu tidak bisa dijadikan alasan bukan? Mereka tetap diberi pendidikan, walaupun mereka hanya mampu untuk membayar guru agama satu setengah jam tiga kali dalam seminggu, guru pelajaran umum pun sudah diberhentikan beberapa tahun yang lalu setelah mereka menyelesaikan pelajaran kelas 6 SD, itupun hanya dua mata pelajaran, ilmu pengetahuan alam dan matematika. Bukankah seharusnya mereka bersyukur dengan apapun yang diberikan pada mereka dan mematuhi perintah orangtuanya? Lantas mengapa?

 

 Trauma, hal itu tidak bisa didefinisikan dengan jelas oleh Al di usianya yang baru melewati 15 tahun, tapi jelas, di masa kecil mereka, satu persatu dari mereka melewati cara didik yang cukup keras, cara didik yang membuat mereka tidak bisa membantah rasa takut atau waswas di hati mereka, rasa takut yang belum bisa mereka hilangkan, rasa cemas dan curiga di saat dekat dengan kedua orang tua mereka, juga sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk bercerita atau mencurahkan isi hati mereka hanya kepada satu sama lain saja, bukan kepada orang tua.

 

 

 

 Hari yang mereka takutkan akhirnya tiba, sebuah pesan chat dari Abi membuat pikiran dan hati mereka semrawut, kemarahan yang ia ekspresikan melalui chat itu akhirnya meledak juga. Ia geram melihat Ummi yang berbuka puasa sendiri, sementara ketiga anak perempuannya berada di rumah Oma dan tidak menemaninya berbuka, kedua anak laki-lakinya harus pergi ke masjid bersama ayah mereka, menyebabkan Ummi berbuka seorang diri.

 

 Anak-anak ini memang anak-anak yang kurang perhatian, tetapi, terkadang anak adalah cerminan orangtuanya. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang dibenarkan. Seharusnya mereka lebih perhatian, Oma Mawa dan Marum selalu mengajarkan mereka caranya perhatian, memberi kasih sayang, dan peduli dengan perasaan orang yang ada di sekeliling mereka, semudah itu bukan? Namun nyatanya tidak semudah itu, berada di tengah dua keluarga yang berbeda layaknya Timur dan Barat, terasa ambigu bagi mereka, walaupun sekarang mereka sedikit-sedikit dapat membedakan yang salah dengan yang benar, namun tabrakan itu tampaknya tetap tidak bekerja dengan cukup baik dengan mental mereka. Menghasilkan sebuah kebingungan brutal dan perbedaan arus yang cukup besar.

 

 Aliyah tidak tahu apa yang harus ia lakukan soal ini, ia sudah curiga jikalau hal ini akan terjadi, mereka seharusnya tidak ke rumah Oma bertiga sekaligus, mungkin menyisakan seseorang atau dua orang untuk menemani Ummi.

 

 Abi melampiaskan kemurkaannya kepada ketiga anak perempuannya, sebenarnya kemarahan Abi kepada mereka tidak membuat Al sedih, karena ia tahu, bagaimanapun juga, ia memang salah, namun satu kata-kata Abi seolah menghancurkan hati kecilnya, karena Oma, Mawa, dan Marum dibawa-bawa dalam masalah ini.

 

“Pulang kalian sekarang!”


”Kok diem aja?! PULANG KALIAN!”

 

“Abi udah cukup sabar, nggak ada kalian ke rumah Oma Mawa Marum lagi,”

 

“Mereka bawa efek yang jelek buat kalian!!”

 

“Ngerti gak??! PULANG!!”

 

 Aliyah terdiam di tempat, bagaimana ia menjelaskan ini kepada Oma? Apa yang harus ia katakan? Lidahnya kelu, ia kebingungan, ia berusaha keras menahan air yang merembes dari matanya, Oma, bagaimanapun juga, telah mendengar telepon dari Abi sebelumnya, ia tahu bahwa Abilah yang sedang mereka chat, Oma melihat Al dan adik-adiknya yang berwajah gusar, Al mengalihkan wajahnya, berusaha agar tidak terlihat oleh Oma, namun insting seorang nenek memang tidak bisa diremehkan, setelah pertanyaan yang Oma lontarkan kurang mendapatkan jawaban tentang alasan kegusaran di wajah mereka, ia segera merenggut ponsel yang Aliyah pegang, sebelum Aliyah bisa menariknya, Oma sudah membaca pesan yang Abi kirim pada mereka.

 

 Air mata Al akhirnya mengalir tidak karuan, apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia bingung, sangat bingung. Apakah ia dan adik-adiknya harus pulang sekarang? Ia ingin bersembunyi, ia tidak mau mendengar amarah Abi ataupun larangan Abi untuk ke rumah Oma lagi, ia tidak mau menghadapi itu, ia tidak mau mendengarnya. Aliyah terpaku di hadapan Oma, kekecewaan di wajah Oma tertulis jelas, ia jelas kecewa pada anaknya, ia kecewa dengan tuduhan yang dilampiaskan anaknya di belakang punggungnya, padahal selama ini, ia dan kedua anak bungsunyalah yang selalu berusaha membahagiakan anak-anak ini, memberikan apa yang tidak mampu Abbar berikan tanpa merendahkannya. Inikah balasannya?

 

 Mawa yang berada disitu pun tidak bisa tinggal diam, ia pun terlanjur membaca pesan chat yang dikirimkan pada mereka, seolah darah di sekujur tubuhnya berkumpul di kepalanya, ia tidak bisa diam saja, tidak bisa, seolah ia akan melabrak Abbar kapan saja ia datang. Marum melihat amarah Mawa, setelah mendengar ceritanya, Marum ternganga, inikah pendapat abangnya soal mereka? Sementara mereka hanya ingin membahagiakan anak-anaknya? Rasanya kecewa campur amarah, geram memenuhi benaknya, Marum bukan tipe pelabrak, ia jarang melampiaskan amarah kepada kakak-kakaknya, ia anak yang paling bungsu, selalu berusaha diam dan menengahi kakak-kakaknya yang bertengkar. Namun kali ini, Aliyah tidak tahu apa yang akan terjadi saat itu jika ayahnya datang, sejujurnya ia takut, bukan takut pada ayahnya, tapi takut akan apa yang terjadi setelahnya, terutama ketika ia mendengar suara pintu terbuka dengan kerasnya di luar, selesai, selesai sudah Al, selesai main-mainnya, selesai tertawanya untuk saat ini.

 

 Yang ditakutkan pun terjadi, Abi membentak memanggil ketiga anak perempuannya, anak-anak ini memang pecundang, sungguh pecundang, Oma bergegas keluar menghadapi Abi, membalas bentakan anaknya, ia memintanya untuk diam, untuk berhenti melampiaskan amarahnya di rumah ibunya, untuk berhenti memarahi cucu-cucunya, Mawa pun tidak kalah cepat, dengan Marum menyusul di belakangnya, walaupun Mawa tampak dipenuhi kemarahan di waktu sebelumnya, ia tetap berusaha tenang, ia tidak melampiaskan amarahnya secara langsung pada abangnya, walaupun mata melotot dan urat-urat di dahi Abi sudah keluar dengan jelas, seolah akan mengancam siapapun yang akan melawannya, Mawa tetap berusaha tenang, ia berusaha menenangkan abangnya.

 

 “Udah bang, udah ya, jangan marah-marah disini, marahnya di rumah abang aja ya.”

“DIEM LO! Jangan ikut campur urusan gua!”

 

“Bang udah bang! Lu gak liat mama udah nangis-nangis begitu?? Lu mau marah di rumah lu aja deh, jangan disini!” Ujar Mawa, lama-lama ia mulai geram.

 

“Bang udahlah, kasian mama! Kasian anak-anak lu marahin begitu,” Ucap Marum.

 

 Keadaan saat itu riuh, tampaknya ucapan adiknya dan ibunya tidak digubris olehnya, matanya terpaku pada Al, Alika dan Fatma, kemarahan tampaknya merasuki Abi, tangisan Oma ataupun seruan dari kedua adiknya hanya dibalas dengan bentakan agar mereka tidak mencampuri urusannya.

 

 Aliyah menatap mata Abi dengan tajam, ia ingin berbicara, namun ia tahu hal itu hanya akan membuat ayahnya semakin menggila,“Udah bi, udah.” Ucapnya, Abbar menatap anaknya geram,

 

“Berani kamu lawan Abi?? JADI ANAK DURHAKA KAMU?! Abi tampar kamu mau?!” Abi mengangkat tangannya, Al tidak gentar, ia tahu itu hanya gertakan semata.

 

“ABBAR!! Udah Bar udah! Mama nggak tahan kamu marah-marah disini, Mama nggak tahan kamu marahin cucu-cucu Mama! Sakit jantung Mama Bar! Udah! Cukup!”

 

 Oma memegang dadanya, ia memukul-mukul dadanya, tidak puas raungan tangisnya tidak didengar oleh anaknya. Tampaknya kemarahan Mawa tidak bisa tertahankan lagi melihat Oma yang sudah sedemikian rupa, “Bang! Lu bilang lu DA’I?! Masa Da’i BEGINI??!!” Mawa meludah kesamping, menatap mata abangnya yang seketika terpana oleh kata-katanya. Abi diam, namun matanya menatap Mawa dengan geram, Abi menoleh ke arah ketiga anaknya, “Pulang, sekarang.”

 

 Aliyah, Alika, dan Fatma tidak menjawab apa-apa sepanjang repetan Abi di rumah, Al sadar mereka salah, namun haruskah Abi membawa-bawa Oma, Mawa dan Marum dalam masalah ini? Ia tidak bisa mengabaikan rasa kesal di hatinya, antara rasa bersalah karena telah menyebabkan semua ini, sekaligus rasa heran dan amarah. Ia tahu kalau ia salah, namun haruskah Abi meluangkan waktunya untuk berjalan ke rumah Oma dan melampiaskan amarah disana? Seolah-olah ini semua salah mereka? Lupakah Abi akan perasaan ibunya? Lupakah ia kalau Oma bisa sakit jantung mendengarnya? Al tidak melepaskan matanya dari Abi, antara tanda tanya dan kekesalan terlihat dari matanya, namun hanya menghasilkan kemarahan Abi yang menganggap anaknya telah berani menantangnya.

 

 Hari itu menandakan awal mula sebuah konflik panjang, apakah Mawa dan Marum menerima Abi yang melarang anak-anak itu ke rumah? Tidak, tentu tidak, mereka tahu betul bagaimana pendapat abangnya tentang adiknya di belakang punggung mereka. Hari-hari selanjutnya terasa gelap dan menggundahkan, Al berjalan lemas dari rumahnya ke rumah Oma, hari itu hanya dia yang mendapat kesempatan untuk menginap di rumah Oma, hanya untuk menemani Oma, begitu pesan Abi.

 

 “Sini Mawa tanya sama kamu Al,” Mawa menatap Al di hadapannya.

 

 “Kamu setuju sama Abi? Kalo Mawa sama Marum bikin dampak jelek buat kalian?”

 

 Aliyah menggeleng, “Nggak Mawa,’

 

 “Ya bilang dong sama bapak kamu itu, ngomong, jangan diem aja! Kamu sayang gak sih sama Mawa Marum?”

 

“Sayang Mawa…”

“Sayang kamu basi Al, buktinya kamu diem aja kan sampe sekarang?” Ujar Marum.

 

Lihat selengkapnya