Kembali ke tahun-tahun sebelumnya, saat itu, 8 tahun yang lalu, rumah Oma di Jakarta, Al keluar dari kamar, mendengar kericuhan yang terjadi di ruang tamu, ah, berantem lagi ya, batinnya, saat itu Ummi sedang mengangkat sebuah kursi yang ia lempar tidak lama kemudian, mengeluarkan rasa frustasinya, Mawa dan Marum sibuk berdebat dengannya, meributkan masalah apa tepatnya pun Al tidak tahu.
Tampaknya hal ini pun tetap berlanjut hingga perpindahan mereka dari Jakarta, oposisi pendapat, karakter yang bertabrakan, perdebatan yang tidak akan berakhir, orang-orang yang menganggap diri mereka benar, bahkan pernikahan Abi dan Ummi yang hampir berbuah perceraian.
Anak-anak yang lebih dekat dengan keluarga suaminya pun tidak memuaskan baginya, ia merasa sendirian, merasa anak-anak tidak berpihak padanya, merasa suaminya tidak peduli dengan penderitaannya, lengkap sudah, lengkap.
Walaupun ia mungkin tidak menyadari, bahwa kesendiriannya adalah sesuatu yang disebabkan oleh sebuah tembok yang dibangunnya sendiri. Yah, semua orang memiliki pilihan, bukan?
Daria berjalan dari sekolahnya, pulang ke rumahnya, dilihatnya Ibunya yang menoleh sekilas padanya, lalu ia pun langsung menuju kamarnya, mengistirahatkan badan dan pikirannya yang lelah sepulang sekolah. Tidak lama, ia beranjak dari kasur, bergegas mencuci seragam yang harus ia pakai esoknya.
Pagi itu, ia mengambil seragam yang sudah kering dari jemuran, bergegas ke tempat setrika untuk menghilangkan lecaknya baju yang baru kering itu, tanpa sadar, ia menyentuh colokan listrik dengan tangannya yang masih basah, “Ah!” Setruman listrik menyabet tubuhnya sementara, ia berhasil menarik tangannya kembali, dilihatnya ibunya di hadapannya yang melihat hal itu, ia tersenyum cibir.
“Kesetrum? Sakit ya?” Ibunya tidak mengatakan sepatah katapun lagi, ia beranjak meninggalkannya. Daria memandang ibunya itu, ia menaikkan bibirnya, ia teringat akan beberapa hari yang lalu, ketika perempuan itu menelepon rumah, menyangka bahwa Darialah yang mengangkat telepon, ia mengeluarkan kata-kata sindiran dan cibiran yang biasa ia katakan padanya di sekolah, yang selalu di acuhkan oleh Daria, “Gak usah sok kecantikan lu!” Ujarnya singkat, lalu ia mematikan teleponnya. Ibu terperanjat, pertanyaan Ibu menanyakan nama orang itu tampaknya hanya dibalas telepon yang dimatikan karena kaget, Ibu termenung, ia melihat ke arah kamar Daria yang kosong karena saat itu sedang pergi keluar, membuka kamarnya perlahan, Ibu berjalan ke arah lemari buku, ia membuka lemari itu, dilihatnya sebuah diary kecil yang cukup menonjol di antara buku-buku lain, Ibu mengambilnya, lalu membukanya perlahan, dilihatnya catatan perasaan yang Daria tulis, mengenai beberapa anak yang tampaknya cukup gemar mencemoohnya. Daria memasuki kamar, dilihatnya sebuah buku diary lamanya yang terbuka lebar terletak di meja, ia melongokkan kepalanya ke luar, tampaknya tidak ada siapapun disana. Namun ia tahu, hari itu hanya ada dia dan Ibunya, kedua kakak laki-lakinya sudah merantau ke luar kota, ayahnya sibuk pergi dinas. Setelah itu, Daria tidak mendengar sepatah kata pun mengenai diary lamanya ataupun pertanyaan soal perempuan itu.
Daria cukup berprestasi di masa SD maupun SMP, ia berhasil masuk ke sekolah Labschool yang dianggap bergengsi dan sulit untuk memasukinya, walaupun ia sempat shock dan kaget dengan persaingan murid yang ketat, ternyata ia lebih mundur dari yang ia kira.
Ia memilih untuk mengambil jalur desain, ia merasa mungkin dengan begitu, ia tidak harus pusing menghitung matematika lagi. Namun sayang, anggapannya salah, tampaknya ia tidak bisa lari dari hitung menghitung, desain interior membutuhkan perhitungan yang pun tidak kalah rumit.
Pindah dari Rawamangun tempat kelahirannya, ke sebuah kos di Bandung, kampus STISI namanya saat itu, yang sekarang telah berubah menjadi Telkom University. Ia melarikan diri, iya, melarikan diri dari rumah, ia memang sengaja memilih kampus itu.
Disana, pertemuannya dengan Abbar hanyalah sekilas sebagai teman jauh yang tidak dekat dengannya, ia mendengar cerita-cerita mengenai Abbar yang memiliki pertemanan yang luas, ia hanya acuh tak acuh, entah kehidupan Abbar di Jakarta dulu memperlihatkan perilaku city boy di tengah-tengah mahasiswa Bandung yang lebih humble tidak atraktif menurutnya, secara ia pun menghabiskan masa kecilnya di Jakarta.
Akhir semester, ayahnya jatuh sakit, kali ini Daria harus berjuang sendiri, ia menawarkan pekerjaan sebagai pendamping dosen, lalu menerima tawaran pekerjaan yang ia terima sembari melanjutkan kuliah. Sehari-harinya sangat penuh dan sibuk, secara ia pun harus mempersiapkan skripsi untuk sidang kelulusan kelak. Berita ayahnya yang meninggal dunia tidak lama kemudian membuat dunia Daria lebih berat lagi, ia jauh saat itu, sedang berada di Bandung, walaupun sosok ‘ayah’ tidak dekat dengannya, terutama juga karena cara didiknya yang keras.
Daria lulus S1 di STISI, ia mengambil tawaran kerja sebagai desainer interior, cukup maju di usianya yang masih 24 tahun. Ia pulang ke rumahnya di Rawamangun, bekerja di jakarta. Sehari-hari ia sibuk bekerja, ia tidak dekat dengan Ibunya, tampaknya ada suatu jarak yang membuat ia selalu ingin jauh dari rumah, ia akan pulang malam harinya, terkadang Ibunya ada di rumah, terkadang ia menjumpai rumah yang kosong dikarenakan Ibunya yang pergi menginap di rumah saudaranya. Seringkali perdebatan yang kerap terjadi, dan kata-kata pedas yang ibunya maupun yang ia utarakan menyakiti hati satu sama lain, mungkin itu salah satu alasannya.
Ia dan kedua kakak laki-lakinya pun jarang bertemu sejak kecil, perbedaan umur yang jauh membuatnya menjumpai perpisahan lebih cepat, dikarenakan kakak-kakaknya yang sudah merantau dan sibuk kuliah di luar kota. Setelah umurnya mencapai usia 27 tahun, Ibunya mulai mencemaskan dan menantikan pasangan untuknya. Sampai suatu ketika, sebuah pertemuan yang tidak ia sangka-sangka setelah cukup lama.
Abbar berpapasan dengan Daria di sebuah Mal saat itu, mereka berbincang sesaat, menanyakan kabar singkat dan keadaan mereka masing-masing setelah keluar dari kampus, Abbar tidak menyelesaikan kuliah di STISI, ia memilih keluar karena sebuah alasan tertentu yang Daria tidak ketahui. Sosok tegap dan percaya diri itu tampaknya memiliki sedikit perubahan dalam dirinya yang Daria tidak ketahui apa, ia ingat akan sedikit cerita tentang Abbar yang bisa dikatakan mungkin agak ‘liar’ di masa kuliahnya dulu, entah perubahan apa yang ia lihat, ia pun tidak begitu yakin.
Tampaknya, mereka berdua sudah mencapai umur dimana mereka sedang mencari pasangan untuk diri mereka masing-masing. Awalnya Daria tidak memikirkan itu sama sekali, tidak terbesit di pikirannya untuk menikah ataupun hidup bersama Abbar di masa depan, hingga Abbar mulai menunjukkan tanda kalau ia ingin mendekat, antara sikap acuh tak acuh Daria namun tidak menolak tampaknya membuat Abbar melangkah satu anak tangga demi anak tangga untuk mendekati Daria.
Mereka tidak pernah menjadikannya official, ataupun dengan tegas mengatakan kalau mereka benar-benar berpacaran atau yang sejenis dengan itu, namun tampaknya, sebuah kata-kata yang diucapkan pada Daria mengubah hal itu, “Kalo kita nikah aja gimana?”
Daria memikirkan pertanyaan itu cukup lama, ia menyampaikan hal itu pada Ibunya, hanya sekedar memberitahu, akan pertanyaan yang diutarakan oleh Abbar padanya, yang mana ternyata, Ibunya mengambil langkah duluan tanpa sepengetahuannya, yaitu bertemu dengan Abbar bersama anak pertamanya yang ada di Bandung.
“Daria, Ibu sama Kakak udah setuju ya,” Ujar Ibu singkat.
Daria melongo, setuju? Setuju soal apa?
“Soal Abbar, dia udah Ibu ajak ke Bandung, buat ketemu sama Kakak, kita udah bincang lama.”
“Lah kan, Daria belom bilang apa-apa?”
“Daria, berarti gua udah diterima nih?”
“Diterima apa?! Gua setuju aja belom, apanya yang diterima??”
“Lah kata ibu-”
Mereka berdebat cukup lama di sepanjang perjalanan. Sepulangnya, Daria berpikir cukup lama, ia ingin menolak, namun takut jika dua kejadian seperti dulu akan terulang kembali, dan usianya yang sudah mencapai 27 tahun membuatnya agak khawatir, bagaimana jika ini kesempatan terakhirnya?
Akhirnya ia setuju, tanpa harapan maupun takut akan kegagalan, ia hanya pasrah menjalani hubungan dengan Abbar, sebuah projek interior yang ia dapatkan menghasilkan fee yang cukup besar, mencukupi beberapa kekurangan untuk mengadakan acara pernikahannya.
Pernikahan diadakan di gedung, Daria masih termangu, tidak menyangka pernikahannya telah betul-betul terjadi, ia tidak tahu apakah yang ia rasakan adalah bahagia, atau lega, ia masih tidak tahu betul.
Pindah ke rumah keluarga Abbar, sebuah dunia yang sungguh berbeda, sungguh berbeda dari dunianya dulu, ia tidak tahu bagaimana caranya menyesuaikan diri di antara keluarga Abbar, sementara itu tampaknya Abbar hanya berlaku acuh tak acuh, tidak juga menggandeng tangannya ataupun menemaninya untuk menyesuaikan diri. Sebuah keluarga dimana mereka selalu memerhatikan hal kecil yang bahkan tidak pernah begitu diperhatikan olehnya, baik maupun buruk.
Keluarga yang begitu perhatian, namun agak sensitif. Keluarga yang sangat mementingkan mannerism, sesuatu yang tidak begitu dipentingkan olehnya sebelum datang ke keluarga ini, keluarga yang terkadang bertengkar, namun selalu membantu satu sama lain setiap ada kesulitan, sangat dekat dengan satu sama lain, tidak seperti keluarganya yang tampaknya lebih senang untuk hidup berjauhan. Hal ini menjadikan sebuah tabrakan karakter maupun kebiasaan, baik bagi keluarga Abbar, maupun Daria.
Ibunya meninggal setelah empat tahun sejak pernikahannya dengan Abbar, penyakit kanker yang diderita oleh ibunya bertabrakan dengan kehamilan anak ketiga Daria, ia bulak balik menaiki bus sendirian ke Rawamangun, untuk bergantian menjaga ibunya yang kerap dirawat ke rumah sakit. Namun sayang, ia tidak mendapat kesempatan untuk mendampingi ibunya ketika ia dijemput oleh ajalnya, ia sedang berlibur bersama keluarga suaminya saat itu, menangis menyesal mendengar kabar ibunya yang telah tiada.
Tahun demi tahun berlalu, perdebatan kecil maupun besar terjadi hampir setiap bulannya, entah apapun itu, baik masalah kecil maupun besar, tampaknya ia tidak bisa pergi maupun memisahkan diri dari Abbar, melihat kehamilannya yang berturut-turut, jangka waktu satu tahun, kemudian hamil lagi, dua tahun, kemudian hamil lagi, dua tahun lagi, ia hamil lagi. Semakin hari, anak-anaknya mulai tumbuh besar, entah mengapa, mereka tampaknya lebih dekat dan lebih bahagia bersama dengan nenek dan kedua adik iparnya, dibanding dengan dirinya, hal ini membuatnya tidak bisa menolak maupun menghapus rasa cemburu di hatinya yang merekah kian hari.
Abbar hanya acuh tak acuh, tampaknya ia dekat dengan adik-adik iparnya, bahkan terkadang memberikan mereka beberapa hal yang mana ia sendiri tidak mendapatkannya dari Abbar. Ia tidak bisa menghilangkan wajah sewot, maupun menyembunyikan perasaannya dengan baik, entah ia sadari ataupun tidak, rasa cemburu bertumbuh dan malahan beralih kepada kedua adik iparnya. Ia tidak tahu hal apa yang harus ia ubah dari dirinya, maupun peduli akan hal itu.
Pindah dari rumah Jakarta, dikarenakan hutang suaminya, mereka tinggal di sebuah pavillion di rumah Mirna dan Irad, kakak iparnya. Sebuah pertengkaran besar antara ia dan suaminya, yang bahkan seingatnya, mungkin bermula dari kesalahan kecil yang dibuat olehnya dan juga suaminya. Ia memutuskan, kalau ia tidak tahan lagi, ia ingin berpisah, ia ingin bercerai, berjalan ke rumah kakak iparnya di depan, ia menyampaikan akan hal itu kepada ipar dan mertuanya, mereka pun tampaknya sudah muak akan pertengkarannya dengan suaminya. Mereka menyerahkan pilihan itu padanya, walaupun Najwa, adik iparnya yang tampaknya tidak tega padanya, berusaha mendamaikan mereka, namun hatinya sudah muak, ia tidak tahan lagi, baik dirinya maupun Abbar selalu menyakiti satu sama lain dengan kata-kata pedas, mungkin seperti kata orang-orang, jodoh adalah cerminan, yang mana terkadang kita sendiri pun kaget dan sakit akan cerminan kita sendiri. Sebuah hal yang tampaknya tidak disadari oleh Daria.
Namun takdir berkata lain, ia hamil lagi, menjadi sebuah alasan utama baginya untuk tidak bercerai dengan Abbar, lagi-lagi karena itu. Akhirnya ia pasrah, baik ia maupun Abbar menarik keputusan bercerai mereka, memutuskan untuk menjalani hidup bersama anak-anak.
Setelah pindah ke rumah baru, baik pertengkarannya dengan Abbar maupun dengan ipar-iparnya mulai berkurang, mungkin karena pertemuan mereka yang sudah tidak sering. Namun masalah baru timbul lagi, ia membutuhkan uang, atau lebih tepatnya, ‘mereka’ membutuhkan uang, sudah cukup lama Abbar belum mendapatkan proyek baru, pekerjaannya sebagai arsitek tampaknya berakhir sejak kejadian besar yang ia alami, menyebabkan hutang yang bernilai ratusan juta. Abbar belum mendapatkan pemasukan apapun, membuat mereka terpaksa memberhentikan pekerja yang membantu untuk mengurus anak-anak sejak beberapa tahun yang lalu.
Akhirnya, hasil pembagian waris akan rumah ibunya yang dijual membuatnya mampu membeli sebuah rumah, ia dan Abbar menjadikan rumah itu sebagai kontrakan, agar mendapatkan pemasukan tambahan untuk mereka berdua.
Sisa dari uang yang didapatnya ia pakai untuk membeli mobil, dan memulai usaha online yang sudah dirintisnya sejak pindah ke rumah itu, sebuah usaha yang ia tidak sangka-sangka akan mengarah pada bidang tersebut, yaitu membuat makanan fermentasi, dan menjualnya. Usaha bisnisnya berjalan dengan cukup lancar, penghasilan mereka bertambah banyak, ia berhasil menutupi kekurangan mereka selama bertahun-tahun, walaupun memang ia masih harus mengerjakannya sendirian, tidak bisa sepenuhnya bergantung pada anak-anaknya yang masih kecil.
Tampaknya hingga kini, ia masih merasa kesepian, ia masih merasa harus menutup perasaannya, anak-anaknya jelas tidak bisa lepas dengan nenek dan kedua bibinya, belum lagi keputusan suaminya yang cukup gila dengan tidak menyekolahkan anak-anaknya, ia sudah pasrah akan hal itu. Mereka bilang, suami dan istri harus sejalan, baik ia setuju maupun tidak, ia harus membenarkan suaminya, tidak memengaruhi anak-anak untuk menolak akan hal ini. Dan lagipula, lama kelamaan, ia mendapat pengaruh positifnya juga, mereka tidak harus memusingkan soal biaya pendidikan anak-anak, maupun berpisah dengan mereka dalam waktu yang lama, ia mendapatkan bantuan untuk mengerjakan pekerjaannya, anak-anak pun tidak mendapat pengaruh negatif dari pergaulan seperti layaknya anak-anak yang lain.
Namun, bilakah engkau akan menyadarinya Daria?
Dua anak kembar, Najwa, Narumi.
“Anak kembar itu, otaknya dibagi dua, jadi begitulah, Najwa Narumi, hitam, dekil pula,”
“Beruk.”
“Otak udang.”
“Monyet.”
“Tolol.”
Sebuah kata-kata yang sudah biasa didengar oleh Najwa, dan Narumi, Najwa membalas pandangan adiknya, Narumi disebelahnya, tertutupi bayangan kakak pertamanya yang paling sempurna, putih, cantik, pintar, apalah mereka itu di mata keluarganya? Najwa dan Narumi, satu pasang anak kembar, berisik, bodoh, dekil, hitam, tidak cantik, mungkin anggapan itu sudah sering didengar di sekitar mereka, sebuah anggapan yang dianggap mungkin hanya sebagai sebuah bercandaan, yang tanpa mereka sadari, sebenarnya ber-efek pada mereka hingga mereka besar.
Najwa dan Narumi, memiliki talenta yang besar sejak kecil, yaitu suara mereka, bakat mereka dalam menyanyi mereka terima dari ayah dan ibu mereka, yang mana juga memilki talenta bernyanyi, bakat itu dimiliki juga oleh Mirna, anak pertama dari ibu Musaida dan bapak Amir. Satu keluarga yang mencintai musik, musik yang terkenal pada jamannya, lagu ‘My Way’ dari Frank Sinatra yang menjadi favorit Pak Amir, dan lain-lain. Mirna mendapat kesempatan untuk mendapat les musik, sebelum akhirnya Pak Amir dan Bu Musaida sudah memasuki masa kesempitan finansial, dimana keuangan mereka sudah tidak mencukupi untuk meneruskan les tersebut.