Dear Oma

Lyra
Chapter #10

Chapter 10 : Kumohon, Jangan Sekarang

 Sebuah gedoran pintu rumah mengagetkan Alika yang langsung membukanya setelah mendengar suara-suara yang familiar, “Mawa Marum???”

 

 “Mana bapak kamuu??”

 

 Pertanyaan itu mengejutkan Alika, Fatma, maupun siapa yang mendengarnya, baik itu dari segi takut akan pertengkaran yang mungkin terjadi, ataupun sebaliknya. Namun Alika yakin, wajah sumringah dan intonasi suara Mawa dan Marum menunjukkan hal yang tidak berhubungan dengan sesuatu yang disebut ‘pertengkaran’. Ummi melihat mereka berdua masuk, pekerjaannya yang belum selesai sedari tadi, anak-anak yang baru saja turun untuk membantunya membuatnya lelah, ia merasa tidak ada waktu untuk apapun yang terjadi setelahnya.

 

 Mawa menepuk bahu Ummi, “Daria,” Ia tersenyum lebar,

 

 “Eh Naj,”

 

 “Bang Abbar mana? BANG!! Dimana sihh?” Marum memanggilnya,

 

“Diatas tuh.” Ucap Ummi singkat.

 

 Mawa dan Marum menaiki tangga itu, mencari-cari sosok yang mereka panggil sedari tadi. Laki-laki berkulit gelap, berwajah keras itu menampakkan wajahnya, menjumpai Mawa dan Marum yang naik ke atas, tanpa basa basi, Mawa dan Marum bergantian memegang tangan abang mereka, menyalaminya. Aliyah yang ada di hadapan mereka saat itu hanya melongo, entah bagaimana hal ini bisa terjadi, ia tidak tahu. Mawa dan Marum menepuk-nepuk bahu abangnya, berbicara sementara air mata mereka mulai bermunculan.

 

“Maafin gua ya bang, ya, maafin ya, gua salah ngomong. Kita baik-baik aja ya bang? Karena Allah bang, kasian Mama bang, yah?” Mawa menepuk bahunya.

 

 “Bang! Lu tuh mah ada aja sihh! Udah ya bang, maafin ya, mana sini tangan abang, kita baikan aja ya bang, udah ya bang.” Marum mengambil tangannya, mengusap tangannya.

 

 Abi tampaknya hanya diam, Al pun tidak tahu mengapa Abi bisa begitu keras hati, turunkan egomu sedikit Bi, ayolah, sudah cukup.

 

 Abi tidak mengucapkan sepatah kata pun kecuali mengangguk pelan, Mawa dan Marum kemudian berpamitan pergi, Al berlari turun menghampiri mereka, menjumpai mereka yang sudah keluar dari pintu masuk, ia menaikkan alisnya, bertanya dalam diam.

 

 Mawa dan Marum tersenyum kecil, “Karena Allah nak, buat kalian juga, buat Oma.” Al terdiam, lagi-lagi Mawa dan Marum yang mengalah, lagi-lagi…

 

 Sejak itu, keadaan berungsur berubah menjadi sedikit lebih baik, mereka sudah mulai diperbolehkan untuk ke rumah Oma, dengan syarat, tidak boleh pergi bertiga sekaligus, mereka diharuskan untuk hadir di rumah, memastikan ada yang membantu Ummi.

 

 Aliyah merasa bingung dengan hawa yang masih cukup intens setiap Abi dan Mawa Marum bertemu, Mawa dan Marum selalu datang dan menghampiri, tapi hati batu Abi belum bisa dipecahkan jua, Al masih merasa muak akan hal ini, bukan ini yang diajarkan Islam bi, bukan ini.

 

 “Abi kamu tuh Al, keras sekali hatinya,” Al melihat ke arah Oma yang berucap sembari matanya fokus mencari surah Yasiin di buku yasin kecil itu, mukena putih tua yang sudah mulai kuning belum dilepasnya juga sedari tadi, Oma menaruh tusuk gigi yang ke tiga puluh sembilan di meja kaca yang ada di sebelah sofa marun kebangsaannya itu, Al memandang Oma, memikirkan bagaimana ia selalu berusaha menyelesaikan 40 kali surah Yasiin dalam sehari, berdo’a agar konflik ini cepat tuntas, berdo’a agar anak laki-lakinya dilembutkan hatinya, berdo’a agar cucu-cucunya bisa leluasa bersamanya kembali. Al entah kenapa merasa bersalah, ia memangku kepalanya sembari memerhatikan Oma, menunggunya hingga ia selesai. Al bahkan belum bisa menyelesaikan 40 kali surah yasiin, hanya 20 kali saja yang ia baru mampu menyelesaikannya dalam sehari.

 

 Aliyah mendengarkan bacaan al-Qur’an yang diperdengarkan oleh Oma dengan suara lirih, ia mendengarkan napasnya yang sudah pendek dan terputus-putus, suara Oma yang rendah dan pelan saat membaca Qur’an, merdu, batin Aliyah.

 

 

Berbulan-bulan kemudian tampaknya hanya ada sedikit perubahan, walaupun mereka sudah dapat pergi bersama Oma lagi, dan sudah mulai boleh bermain ke rumah Oma seperti biasa, walaupun mereka masih berhati-hati dan memastikan untuk tidak membiarkan Ummi bekerja sendirian.

 

 “Alika, Fat, mulai sekarang…” Al memandang wajah kedua adik-adiknya satu persatu, sejak konflik itu, mereka selalu mendiskusikan segala sesuatu dan bercerita bertiga di antara mereka, baik segala permasalahan, curah hati, maupun mengumpulkan pendapat. “Ayo kita berhenti cerita semuanya ke Oma, Mawa, Marum, ayo kita berhenti buat segala sesuatu yang bisa bikin kejadian kayak gini lagi, ya?”

 

 “Oma pernah bilang, ‘segala kejadian, ataupun kata-kata yang nggak enak di rumah kamu, sebaiknya jangan di omongin,’ silent is gold, ayo kita perbaiki, atau setidaknya usaha, jangan sampe kita memperburuk keadaan. Ayo kita usaha mendekat ke Ummi Abi, mungkin ini yang mereka mau, mungkin dengan cara mendekat, hati mereka bisa melembut.” Al menatap adik-adiknya satu persatu, sesaat ia merasa bersalah, seolah mengikut campurkan kedua adiknya dalam masalah ini, seolah ia membuat mereka ikut merasakan rasa bingung dan putus asa.

 Al berpikir sebentar, ia menarik kata-katanya, “Maafin Kak Al ya, kalian nggak perlu usaha atau paksain apa-apa, biar Kak Al aja, kalian sebebasnya aja, cerita-cerita aja, jangan ditahan-”

 “Kak,” Fatma menatap Aliyah tajam, “Kak Al pikir, Kak Al sendirian? Yah mau kayak gimana juga, yang menghadapi masalah apapun di antara Ummi Abi sama Mawa Marum yah kita bertiga, mau kita acuh nggak acuh atau bebas aja ya nggak bisa juga lah Kak, emang kita bisa cerita? Fatma juga tau kali, kalo itu bisa bikin keadaan nggak enak, nanti yang menghadapi keadaan nggak enak itu siapa? Ya kita semua lah, jangan bilang gitu deh, Fatma juga mau, Uni juga mau, kita usaha sama-sama lah.”

 

 Ujung bibir Aliyah terangkat sedikit tanpa ia sadari, Alika mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui ucapan Fatma, seolah Aliyah tertampar kenyataan, karena bagaimanapun juga, mereka terletak di tengah, baik mereka mau ataupun tidak, mereka tidak punya pilihan, kalau pun ada, yaitu dua, hancurkan, atau damaikan, atau tidak dari keduanya, hanya itu. Mereka tidak punya waktu untuk memilih dengan hati, karena pilihan hati membawa pada berakhirnya sebuah keharmonisan yang mungkin pula pada dasarnya pun tidak ada. Egois ataupun memikirkan perasaan mereka rasanya bukan pilihan tepat disini.

 

 Sebuah prinsip atau tujuan baru terlahir disini, mereka tidak banyak bicara soal kejadian maupun ucapan Ummi dan Abi kecuali yang membawa kabar baik, begitu juga dengan ucapan Mawa dan Marum. Layaknya sebuah saringan kain yang mengangkut semua kotoran ataupun hal-hal yang keras dan membiarkan air lewat melalui kain, itu pula yang mereka usahakan. Al tidak yakin apa yang dapat berubah dalam hal ini, namun ia berusaha menjalankan apa yang Oma katakan, sesuatu yang selama Al perhatikan, selalu di lakukan oleh Oma. Oma, seseorang yang sudah dikenal sebagai penengah, atau mediator di dalam keluarganya, hal yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh Aliyah, walaupun ia anak pertama, namun posisinya disini hanyalah seorang anak, bukan seorang kakak, maupun ibu.

 

 Dalam hatinya yang paling dalam, jujur ia berharap agar ia bisa bertahan di posisinya, yaitu seorang anak, yang memandang mereka tanpa harus berusaha untuk memperbaiki apapun, yang berfokus dengan kesibukannya seperti anak-anak lain tanpa harus memusingkan masalah keluarga, yang bisa bertindak dan berperasaan layaknya anak seumurnya, yang bisa memiliki teman, yang bisa berbicara tentang perasaannya, baik sedih, marah, senang, apapun itu. Dan ia yakin, begitu juga dengan adik-adiknya, yang keduanya seolah termenung dengan pandangan kosong, pun tertampar realita yang mereka tidak bisa lari darinya, yang mereka terlahir untuk menghadapinya, takdir, mungkin itu kata yang tepat, perjalanan untuk menjadikan mereka lebih kuat, lebih tabah, lebih sabar, dan menurut Al, lebih dewasa.

Lihat selengkapnya