“Marum, Oma gimana??” Al bergegas menghampiri Marum di depan UGD, melihat wajah lelah dan matanya yang gelap, sudah dapat dipastikan bahwa sepanjang malam, ia tidak tidur sama sekali.
“Masih diare, Oma nggak mau makan, mual katanya, kamu masuk gih, liat Oma.”
Al bergegas memasuki Unit Gawat Darurat itu, dicarinya sosok Omanya. Akhirnya tidak lama, ia menemukan Mawa yang sedang memanggil seorang perawat, Al segera menghampirinya, berharap hanya kabar baik yang akan ia dengar.
“Mawa, Oma gimana Mawa?” Mawa menoleh ke arahnya, ia membuka pintu, mereka memasuki sebuah ruangan isolasi kecil yang ada di UGD rumah sakit. Di tengoknya Oma yang sedang tertidur pulas di ranjang pasien, ia menoleh ke arah Mawa, melihat alisnya yang diangkatnya, Mawa menjawab wajah penuh pertanyaan itu.
“Oma semaleman mencretnya nggak berhenti, ini baru bisa tidur abis di infus. Disini kurang bagus pelayanannya, kamu tau sendiri kan Oma keras, Oma nggak mau pake pispot, gamau juga pake pampers, maunya ke kamar mandi, tapi nggak dibolehin.”
“Akhirnya Oma B.A.B di tempat sampah yang gede itu, dipegangin rame-rame.”
Al menatap Oma dengan perasaan bersalah, seandainya ia bisa membantu tadi malam.
“Baru sekarang Oma bisa tidur. Abis di infus, katanya baru enakan perutnya.”
Al menoleh ke arah Mawa, ia melihat wajah itu sesaat, wajah penuh kekhawatiran, lelah, takut, bercampur menjadi satu. “Mawa, istirahatlah Mawa, biar aku yang nemenin disini, nanti kalo ada dokter aku telepon Mawa.”
Mawa menggeleng, “Enggak nak, mana bisa Mawa istirahat ngeliat Oma begini? Mawa disini aja, mungkin nanti kita gantian pas makan aja ya.”
Sesaat, hening, baik Al maupun Mawa dipenuhi oleh kekhawatiran akan kondisi Oma yang memburuk. Jujur saja, Mawa belum pernah melihat ibunya dalam keadaan sedemikian rupa, ia menatap lama ibunya, terbaring lemah, wajahnya pucat, matanya bengkak, ia sedang dalam kondisi yang sungguh menyakitkan. Kala itu, aroma obat-obatan, suara monoton dari monitor denyut nadi, dan suara lirih mereka yang ada di balik pintu ruang isolasi tempat Oma berada menandakan akan hal-hal yang selalu mereka takutkan selama ini. Unit Gawat Darurat, hanya dengan namanya, Al tahu, bahwa sakit Oma bukanlah sekedar sakit biasa. Ia hanya berharap, dan pastinya bukan hanya Al, namun semua anggota keluarga, mereka berharap, bahwa ini yang terakhir kalinya mereka akan membawa Oma ke UGD.
Sembuhlah Oma, sehat ya Oma? Kita jangan balik kesini lagi, semoga, ini hanya sementara.
“Harus dirawat kan ya Mawa?”
“Iya, ini masih nunggu kamar, kita maunya yang VIP, biar Oma nyaman, biar enak juga kalo dijenguk, kasian Oma, pasti maunya bisa ketemu sama anak cucunya kan.”
Al terdiam, ia ingin mengucapkannya, benaknya kian membisikkan akan kesempatan itu, ia tidak mau kehilangan pandangannya akan Oma, tidak di saat seperti ini, “Mawa, kalo aku ikut nginep nemenin Oma, bisa nggak ya Mawa?”
“Belom tau nak, tapi nanti Mawa coba tanyain dulu ya, siapa tau bisa.”
Al terdiam sesaat, memang hal itu agak sulit, melihat usianya yang belum cukup umur untuk dihitung sebagai penjaga, ia masih berumur 16 tahun. Namun sesaat, ia bersyukur akan tubuhnya yang bongsor ini, lantaran menjadi sebab jarangnya orang menebak dengan benar akan usianya, mereka akan mengira usianya beberapa tahun lebih tua. Mawa beranjak keluar, bergantian dengan Papa Fadli yang masuk. Setelah menyalaminya tanpa berkata apapun, Aliyah melihat wajahnya pamannya sesaat, ia tau, tidak ada satupun dari anak-anak Oma yang tidur tadi malam. Semuanya siaga, hanya satu yang mereka sangat hindari, yaitu penyesalan. Al menyenderkan kepalanya ke dinding, ia teringat akan ayahnya yang tadi ia temui di luar, sesaat setelah ia masuk, ayahnya tampak mengatakan sesuatu pada Marum. Al menghembuskan napas pelan, ia hanya berharap, pertengkaran, maupun konflik apapun yang sedang terjadi sebelumnya akan mereka lupakan. Mungkin bisa dibilang bukan 'mereka', namun ayahnya. melihat keadaan Oma yang jatuh sakit.
Mereka menunggu di UGD cukup lama, begitu juga dengan Granny yang pun sudah ada di rumah sakit, sejak malam ia menunggu, ia hanya pulang sesaat, kemudian kembali lagi ke rumah sakit. Tampaknya ia belum bisa tenang melihat keadaan kakak pertamanya itu.
Akhirnya, setelah penantian yang cukup lama, suster datang mengabarkan akan kamar yang sudah dapat ditempati. Sebuah kursi roda dibawa untuk membawa Oma ke kamar rawatnya. Anggota keluarga bergantian untuk menengok Oma di kamar, lantaran jam besuk telah selesai. Al mengintip ayahnya yang ada di hadapannya, kala itu mereka sedang duduk di lobby rumah sakit. Al menoleh, mengintip ke arah Marum yang sedang menutup laptopnya, menyimpannya di tas. Marum menoleh ke arah Abi, "Bang, Daria, Adek ke atas dulu ya, Adek mau nemenin Mama."
"Yo." Ucap Abi, "Eh, Narumi, itu abang bawain kloset beroda buat Mama, entar abang bawa ke atas ya."
"Oke, siap bang." Marum menyengir sesaat, tidak lama kemudian, bayangan tubuhnya mulai menghilang di antara orang-orang yang berlalu lalang.
Aliyah beradu pandang dengan Alika dan Fatma. Baru kali ini setelah sekian lama, Abi membalas ataupun berbicara santai dengan Marum.
Mereka menunggu di lobby cukup lama, Mamirna tetap ingin hadir di sana, walaupun ia tidak dapat meninggalkan pekerjaan kantornya, ia sibuk dengan pekerjaannya, matanya tidak beralih dari laptop yang ada di hadapannya. Sementara itu Papa Fadli telah beranjak pulang, melihat keadaan Oma yang mungkin menurutnya dapat dibilang sudah cukup stabil dibandingkan sebelumnya.
Al sudah mendapat izin dari kepala suster setempat untuk ikut menginap di kamar rawat. Ia tidak banyak bicara kecuali izin kepada Abi dan Ummi, ia berpamitan, kemudian beranjak mengikuti Mawa ke lantai atas, tempat kamar Oma berada. Kali ini, dengan sungguh berat hati. Marum terpaksa pulang malam itu, ia tidak dapat meninggalkan Nayla sendirian di rumah, suaminya bekerja pada shift malam. Ia menghanpiri Oma, mengecup dahinya dengan matanya yang berkaca, "Ma, besok pagi sekali, Adek balik kesini ya Ma. Nayla nggak bisa Adek tinggal sendirian Ma, maafin Adek ya Ma."
Oma mengangguk, "Iyo lah," Ucapnya dengan penuh keyakinan, "Janganlah ditinggal cucu Mama sendirian, berang beko Mama." Oma menatap Marum, memberikan kepastian pada anak bungsunya itu.
Malam itu, malam yang dingin. Setelah beberapa kali dibujuk, akhirnya ia mau untuk menggunakan kloset beroda yang Abi bawa sorenya, dibantu oleh Mawa dan Al, diarenya sudah cukup berkurang, walaupun belum berhenti sepenuhnya. Oma kini masih terbaring dengan lemas, sepanjang hari itu, ia benar-benar tidak banyak bicara. Tampaknya sinetron kesukaan Oma yang sedang tayang di televisi tidak sedikit pun menarik perhatiannya.
"Ma, kita shalat isya' dulu yuk Ma."
"Iyo, sabanta yo, Mama mangantuak bana iko, beko yo."
Mawa mengamati ruai wajah ibunya, matanya sebentar-sebentar terpejam, sebentar kemudian terbuka sedikit. Mawa tidak tega membangunkannya lagi, ia membiarkan ibunya untuk beristirahat sejenak.
.
"Bu, udah boleh pulang ya, nanti kita rawat jalan aja ya.” Ujar Dokter internist yang baru saja masuk.
“Loh Dokter? Ini diarenya belum berhenti, HB-nya juga masih 8, kok udah boleh pulang?” Mamirna menanyakan hal itu dengan heran, ia melihat laporan hasil darah yang telah mereka terima pagi itu. Ia tidak dapat habis pikir akan keputusan dokter tersebut. Tampaknya kemudian, Mamirna merasa akan kurang baiknya pelayanan rumah sakit tersebut, begitu pula dengan dokternya. Tidak lama, seorang suster memasuki kamar dengan kertas-kertas yang didekapnya, ia menghampiri Mamirna, “Bu, ini tolong diisi mengenai biaya ya bu, totalnya ada disini, 21 juta 250 ribu rupiah.”
Mamirna menghela napas, “Iya tunggu sebentar ya suster, nanti saya urus.”
“Pake BPJS enggak bisa Ni?” Sahut Papa Fadli. Al hanya menoleh ke arah Oma, wajah Oma datar, namun sesuatu seolah menggelap sesaat.
Mamirna menggeleng singkat, seolah memberi isyarat pada Papa Fadli untuk tidak membicarakannya di hadapan Oma, ia menoleh ke arah Oma, dilihatnya dokter dan suster yang sudah keluar dari kamar, “Udah Ma, nggak usah dipikirin ya Ma, kita ganti rumah sakit aja ya Ma, ini rumah sakitnya enggak bagus, pelayanannya jelek, dokternya juga ngaco. Kita pulang aja sekarang ya Ma, kita cari rumah sakit lain.”
Oma mengangguk singkat, ia mengalihkan wajah, matanya seolah menyipit, dan ujung bibirnya naik sebelah,
“Ya udah, Mama mau pulang aja sekarang.” Oma terdiam, kata-kata apapun kemudian tidak terdengar dari mulutnya. Al tidak tahu pasti tentang apa yang Oma rasakan kala itu, ia hanya mendapat perasaan, bahwa hal ini bukanlah suatu hal yang enteng.
Home, sweet home. Harapan semua orang akan kepulangan Oma dari rumah sakit itu adalah satu, bahwa suasana rumah dan kehangatan rumahnya sendiri akan membuat Oma lebih tenang. Rumah sakit dipenuhi hiruk piruk dari segala hal yang tidak diharapkan kecuali perbaikan dan kesembuhan dari setiap pasiennya, kata 'rumah sakit' di telinga semua orang seolah mengindikasikan akan penyakit yang memang sudah pasti lebih parah dibandingkan dengan penyakit biasa. Seolah secara tidak sadar, beberapa dari mereka mengalami sesuatu yang disebut sebagai, 'denial'.
Semenjak keluar dari rumah sakit, anak-anak Oma sibuk berdiskusi tentang pengobatan Oma sebisa mereka, entah itu melalui group chat, maupun bertemu secara langsung. Obat-obatan kian bertambah setiap kali mereka pulang dari konsultasi dokter, entah itu dokter jantung, internist, ataupun dokter ginjal. Bisa dibilang, hasil keputusan berada di tangan Mamirna sebagai anak pertama, atau mungkin bisa dibilang, sebagai anak yang membiayai pengobatan Oma hampir sepenuhnya. Walaupun dalam pandangan Al, setiap anak, setiap individu, telah ditentukan oleh pencipta mereka, rezeki mereka masing-masing, baik dengan tingkat kerja keras mereka yang sama, maupun tidak. Mungkin Al berpikir, sekecil apapun kesempatan yang setiap masing-masing anak Oma miliki, mereka pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyalurkan pemberian yang telah mereka dapatkan dari Sang Pencipta, untuk menanggung biaya, pengobatan, maupun kebutuhan Oma. Dan memang, keluarga maupun orang-orang yang dekat dengan mereka tahu, bahwa dari kelima bersaudara ini, yang mungkin bisa dibilang memiliki privillage dan rezeki yang lebih dibandingkan anak lainnya adalah anak ke-pertama dari Oma tersebut. Namun dengan alasan apapun, kerja keras, kepintaran, maupun keputusan yang dibuat bukanlah mutlak sebagai penyebab rezeki yang lebih tersebut, memang ada campur tangannya, namun pada akhirnya, semuanya tetap kembali kepada Allah. Dan bagi Al, hal itu merupakan kesempatan emas yang Mamirna semestinya dapatkan, sesuatu hal yang bila anak-anak Oma yang lain mendapat kesempatan emas tersebut, mereka akan meraihnya dengan pasti.
Cara berbakti kelima anak Oma berbeda-beda, ada yang dengan menanggung biaya, ada yang dengan kasih sayang, ada yang dengan setia menemani Oma di mana pun dan ke mana pun, ada yang berjuang untuk merawat Oma di tengah segala kesibukannya, ada yang dengan do'a, ada yang dengan perhatian. Semua ini terutama keluar di saat Oma jatuh sakit. Semua kegiatan Oma hampir sepenuhnya dihentikan, Oma perlahan mulai dikurangi kegiatan memasaknya, ataupun kegiatan apa saja yang dapat membuat Oma kelelahan.
"Ma, Adek mau mulai belajar masak Ma. Hari ini, Adek lagi pengen masak dendeng balado, Mama ajarin Adek resepnya dong Ma." Kata Marum, ia menatap Oma dengan menyeringai lebar, perkataan Marum tersebut tampaknya membuat Oma sedikit kaget.
"Yang bener kamu?"
Marum mengangguk, "Iya Ma, bener, Adek kepengen bisa masak Ma, Adek pengen sekali masakin Mama."
Oma mengangguk, "Ya sudah, Mama ajarin kamu resep Mama."
Esoknya, Oma menelepon tukang sayur langganannya, memesan bahan dan berbagai bumbu dapur yang mereka butuhkan untuk membuat dendeng balado. Ia duduk di sofa, segala bahan-bahan yang ia pesan sudah terletak di hadapannya, Ia mengambil daging, kemudian meletakkan talenan dan pisau di pangkuannya, "Begini caranya, potongnya indak usah terlalu tebel, jangan terlalu tipis juga." Oma memotong daging yang sudah dibersihkan itu dengan lihai, kemudian memasukkannya ke dalam baskom.
"Ayo ke dapur." Ucapnya, ia perlahan beranjak dari kursi sofa abu-abu itu, meraih tangan Al, kemudian berjalan ke arah dapur.
Oma mencontohkan segala cara dan memberikan nasihat di setiap langkahnya, mulai dari merebus presto daging sapi yang telah di potong hingga matang dan lunak, kemudian merendamnya dengan air garam, Oma memasukkan daging basah itu ke penggorengan yang berisi minyak panas dengan lihainya, melihat cipratan minyak yang cukup intens itu, Al hanya bisa menghindar dan berdiri di tempat yang jauh. Marum mengikuti segala perintah dan nasihat dari Oma, lama kelamaan, muncul suatu bakat terpendam yang tidak pernah mereka sangka-sangka sebelumnya, yaitu bakat memasak dari Marum.
Mengikuti rasa senang memasak yang Marum rasakan, ia mulai belajar memasak dengan sungguh-sungguh, ia tidak dapat selalu minta diajarkan oleh Oma lantaran ia tidak mau membuatnya lelah, karena Marum tahu, bahwa Oma pasti akan turun tangan untuk mengajarkannya langsung di dapur. Marum mulai membuka banyak tutorial maupun ide dari berbagai chef-chef melalui media sosial, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, ia mendapatkan cita rasa tersendiri melalui perjalanan memasaknya. Kini Oma tidak perlu selalu khawatir tentang makanan setiap harinya.
Tampaknya harapan Aliyah masih mendapatkan jawaban ambigu. Ia yang berharap agar penyakit Oma adalah suatu hal yang dapat berlalu layaknya penyakit biasa belum pula mencapai ekspektasinya. Sudah minggu ketiga, Oma belum kunjung sembuh, ia mogok makan, seolah makanan tersebut yang sampai di gerbang mulutnya itu di tolak mentah-mentah oleh tubuhnya dan diberikan adukan makanan cair dan basi yang keluar sebagai balasannya, ia kerap mengeluhkan akan perutnya yang seolah berkecamuk dari dalam, diare seolah tidak ada hentinya. Beberapa dokter yang sudah mereka datangi belum pula menemukan hasil yang pasti, terkadang dugaan mereka batu empedu, yang lain mengatakan lambung yang terluka, yang lain menyebutkan salah satu penyebabnya mungkin diabetes, namun tidak ada dokter yang dapat memberi diagnosa jelas hingga mereka melakukan endoscopy yang mana tidak terlalu aman bagi lansia. Yang ada hanya tambahan obat, obat, dan obat.
Pasangan suami istri yang tinggal tepat di depan rumah Oma, Pak Rafdi dan Tante Sharon kerap menanyakan kabar Oma, Mawa dan Marum selalu menanyakan masalah obat kepada Tante Sharon yang merupakan seorang dokter umum yang lihai. Segala perubahan apapun pada Oma selalu ditanyakan padanya.
Mereka memenuhi janji dengan dua dokter hari itu, internist, dan dokter jantung. Al menunggu di ruang tunggu, duduk di samping Omanya, nama ‘Musaida’ tidak lama terdengar, dilihatnya Mawa yang sedang berbicara dengan suster agak jauh disana, Mawa menoleh ke arahnya, memberi isyarat untuk segera datang dan diperiksa tekanan darah dan nadi.
“Marum, kayaknya kita dipanggil deh,”
Marum menoleh, “Yuk Al. Uni, Kak Irad, kita kesana dulu ya.”
Al memegang erat kursi roda Oma, berjalan bersama Marum, mendatangi suster yang mempersilahkan mereka masuk.
“Tensinya lumayan tinggi nih, 160/78, sering diperiksa nggak kalo di rumah?”
“Sering sus, kita punya alatnya sendiri, ini cucunya, dia yang catat biasanya, tangan saya lagi sakit soalnya, nggak kuat nulis.” Ucap Mawa.
Al menyerahkan catatan tensi dan nadi Oma yang biasa diperiksa setiap hari, suster itu mengamatinya, “Emang relatif tinggi ya,”
Suster memeriksa alat saturasi yang sebelumnya ia pasang di telunjuk Oma, “Wah, nadinya rendah ya, 40-45. Saturasinya bagus, 99.”
“Silahkan tunggu di ruang tunggu dulu ya, nanti namanya dipanggil.” Ujar suster itu sembari tersenyum. Al mendorong kursi roda Oma ke arah ruang tunggu, dilihatnya Mawa yang sibuk berjalan kesana kemari mengurus berbagai hal yang Al tidak mengerti, sebentar ia ke meja administrasi, sebentar lagi ia terlihat mendatangi suster dan berbicara padanya.
“Ibu Musaida.”
“Eh udah dipanggil tuh, Uni, Kak Irad, mau ikut masuk nggak?” Ucap Marum.
“Gua ikut.” Sahut Mamirna. Aliyah duduk di kursi ruang tunggu bersama Pakdhe Irad, Om Bima, Alika, Fatma, dan Nayla. Mengantarkan Oma konsultasi ke rumah sakit, tampaknya mereka membawa rombongan yang cukup banyak hari ini.
Dokter masih belum menemukan pasti tentang penyakit Oma, malahan kecurigaan itu beralih kepada sebuah kemungkinan akan batu empedu yang mungkin bertambah, tidak aneh dikarenakan Oma yang memang pernah sampai harus dioperasi dikarenakan batu empedu ini. Dokter menyarankan akan dilakukannya endoscopy, namun untuk dapat melakukan hal itu, Oma harus berkonsultasi dengan dokter jantung dan dokter anestesi terlebih dahulu, untuk memastikan keamanannya.
Hari-hari selanjutnya, tampaknya rasa mual Oma tidak kunjung pergi juga, obat-obatan yang diminum pun hanya menguranginya sesaat. Obat-obatan itu semakin bertambah setiap mereka datang untuk kontrol kondisi Oma ke dokter. Tensinya pun masih relatif tinggi, obat yang ternyata menyebabkan nadi Oma rendah pun telah dihentikan oleh dokter.
Hari itu, suara telepon Oma berdering beberapa kali, Oma melihat telepon itu sekilas, dilihatnya nama teman arisannya, ‘Yen’ yang sudah meneleponinya sedari tadi. Akhirnya ia mengangkatnya, Al memegangi handphone Oma, menekan tombol loud speaker.