Dear Oma

Lyra
Chapter #11

Chapter 11 : Please Stay Here, Oma

  “Marum, Oma gimana??” Al bergegas menghampiri Marum di depan UGD, melihat wajah lelah dan matanya yang gelap, sudah dapat dipastikan bahwa sepanjang malam, ia tidak tidur sama sekali.

 “Masih diare, Oma nggak mau makan, mual katanya, kamu masuk gih liat Oma.”

 Al bergegas memasuki Unit Gawat Darurat itu, dicarinya sosok Omanya, akhirnya, tidak lama, ia menemukan Mawa yang sedang memanggil seorang perawat, Al segera menghampirinya, berharap hanya kabar baik yang akan ia dengar.

 “Mawa, Oma gimana Mawa?” Mawa menoleh ke arahnya, ia membuka pintu, mereka memasuki sebuah ruangan isolasi kecil yang ada di UGD rumah sakit. Di tengoknya Oma yang sedang tertidur pulas di ranjang pasien, ia menoleh ke arah Mawa, membisikkan pertanyaan-pertanyaannya mengenai keadaan Oma.

 “Oma semaleman mencretnya nggak berhenti, ini baru bisa tidur abis di infus, disini kurang bagus pelayanannya, kamu tau sendiri kan Oma keras, Oma nggak mau pake pispot, gamau juga pake pampers, maunya ke kamar mandi, tapi nggak dibolehin.”

“Akhirnya Oma B.A.B di tempat sampah yang gede itu, dipegangin rame-rame.”

 

 Al menatap Oma tidak tega, seandainya ia bisa membantu tadi malam.

 “Baru sekarang Oma bisa tidur. Abis di infus, katanya baru enakan perutnya.”

Al mengangguk, “Mawa, istirahatlah Mawa, biar aku yang nemenin disini, nanti kalo ada dokter aku telepon Mawa.”

Mawa menggeleng, “Enggak nak, mana bisa Mawa istirahat ngeliat Oma begini? Mawa disini aja, mungkin nanti kita gantian pas makan aja ya.”

 Al mengangguk, “Harus dirawat kan ya Mawa?”

“Iya, ini masih nunggu kamar, kita maunya yang VIP, biar Oma nyaman, biar enak juga kalo dijenguk, kasian Oma, pasti maunya bisa ketemu sama anak cucunya kan.”

 Al terdiam, “Mawa, kalo aku ikut nemenin Oma bisa nggak ya Mawa?”

 “Belom tau nak, tapi nanti Mawa coba tanyain dulu ya, siapa tau bisa.”

 Al mengangguk, Mawa beranjak keluar, bergantian dengan Papa Fadli yang masuk. Anak-anak Oma selalu siaga bila sudah mengenai ibu tercinta mereka, mereka menunggu semalaman di UGD, tidak ada yang mau beranjak dan meninggalkannya. Bahkan pula Granny, tetap berada disitu hingga pagi, menunggu kakaknya di UGD.

 Al memandang ayahnya yang juga hadir, sepertinya sakitnya Oma menghentikannya untuk mempertahankan konflik apapun dengan Mawa dan Marum, ia duduk santai, dan bahkan berbincang santai dengan mereka.

 Oma mendapatkan kamar vip, sebuah kamar yang cukup luas, mungkin kamar rumah sakit terluas yang pernah Al datangi. Diare Oma sudah cukup membaik dibandingkan sebelumnya. Abi membawakan sebuah kloset beroda, agar Oma dapat buang air dengan mudah tanpa perlu berjalan ke kamar mandi sepanjang waktu. Anak-anak perempuannya bergantian membantu untuk menceboki ibu mereka, mengganti plastik pembuangan tanpa berat hati sedikit pun. Sementara itu, Al akhirnya mendapat izin dari satpam penjaga setempat untuk ikut menginap malam itu, mereka berhasil membuat sebuah persetujuan setelah perbincangan lama dengan kepala suster sekaligus satpamnya. Marum terpaksa harus pulang malam itu, dikarenakannya tidak bisa meninggalkan Nayla sendirian, suaminya bekerja shift malam. Malam itu, hanya ada Oma, Mawa, dan Aliyah.

 "Ma, kita shalat isya' dulu yuk Ma."

 "Iyo, sabanta yo, Mama mangantuak bana iko, beko yo." 

Mawa mengamati ruai wajah ibunya, matanya sebentar-sebentar terpejam, sebentar kemudian terbuka sedikit. Mawa tidak tega membangunkannya lagi, membiarkan ibunya untuk beristirahat sejenak.

.

 "Bu, udah boleh pulang ya, nanti kita rawat jalan aja ya.” Ujar Dokter Jim.

 “Loh Dokter? Kan HB-nya masih 8, kok udah boleh pulang?”

 Sedikit perdebatan terjadi antara Mamirna dengan dokter tersebut, yang tampaknya kemudian, Mamirna merasa akan kurang baiknya pelayanan rumah sakit tersebut, begitu pula dengan dokternya.

 Tidak lama, seorang suster memasuki kamar dengan kertas-kertas yang didekapnya, ia menghampiri Mamirna, “Bu, ini tolong diisi mengenai biaya ya bu, totalnya ada disini, 21 juta 250 ribu rupiah.”

 Mamirna menghela napas, “Iya tunggu sebentar ya suster, nanti saya urus.”

 “Pake BPJS nggak bisa Ni?” Sahut Papa Fadli.

 Mamirna menggeleng singkat, ia menoleh ke arah Oma, dilihatnya dokter dan suster yang sudah keluar dari kamar, “Udah Ma, nggak usah dipikirin ya Ma, kita ganti rumah sakit aja ya Ma, ini rumah sakitnya nggak bagus, pelayanannya jelek, dokternya juga ngaco. Kita pulang aja sekarang ya Ma, kita cari rumah sakit lain.”

 Oma mengalihkan wajahnya, matanya mengecil, ujung bibirnya naik sebelah, “Ya udah, Mama mau pulang aja sekarang, nggak usah dirawat lagi Mama, Mama mau pulang aja.”

 Oma terdiam, kata-kata apapun kemudian tidak terdengar dari mulutnya, Al mungkin mengerti apa yang direnungi neneknya itu, ia tahu, bagaimana neneknya selalu berusaha untuk tidak merepotkan siapapun, Al hanya khawatir bila nanti lekas ini, Oma tidak mau mengeluhkan apapun, dan hanya membendung rasa sakitnya sendirian. Sesaat ia berpikir, mungkin, akankah lebih baik jika persoalan biaya tidak disebutkan di depan Oma? Apapun itu.

Keluar dari rumah sakit itu, Mamirna, Pakdhe Irad, Mawa dan Marum sibuk mencarikan dokter dan rumah sakit yang terpercaya. Akhirnya setelah berbagai diskusi dan pencarian, mereka beralih ke sebuah rumah sakit yang cukup besar, dokter-dokter disana lulusan terbaik, dan lebih terpercaya dari pada sebelumnya.


 Al bisa dibilang menetap di rumah Oma, ia jarang menapakkan kaki keluar rumah untuk pulang, ia tidak sampai hati meninggalkan Oma dalam keadaan seperti ini, mual dan muntahnya masih kerap terjadi, ia mogok makan, berbagai makanan mereka usahakan untuk disuap ke mulut Oma, namun tampaknya selalu berhenti di depan bibir. Oma akan melengos, mencium aromanya saja ia sudah ingin meluah, butuh perjuangan yang cukup besar agar Oma bisa makan dan menghabiskan sepertiga porsi nasi dan lauk. Semakin hari, ia semakin tirus, inti penyebab penyakitnya itu masih belum pula diketahui dengan pasti.

 Pasangan suami istri dokter yang tinggal tepat di depan rumah kerap berkunjung untuk melihat kondisi Oma, Tante Sharon dan Pak Rafdi, memang sudah sejak dulu, Oma, Mawa dan Marum berhubungan baik dengan keduanya. Mereka kerap menanyakan keadaan Oma setiap saat.


 Mereka memenuhi janji dengan dua dokter hari itu, internist, dan dokter jantung. Al menunggu di ruang tunggu, duduk di samping Omanya, nama ‘Musaida’ tidak lama terdengar, dilihatnya Mawa yang sedang berbicara dengan suster agak jauh disana, Mawa menoleh ke arahnya, memberi isyarat untuk segera datang dan diperiksa tekanan darah dan nadi.

 “Marum, kayaknya kita dipanggil deh,”

 Marum menoleh, “Yuk Al. Uni, Kak Irad, kita kesana dulu ya.”

 Al memegang erat kursi roda Oma, berjalan bersama Marum, mendatangi suster yang mempersilahkan mereka masuk.

“Tensinya lumayan tinggi nih, 160/78, sering diperiksa nggak kalo di rumah?”

“Sering sus, kita punya alatnya sendiri, ini cucunya, dia yang catat biasanya, tangan saya lagi sakit soalnya, nggak kuat nulis.” Ucap Mawa.

 Al menyerahkan catatan tensi dan nadi Oma yang biasa diperiksa setiap hari, suster itu mengamatinya, “Emang relatif tinggi ya,”

 Suster memeriksa alat saturasi yang sebelumnya ia pasang di telunjuk Oma, “Wah, nadinya rendah ya, 40-45. Saturasinya bagus, 99.”

 “Silahkan tunggu di ruang tunggu dulu ya, nanti namanya dipanggil.” Ujar suster itu sembari tersenyum. Al mendorong kursi roda Oma ke arah ruang tunggu, dilihatnya Mawa yang sibuk berjalan kesana kemari mengurus berbagai hal yang Al tidak mengerti, sebentar ia ke meja administrasi, sebentar lagi ia terlihat mendatangi suster dan berbicara padanya.

 “Ibu Musaida.”

 “Eh udah dipanggil tuh, Uni, Kak Irad, mau ikut masuk nggak?” Ucap Marum.

 “Gua ikut.” Sahut Mamirna. Aliyah duduk di kursi ruang tunggu bersama Pakdhe Irad, Om Bima, Alika, Fatma, dan Nayla. Mengantarkan Oma konsultasi ke rumah sakit, tampaknya mereka membawa rombongan yang cukup banyak hari ini.

 Dokter masih belum menemukan pasti tentang penyakit Oma, malahan kecurigaan itu beralih kepada sebuah kemungkinan akan batu empedu yang mungkin bertambah, tidak aneh dikarenakan Oma yang memang pernah sampai harus dioperasi dikarenakan batu empedu ini. Dokter menyarankan akan dilakukannya endoscopy, namun untuk dapat melakukan hal itu, Oma harus berkonsultasi dengan dokter jantung dan dokter anestesi terlebih dahulu, untuk memastikan keamanannya.

 Hari-hari selanjutnya, tampaknya rasa mual Oma tidak kunjung pergi juga, obat-obatan yang diminum pun hanya menguranginya sesaat. Obat-obatan itu semakin bertambah setiap mereka datang untuk kontrol kondisi Oma ke dokter. Tensinya pun masih relatif tinggi, obat yang ternyata menyebabkan nadi Oma rendah pun telah dihentikan oleh dokter.

 Hari itu, suara telepon Oma berdering beberapa kali, Oma melihat telepon itu sekilas, dilihatnya nama teman arisannya, ‘Yen’ yang sudah meneleponinya sedari tadi. Akhirnya ia mengangkatnya, Al memegangi handphone Oma, menekan tombol loud speaker.

 “Ni Aida, ba’a kaba? Alah cegak? Den taragak jo Uni, Uni kan kapalo bendahara, paniangnyo kapalo Yen mauruih urusan arisan, bilo Uni datang kamari?”

 Kata-kata itu membuat Mawa dan Marum geram mendengarnya, lupakah ia akan sahabatnya yang masih sakit parah?

 Oma terdiam sejenak, “Onde lah Yen, alun cegak pulo badan iko Yen.”

 “Ayolah Uni, datangla kamari, kawan sadonyo lah taragak jo uni, alah lamo indak bakumpua basamo.”

 Oma akhirnya menyutujui ajakan Yen itu, tampaknya ia tidak enak hati untuk menolaknya. Walaupun sudah dicegah oleh anak-anaknya, Oma bersikukuh untuk pergi ke arisan. Al mencemaskan kondisi tubuh Oma yang sama sekali belum bisa dibilang sehat, ia bahkan masih belum mau makan, belum lagi covid-19 yang masih merajalela.

 Namun, hari itu tetap tiba juga, Oma bersolek di depan cermin, namun wajahnya ruai, ia memakai riasan seadanya, baju berwarna oranye, lengkap dengan selendang hangatnya, Al memegang erat tangan neneknya itu, mendampinginya berjalan ke mobil. Mereka sampai di sebuah hotel di Jakarta, masuk ke sebuah ruang konferensi yang sudah di atur untuk para tamu arisan tersebut. Oma melangkah perlahan menuruni sebuah tangga pendek, dipegangi oleh kedua anaknya dan cucu-cucunya di samping dan di belakang. Mawa menatap geram ke arah Yen, menahan kata-kata yang tampaknya dapat meluap kapan saja.

 Aliyah mengeluarkan botol minum berisi nasi bubur yang sudah dibuat tadi pagi, di taruhnya di sisi Omanya. Sementara itu, Marum menitipkan pesan pada Yen dan cucunya yang tampaknya juga hadir, karena jumlah orang yang datang sudah penuh, mereka terpaksa harus menunggu di tempat lain.

 “Ma, maskernya jangan dilepas ya Ma.”

 “Ini hand sanitizernya harus dipake kalo Mama megang duit atau apapun ya Ma”

 “Mama duduk disini aja ya Ma, jangan kemana-mana, Mama kan lagi SAKIT.” Ucap Mawa melirik ke arah Yen.

 Mereka berpamitan pergi, sembari menunggu, mereka beranjak makan di sebuah restoran yang cukup ramai dan luas. Mereka tidak berlama-lama disitu, mereka lekas kembali ke hotel untuk menjemput Oma. Mereka duduk di kursi-kursi sembari menunggu di sepanjang arisan. Tidak lama kemudian, terdengar nama Oma dipanggil ke panggung, menanyakan bila ia ingin bernyanyi, Yang benar saja? Pikir Al. Namun, tampaknya penyakitnya tidak menghalanginya untuk berjalan ke panggung dan bernyanyi disana, diajaknya Mawa dan Marum untuk mendampinginya, sementara Aliyah memegang handphone Mawa untuk merekam vidio.

 Oma menyanyikan lagu kebangsaannya, ‘Situmorang’, memang ada sedikit perubahan di suaranya yang agak lirih dan lesu, tentulah karena ia yang masih lemas dan pilu, walau begitu, suara tepuk tangan riuh mengarah di depan panggung, beberapa ibu-ibu arisan pun tampaknya merjoget ria mengikuti irama. Al merekam momen ini dengan seksama, entah kapan lagi ia dapat melihat Omanya bernyanyi.

.

 Suara batuk Oma terdengar terus menerus sejak tadi malam, Mawa menyentuh dahi ibunya, “Alika, coba tolong ambilin termometer dong.”

 Mawa berusaha untuk tidak panik, nadi Oma cukup naik sejak ia mulai batuk, sementara saturasinya menurun terus, angkanya mulai konsisten di 95-94, ia memanggil Marum, memintanya untuk segera menelepon kakak-kakak mereka, mengabarkan akan situasi Oma.

 Semakin lama, suara napas Oma semakin tersengal-sengal, dahaknya memenuhi paru-parunya, saturasinya bahkan turun hingga 90, Mawa berjalan keluar terburu-buru mengetuk pintu rumah Tante Sharon, mengabarkan akan kondisi Oma, ia bertanya apa yang sebaiknya mereka lakukan sekarang. Tante Sharon segera menyarankan Oma untuk di swab, memeriksa sekiranya, apa yang mereka takutkan memang betul terjadi.

 Mobil melaju dengan cepat, Mawa dan Marum berusaha untuk tidak memperlihatkan kepanikan mereka di hadapan Oma, mereka hanya mengatakan kalau ini hanya untuk sekedar berjaga-jaga saja. Hasil swab pun keluar 30 menit kemudian, hasilnya positif, Oma terjangkit virus covid-19.

 Al mendengar suara-suara Mawa, Marum, dan Mamirna yang sedang sibuk mendiskusikan langkah mereka selanjutnya di luar. Kalang kabut dan kerisauan memenuhi benak mereka sekeluarga. Kondisi Oma yang memang awalnya sudah lemah, semakin menyurut. Mereka setuju untuk tidak memberitahukan Oma mengenai dirinya yang telah terjangkit virus mematikan tersebut. Khawatir bila hal itu akan membuatnya cemas dan berpengaruh buruk pada tubuhnya.

 Oma hanya terdiam, duduk di atas kasur, ia tahu betul, memang ada yang salah di dalam tubuhnya, dahak yang menyiksa pernapasannya, badannya yang kian melemah, demamnya yang belum pergi juga, apalagi mendengar kalang kabutnya mereka yang ada diluar kamar. Aliyah, Mawa, dan Marum adalah tiga orang yang tidak takut lagi bila mereka terjangkit, Al hanya ingin dapat membantu dan berada di samping neneknya. Ia tidak mau ketinggalan apapun soal Oma. Al menetap di kamar bersama Oma, berusaha menutupi suara-suara yang ada di luar, entah ia membesarakan suara murrotal, ataupun membuka pintu kamar mandi.

Lihat selengkapnya