Dear Oma

Lyra
Chapter #12

Chapter 12 : Layaknya Ombak Yang Menghantam

 Malam panjang dan kalut, mendengar hasil dari pemeriksaan Oma, serangan jantung yang tidak disangka-sangka kedatangannya. Pagi itu, pulang dengan penuh kelusuh-kelesah, Al menaruh nasi kedalam blender, tangannya yang gemetar berusaha menekan tombol blender itu, "Tenang Al, tenang," Ucapnya pada diri sendiri. Putih telur itu tampaknya tidak bisa ia cengkeram, pikirannya tidak dapat lurus, didengarnya suara-suara Mawa dan Marum yang panik sembari mengabarkan akan keadaan Oma pada Tante Sharon yang telah pulang. Kepanikan melanda di rumah itu, terburu-buru mengambil barang apa saja yang dapat dibawa, agar bisa cepat kembali ke sisi ibu dan nenek mereka.

Oma, Oma... Sudah yang kedua kalinya, akan bertahan kah engkau kali ini Oma? Tubuhmu yang sudah terlalu tua mungkin tidak mampu lagi untuk menjalani operasi…

 

Mobil melaju dengan cepatnya, Al melirik ke arah rumah gelap itu, dilihatnya motor yang tidak ada, menunjukkan ayahnya yang belum pulang dari masjid. Ia tidak tahu reaksi apa yang ayahnya akan tunjukkan apabila mendengar akan serangan jantung Oma, akankah ia setidaknya datang ke rumah sakit? Masih kah egonya bertahan tinggi apalagi sejak tadi malam? Al tidak tahu pastinya.

Sepanjang hari itu, Oma menghabiskan waktu di UGD, mereka semua menetap di rumah sakit, menunggu akan kabar dan keputusan dokter selanjutnya.

Malamnya, Al duduk di kursi roda Oma, merasa duduk di situ jauh lebih nyaman daripada duduk di kursi cetek rumah sakit. Oma tertidur di ranjang pasien, ia sudah menetap di ruang isolasi UGD sejak kemarin malam, menunggu akan kepindahannya ke rumah sakit jantung yang masih pula dicari kamarnya. Menatap neneknya yang tertidur pulas, ia menghela napas, Oma belum tidur sejak kemarin malam, saturasi dan nadi masih terus di pantau dengan seksama oleh dokter dan suster yang kerap datang. Masalah baru datang lagi kali ini, kali ini eksternal, badan Oma dipenuhi gatal-gatal yang tak tertahankan, ia sudah tidak ada tenaga maupun kekuatan untuk menggaruknya, gatal yang pun tidak diketahui datangnya karena apa.

 Pintu terbuka dengan pelan, Al memandang lekat laki-laki berbadan tegap itu, “Bi,” sapanya pelan.

 Abi tidak mengucapkan satu patah kata pun pada Al, matanya terkunci ke arah ibunya yang tertidur pulas, tanpa bersuara, ia memandang ibunya lekat, Al melihat Ummi yang muncul di belakang Abi, “Udah makan Al? Nih, vitamin buat kamu ya, biar nggak gampang sakit.”

 Al mengambil kantung plastik berisi obat-obatan dan vitamin tersebut, “Makasih Mi..” Al beranjak keluar, penjagaan UGD ketat, mereka tidak dapat bertiga sekaligus disini.

 Al melangkah ke ruang tunggu UGD, ia berjalan pelan, diingatnya akan pesan panjang yang ia kirim pada ayahnya sebelumnya. Sebuah pesan yang berisi kata-kata panjang lebar yang ia ingin sampaikan sejak lama pada ayahnya.

 Bi, Abi tau kan? bahkan Umar Bin Khattab yang berwatak keras, selalu melembut hatinya setiap beliau sadar akan kesalahannya. Abi tau kan kisahnya? Umar radhiyallahu anhu, yang masuk ke rumah satu laki-laki tua, setelah ia mengintip ke dalam, dilihatnya laki-laki itu yang sedang di tengah melakukan suatu kesalahan. Umar bergegas masuk untuk melabraknya. Namun, teguran laki-laki itu pada diri Umar mengenai kesalahan Umar karena masuk rumah tanpa ijin, menyadarkannya seketika itu juga, ia meminta maaf, memohon ampun kepada Allah dengan segera. Malu akan perbuatannya. Tidak dipikirkannya sama sekali untuk menyalahkan laki-laki yang pun jelas-jelas melakukan kesalahan. Bahkan orang yang bersalah tidak berani ia salahkan dikarenakan ia sadar akan kesalahannya terlebih dahulu. Abi ngerti kan maksud aku Bi?

 Oma lagi sakit Bi, udah kena serangan stroke, sekarang serangan jantung yang kedua, tidak bisakah Abi hadir? Bahkan cuma untuk hadir aja nggak loh Bi.

 Jangan salahin Mawa Marum terus Bi, mereka nggak bersalah sama sekali, aku sama adek-adek nggak pernah diajarin yang jelek loh Bi. Dan Oma memang betul-betul sakit, siapa yang nggak takut sih Bi? Kebanyakan tuduhan Abi salah Bi, kenapa Abi nggak mau percaya?

 Udah ya Bi, udahlah Bi marah-marahnya, jujur aku lelah denger Abi berantem terus, dari aku kecil.

 Maafin aku ya Bi, kalo kata-kata aku kurang ajar, aku hanya ingin mengingatkan Abi saja.

 Al menelan ludah, Habislah aku. Ia menyeringai pelan, setidaknya beberapa kata yang ia ingin sampaikan sudah tersampai pada ayahnya.

 Akhirnya ruang tunggu terlihat juga, Al melihat empat sosok yang familiar di matanya. Ia jumpai adik-adiknya satu persatu. Al segera dihantam pertanyaan seketika oleh Alika dan Fatma, wajah-wajah khawatir mereka tampak jelas, mereka pun berharap agar bisa menetap bersama Oma, namun kesempatan mereka sempit.

 “Oma gimana Kak?”

 “Oma tadi kenapa Kak? Kok bisa kena serangan jantung?”

 “Oma gimana jadinya Kak?”

 “Kita bisa nengok Oma nggak?”

 “Kak Al, Musa pengen liat Oma,”

 Al menjawab pertanyaan mereka satu persatu, akan berbagai kejadian yang terjadi hari itu, dan langkah mereka selanjutnya. Al mengantarkan mereka untuk masuk ke dalam ruangan satu persatu. Bergantian dengan satu sama lain.

 Setelah cukup lama, waktu pun menunjukkan tengah malam, Abi, Ummi, dan adik-adiknya hendak beranjak pulang, Al lagi-lagi meminta ijin untuk menetap disini dan berada di sisi Oma, ia tidak mengatakan apapun kecuali itu pada ayahnya, dilihatnya Alika dan Fatma yang pun ingin menetap, namun kondisi dan jumlah orang yang terbatas untuk masuk tidak memungkinkan bagi mereka, belum lagi batasan umur.

 Pukul satu dini hari, Oma akhirnya pindah rumah sakit, sebuah rumah sakit jantung yang tidak jauh dari rumah Papa Fadli, setelah kian lama ia menunggu di UGD dengan resahnya. Mamirna, Mawa, Marum, dan Papa Fadli telah berbincang lama dengan dokter jaga, memberitahu akan segala hal yang telah Oma lalui, dan terutama serangan jantung yang kedua kalinya ini. Oma pun akhirnya dapat masuk ke kamar rawat inap. Malam yang berujung pagi hari itu sungguh sangat melelahkan bagi mereka semua, akhirnya setelah perdebatan lama, mereka beranjak pulang untuk mengganti baju dan istirahat sejenak, dan Oma yang sudah tertidur pulas ditemani oleh Mbak Ina. Pagi dini hari, seusai shalat shubuh, mereka kembali lagi ke rumah sakit.

 Oma tidak lama berada di rumah sakit tersebut, hanya satu malam ia menginap, esoknya ia meminta untuk pulang, rasa tidak nyaman sudah memenuhi sekujur tubuhnya, ia tidak ingin berada di rumah sakit lagi, ia hanya meminta pulang dengan isyarat kepala dan patahan kata-kata yang ia ungkapkan.

“Nggak! Pulang!” Oma menggelengkan kepala, ia menatap sekelilingnya, kali ini lidahnya sudah benar-benar sulit untuk berkata. Akhirnya, setelah mendapat ijin rujuk dari dokter jantung, mereka beranjak pulang.

 Sepanjang perjalanan, Oma tidak mengucapkan satu patah kata pun, ia hanya mengangguk dan menggeleng perlahan, bahkan terkadang ia tidak menyahut sama sekali ketika di panggil namanya. Turun dari mobil, butuh beberapa orang untuk menggopoh dan mengangkat tubuh Oma yang lemas, mereka membaringkan Oma di kasur, menumpukkan bantal guling yang banyak untuk membuatnya nyaman.

 Mereka sempat mendapat kesulitan dalam memberi makanan Oma lewat sonde, bubur nasi yang diresepkan oleh ahli gizi terlalu kental. Seringkali mereka beramai-ramai dan saling membantu untuk menggunakan suntik sonde. Jadwal pemberian makanan dan obat di pasang papan dengan jadwal setiap harinya, mereka berbagi-bagi tugas dalam hal ini, Mbak Ina akan membuatkan makanan, lalu obat akan dipilihkan oleh Mawa, kemudian di hancurkan oleh Aliyah.

 Hari itu, sebuah ranjang pasien akhirnya tiba, beberapa orang menurunkan ranjang tersebut dari truk yang membawanya, Mamirna akhirnya dapat meminjam ranjang tersebut dari kakak iparnya, memudahkan Oma untuk lebih nyaman dalam pemberian obat, makan, dan lain-lain.

 Mereka beramai-ramai memindahkan ranjang pasien ke kamar Oma, kemudian mengeluarkan kasur besar berukuran queen size itu dari kamar Oma. Kini, kamar Oma telah benar-benar berubah seperti layaknya sebuah kamar pasien. Laci yang penuh dengan obat-obatan terletak di samping pintu, ranjang pasien di sebelah pojok kanan kamar, diletakkan di tengah-tengah jendela besar, meja kabinet yang kini telah berganti dari buku-buku catatan Oma, menjadi kapas, tissu, sabun, salep, obat, dan peralatan Oma yang lainnya. Dua tabung oksigen besar diletakkan di sisi kasur, untuk berjaga-jaga setiap saatnya, alat-alat tensi, saturasi dan nadi, termometer disusun di atas laci yang dulunya penuh dengan perhiasan Oma. Buku-buku catatan yang penuh akan catatan Al akan segala perobatan, jam buang air besar dan kecil, hasil tensi, hasil saturasi, jadwal makan, dan lain-lain. Berubah segala suasananya, kini Oma bukan sakit sementara seperti yang mereka harapkan sebelumnya. Bahkan kesempatannya untuk sembuh tidak bisa ditentukan besar kecilnya sama sekali.

 Hari-hari selanjutnya, beberapa keluarga datang untuk menjenguk kakak, tante, dan nenek mereka. Setelah mereka mendengar kabar tentang Oma dari Granny yang memang sering hadir, mereka segera berdatangan untuk menjenguk Oma, tidak peduli apakah itu hari libur maupun bukan.

 Ini hari yang cukup ramai, benak Al, orang-orang semakin ramai berdatangan. Namun hari itu, keadaan dan sikap Oma membuat resah dan khawatir setiap orang yang ada di sisinya.

“Ma, Mama! Mama denger Kakak Ma?”

“Mama..! Mama! Ini Adek Ma!”

 “Ma, Mama, ini Mirna Ma, Mama denger nggak Ma?”

Lihat selengkapnya