Malam panjang dan kalut, mendengar hasil dari pemeriksaan Oma, serangan jantung yang tidak disangka-sangka kedatangannya. Pagi itu, pulang dengan penuh kelusuh-kelesah, Al menaruh nasi kedalam blender, tangannya yang gemetar berusaha menekan tombol blender itu, "Tenang Al, tenang," Ucapnya pada diri sendiri. Putih telur itu tampaknya tidak bisa ia cengkeram, pikirannya tidak dapat lurus, didengarnya suara-suara Mawa dan Marum yang kalut sembari mengabarkan akan keadaan Oma pada Tante Sharon yang segera menghampiri. Kepanikan melanda di rumah itu, terburu-buru mengambil barang apa saja yang dapat dibawa ke rumah sakit, agar bisa cepat kembali ke sisi ibu dan nenek mereka.
Oma, ini sudah yang kedua kalinya, akan bertahan kah engkau kali ini Oma? Aku mohon, jangan pergi, Oma.
Mobil melaju dengan cepatnya, Al melirik ke arah rumah gelap itu, dilihatnya motor yang tidak ada, menunjukkan ayahnya yang belum pulang dari masjid. Ia tidak tahu reaksi apa yang ayahnya akan tunjukkan apabila mendengar akan serangan jantung Oma, akankah ia setidaknya datang ke rumah sakit? Masih kah egonya bertahan tinggi apalagi sejak tadi malam? Al tidak tahu pastinya.
Langkah kaki terburu-buru Mawa, Marum, dan Aliyah terdengar jelas di lobby rumah sakit yang masih cukup sepi pagi itu. Tangan mereka penuh dengan barang-barang, makanan Oma, keperluan, obat, dan lain-lain. Al duduk di ruang tunggu tepat di luar UGD, memegang barang-barang itu, mata bengkaknya beralih pada Mawa dan Marum yang segera bergegas masuk ke dalam UGD.
Mawa menghampiri suster yang baru saja keluar dari ruang isolasi di UGD, "Sus, dokter jantungnya jam berapa datengnya ya sus?" Suster itu memiringkan kepala, "Mmm, belom tau sih bu, enggak nentu bu, soalnya praktek dulu di rumah sakit lain."
"Oh, ya udah deh, makasih ya sus."
Mawa dan Marum memasuki ruang isolasi UGD, tempat dimana Oma telah berbaring dengan gelisah sepanjang malam. Sosok ibunda tercintanya yang akhirnya dapat tidur pulas, ia terbaring lemas di ranjang pasien, Marum menyembunyikan air matanya, berusaha untuk tidak dilihat oleh ibunya, ia mengalihkan pandangan, menghapus air mata, kemudian menarik napas. Sementara itu Mawa berusaha untuk tetap tegar, wajahnya seolah terlukis rasa khawatir dan takut yang berusaha ia tutup-tutupi seketika di saat ia melihat ibunya yang perlahan membuka mata, menatap sayu ke arah mereka satu persatu.
"Hai Mama,"
"Kakak sama Adek disini, Ma."
Matanya seolah menatap pilu ke arah kedua anak kembarnya tersebut. Suara monitor denyut jantung, kadar oksigen, dan tensi terdengar secara monoton mengisi kesenyapan kala itu. Oma menatap Mawa dan Marum sendu, perlahan, butiran yang terlihat layaknya embun mengalir dari ujung mata ibu mereka. Marum mengangkat tangannya, mengusap wajah ibunya, menghapus air mata itu dengan lembut. sementara Mawa memegang tangan Oma dengan erat.
"Mama, you are alright Ma. Ya? Tenang aja Mama sayang, ada Allah, ada Kakak disini, ada Adek, ada Uni Mirna, Bang Fadli, semua anak-anak Mama ada disini, cucu Mama pun juga ada, ya Ma. Semangat Ma! Mama sembuh! Oke Ma?"
Oma terdiam.
"Mama, diluar ada Nayla Ma, cuman anak kecil belom boleh masuk, dia nungguin Mama, nanyain Omanya terus. Mama, sembuh ya Ma? Semangat ya Ma? Nanti abis ini kita jalan-jalan lagi, ya Ma? Janji ya Ma sama Adek, Adek sayang sekali sama Mama." Marum menunduk, memangkukan kepalanya ke bahu Oma.
"Iyo." Ucap Oma singkat, matanya menatap lekat keduanya, membalas senyuman kedua putrinya itu.
Suara pintu berdenyit, Mamirna masuk sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan ia tidak dicegah untuk masuk seperti sebelumnya, ia berbisik, "Gantian dong, gua nggak bisa masuk kalo rame-rame gini. Ini aja satpamnya lagi nggak ada, makanya bisa masuk."
"Oh, iya Un, Adek keluar deh, sekalian mau siapin makannya Nayla. Ma, Adek keluar dulu ya Ma, nanti Adek balik lagi."
Mata Oma beralih ke arah Marum, ia mengangguk, matanya mengikuti putri bungsunya yang beranjak keluar dari ruangan.
"Hai Mama. Gimana Ma? Sekarang ada yang sakit enggak Ma? Sesek enggak Ma?" Tanya Mamirna, wajahnya terlihat datar, namun suaranya mengandung rasa kegelisahan yang ia berusaha tahan. ia menatap ibunya yang menggeleng dengan pelan. Mamirna menoleh ke arah monitor, memerhatikan angka-angka yang menunjukkan tensi yang relatif tinggi.
"Tensinya masih tinggi ya." Gumamnya pelan. Ia menoleh ke arah Mawa yang masih menatap Oma dengan sendu, "Gimana? Dokter jantungnya udah dateng belom?"
Mawa menggeleng, "Belom ada dari tadi, kata susternya belom tau pasti kapan datengnya."
"Coba lu tanya ke suster lagi deh, gua mau nanyain obat." Mamirna terdiam sesaat, menoleh ke arah Oma yang kini tidak memerhatikan pembicaraan mereka dan sudah memejamkan mata, "Gua juga mau nanyain soal kamar rawat, masih penuh juga enggak ya? Ah, gua tanya sendiri aja deh." Mamirna menghampiri Oma, "Ma, Mirna keluar dulu ya Ma, mau nanya ke suster dulu." Oma menyahut pelan,
"Hmm."
"Oh iya, Ma, Kakak juga mau nanya obat dulu ke suster, Kakak gantian sama Al ya Ma."
Al membuka pintu ruangan isolasi dengan perlahan, ia berjalan menghampiri Omanya, ia menatap wajah Oma dalam-dalam, Oma membuka mata, mengintip ke arah Aliyah.
"Oma," Sapa Aliyah, "Oma gimana keadaannya?"
Oma menganggukkan kepalanya, "-Baik." sesaat kemudian ia terdiam, alisnya mengernyit, "Al, mau pipis," Al mengangkat alis, sedikit ia menyeringai melihat kelakuan neneknya yang kala itu memberi senyuman kecil pada Al, seolah Al tahu perkataan neneknya yang biasa ia ucapkan sebelum stroke ini, "Ba'a iko?" Senyum Oma perlahan menjelma menjadi tawa kecil. Oma, harusnya aku yang bikin Oma tenang, tapi, malah senyum Oma yang bikin aku sedikit tenang.
"Pipislah Oma, Oma pake pampers kokk."
Oma menggeleng, "Bo-cor nanthi-"
Al menunduk melihat ke arah pampers Oma yang tampaknya belum begitu penuh, "Kayaknya, enggak sih, Oma."
"Ya udah." Ucap Oma, sesaat kemudian, ia memberi isyarat dengan kepalanya, "Udah."
"Oke Oma, kita ganti pampers yuk. Aku panggil Mawa sama Marum dulu ya Oma, tenang aja Oma!"
.
Malamnya, Al duduk di kursi roda Oma, merasa duduk di situ jauh lebih nyaman daripada duduk di kursi cetek rumah sakit. Oma tertidur di ranjang pasien, ia sudah menetap di ruang isolasi UGD sejak kemarin malam, menunggu akan kepindahannya ke rumah sakit jantung yang masih pula dicari kamarnya. Menatap neneknya yang tertidur pulas, ia menghela napas, Oma belum tidur banyak sejak kemarin malam, saturasi dan nadi masih terus di pantau dengan seksama oleh dokter dan suster yang kerap datang. Belum lagi masalah baru yang datang lagi kali ini, kali ini eksternal, badan Oma dipenuhi gatal-gatal yang tak tertahankan, ia sudah tidak ada tenaga maupun kekuatan untuk menggaruknya, gatal yang pun tidak diketahui datangnya karena apa.
Kala itu, pintu ruang isolasi terbuka dengan pelan, tertegun sesaat, Al memandang lekat laki-laki berbadan tegap itu, “Bi,” sapanya pelan. Abi tidak mengucapkan satu patah kata pun pada Al, matanya terkunci ke arah ibunya yang tertidur pulas. Tanpa bersuara, ia memandang ibunya lama, Al melihat Ummi yang menyusul masuk, “Udah makan Al? Nih, vitamin buat kamu ya, biar nggak gampang sakit.”
Al mengambil kantung plastik berisi obat-obatan dan vitamin tersebut, “Makasih Mi..” Al beranjak keluar, penjagaan UGD ketat, mereka tidak dapat bertiga sekaligus disini.
Al melangkah ke ruang tunggu UGD yang kala itu cukup tenang, ia berjalan pelan, diingatnya akan pesan panjang yang ia kirim pada ayahnya sebelumnya. Sebuah pesan yang berisi kata-kata panjang lebar yang ia ingin sampaikan sejak lama pada ayahnya.
Bi, Abi tau kan? bahkan Umar Bin Khattab yang berwatak keras, selalu melembut hatinya setiap beliau sadar akan kesalahannya. Abi tau kan kisahnya? Umar radhiyallahu anhu, yang masuk ke rumah satu laki-laki tua, setelah ia mengintip ke dalam, dilihatnya laki-laki itu yang sedang di tengah melakukan suatu kesalahan. Umar bergegas masuk untuk melabraknya. Namun, teguran laki-laki itu pada diri Umar mengenai kesalahan Umar karena masuk rumah tanpa ijin, menyadarkannya seketika itu juga, ia meminta maaf, memohon ampun kepada Allah dengan segera. Malu akan perbuatannya. Tidak dipikirkannya sama sekali untuk menyalahkan laki-laki yang pun jelas-jelas melakukan kesalahan. Bahkan orang yang bersalah tidak berani ia salahkan dikarenakan ia sadar akan kesalahannya terlebih dahulu. Abi ngerti kan maksud aku Bi?
Oma lagi sakit Bi, udah kena serangan stroke, sekarang serangan jantung yang kedua, tidak bisakah Abi hadir? Bahkan cuma untuk hadir aja nggak loh Bi.
Jangan salahin Mawa Marum terus Bi, mereka nggak bersalah sama sekali, aku sama adek-adek nggak pernah diajarin yang jelek loh Bi. Dan Oma memang betul-betul sakit, siapa yang nggak takut sih Bi? Kebanyakan tuduhan Abi salah Bi, kenapa Abi nggak mau percaya?
Udah ya Bi, udahlah Bi marah-marahnya, jujur aku lelah denger Abi berantem terus, dari aku kecil.
Maafin aku ya Bi, kalo kata-kata aku kurang ajar, aku hanya ingin mengingatkan Abi saja.
Al menelan ludah, Habislah aku. Ia menyeringai pelan, setidaknya beberapa kata yang ia ingin sampaikan sudah tersampai pada ayahnya.
Akhirnya ruang tunggu terlihat juga, Al melihat empat sosok yang familiar di matanya. Ia jumpai adik-adiknya satu persatu. Al segera dihantam pertanyaan seketika oleh Alika dan Fatma, wajah-wajah khawatir mereka tampak jelas, mereka pun berharap agar bisa menetap bersama Oma, namun kesempatan mereka sempit.
“Oma gimana Kak?”
“Oma tadi kenapa Kak? Kok bisa kena serangan jantung?”
“Oma gimana jadinya Kak?”
“Kita bisa nengok Oma nggak?”
“Kak Al, Musa pengen liat Oma,”
Al menjawab pertanyaan mereka satu persatu, akan berbagai kejadian yang terjadi hari itu, dan langkah mereka selanjutnya. Al mengantarkan mereka untuk masuk ke dalam ruangan satu persatu. Bergantian dengan satu sama lain.
Setelah cukup lama, waktu pun menunjukkan tengah malam, Abi, Ummi, dan adik-adiknya hendak beranjak pulang, Al lagi-lagi meminta ijin untuk menetap disini dan berada di sisi Oma, ia tidak mengatakan apapun kecuali itu pada ayahnya, dilihatnya Alika dan Fatma yang pun ingin menetap, namun kondisi dan jumlah orang yang terbatas untuk masuk tidak memungkinkan bagi mereka, belum lagi batasan umur.
Pukul satu dini hari, Oma akhirnya pindah rumah sakit, sebuah rumah sakit jantung yang tidak jauh dari rumah Papa Fadli, setelah kian lama ia menunggu di UGD dengan resahnya. Mamirna, Mawa, Marum, dan Papa Fadli telah berbincang lama dengan dokter jaga, memberitahu akan segala hal yang telah Oma lalui, dan terutama serangan jantung yang kedua kalinya ini. Oma pun akhirnya dapat masuk ke kamar rawat inap. Malam yang berujung pagi hari itu sungguh sangat melelahkan bagi mereka semua, akhirnya setelah perdebatan lama, mereka beranjak pulang untuk mengganti baju dan istirahat sejenak, dan Oma yang sudah tertidur pulas ditemani oleh Mbak Ina. Pagi dini hari, seusai shalat shubuh, mereka kembali lagi ke rumah sakit.
Oma tidak lama berada di rumah sakit tersebut, hanya satu malam ia menginap, esoknya ia meminta untuk pulang, rasa tidak nyaman sudah memenuhi sekujur tubuhnya, ia tidak ingin berada di rumah sakit lagi, ia hanya meminta pulang dengan isyarat kepala dan patahan kata-kata yang ia ungkapkan.
“-Nggak! Pulang!”
Gelengan kepala Oma sibuk menganggapi mereka yang berusaha membujuknya, ia menatap orang-orang di sekelilingnya dengan tajam, tubuhnya berkali-kali ia coba untuk angkat dan bangun, namun tidak berhasil, kali ini lidahnya sudah benar-benar sulit untuk berkata-kata apapun. Akhirnya, setelah mendapat ijin rujuk dari dokter jantung, mereka beranjak pulang.
Sepanjang perjalanan, Oma tidak mengucapkan satu patah kata pun, ia hanya mengangguk dan menggeleng perlahan, bahkan terkadang ia tidak menyahut sama sekali ketika di panggil namanya. Turun dari mobil, butuh beberapa orang untuk menggopoh dan mengangkat tubuh Oma yang lemas, mereka membaringkan Oma di kasur, menumpukkan bantal guling yang banyak untuk membuatnya nyaman.
Mereka sempat mendapat kesulitan dalam memberi makanan Oma lewat sonde, bubur nasi yang diresepkan oleh ahli gizi terlalu kental. Seringkali mereka beramai-ramai dan saling membantu untuk menggunakan suntik sonde. Jadwal pemberian makanan dan obat di pasang papan dengan jadwal setiap harinya, mereka berbagi-bagi tugas dalam hal ini, Mbak Ina akan membuatkan makanan, lalu obat akan dipilihkan oleh Mawa, kemudian di hancurkan oleh Aliyah.