Dear Oma

Lyra
Chapter #13

Chapter 13 : Arunika

 Al bergegas membangunkan Marum di kamar sebelah, sembari handphone di tangannya sibuk menelepon Mawa yang berada di lantai atas.

 

 “Marum! Tangan Oma gerak-gerak Marum! Oma tadi ngeliatin aku terus! Jangan-jangan Oma mau ngomong sesuatu!”

 

 Mendengar kata-kata Aliyah, Marum terburu-buru untuk bangun, ia bergegas menuju ke kamar Oma, jalannya tergopoh-gopoh berharap akan momen yang sudah dinantinya untuk tiba saat ini.

 

 “Mama?” Dilihatnya Oma yang terbangun, matanya terkunci ke arah Marum, mengeluarkan suara-suara lirih, tangannya perlahan sekali bergerak, menuju ke atas perutnya, tampak seperti cengkraman, atau mungkin, garukan.

 

 Suara langkah kaki yang cukup ribut terdengar dari luar, tampaknya Mawa pun terburu-buru ke bawah, ingin segera melihat keadaan Oma. “Kenapa Mama?”

 

 Al menceritakan kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu, disahuti oleh Marum yang juga bercerita dengan antusias. Fatma tidak melepaskan pandangannya pada Oma, sesaat ia menyenggol Alika yang sedang tertidur, namun terlalu pulas tidurnya, ia menyimpan niatnya untuk esok pagi.

 

 Hari demi hari, Oma menunjukkan adanya perbaikan dengan cepat, terapis Oma yang datang di setiap hari-hari tertentu pun menyatakan adanya kemajuan pada Oma. Ia sudah mulai menunjukkan responnya dengan lebih baik, mulut dan bagian wajahnya pun perlahan sekali sudah mulai dapat bergerak sedikit demi sedikit. Tangannya dapat digerakkan perlahan, terkadang ia menggaruk, terkadang ia berusaha mengangkatnya.

 

 “Egh, egh-gha-el, gha-el ni-”

 

 “Kenapa Ma? Ada apa Ma?” Mawa menatap wajah ibunya dengan seksama, berusaha menangkap apa yang ingin ia sampaikan.

 

 Oma menggerakkan tangannya perlahan, ia berusaha mencengkeram bagian bawah perutnya, diseretnya tangannya. Tampaknya setelah beberapa lama, Mawa memahami maksud Oma, “Gatel Ma?”

 

 “Hmm-mm.”

 

 “Dimana Ma? Disini?” Mawa mengarahkan tangannya ke dekat tangan Oma, ia menggaruknya perlahan, dilihatnya kerutan dahi Oma dan anggukan kecilnya. Marum membuka pintu kamar, “Mama kenapa Kak?”

 

“Gatel kayaknya nih, udah mulai bisa ngomong Dek!” Mawa menyeringai lebar ke arah Marum.

 Marum mendekati Oma, memperlihatkan senyum lebarnya, “Ma, semangat ya Mama. Mama pasti bisa, ya Mama?” Ia memegan tangan Oma, mengelusnya perlahan. Oma menatap Marum lama, sahutan kecil terdengar darinya.

 

 Alika menanggapi tengokan Oma yang menatapnya lama, “Kenapa Oma? Gatel Oma?” Tanyanya.

 

 “He-eh.”

 

 Alika menggaruk perutnya, kemudian berpindah tempat ke punggung, berusaha melegakan rasa gatal Omanya. Alika akan tetap di sisi Omanya hingga malam harinya, setelah ia belajar di rumah pagi harinya, Ia akan segera datang ke rumah Oma, untuk menemani Oma bersama Mawa dan Marum. Sementara itu kakak dan adiknya akan tidur, bergantian dengannya di malam hari nanti.

 

 .

 

“Al! Aliyah!”

 

 Al menengok seketika, melihat ke arah Omanya,

 

“Oma mau pup nih! Tolonglah! Ayo ke kamar mandi!”

 

 Mata Al terbuka lebar, ia berlari ke luar, memanggil Mawa, Marum, dan Granny yang sedang berkunjung saat itu, “Oma ngomong! Mawa, Marum, Oma bisa ngomong!!” Al kegirangan, harapannya semakin merekah, Oma kini mulai bisa bicara lagi, dengan jelas, bukan hanya isyarat maupun potongan kata.

 “Ayo cepetlah Al!” Alis Oma berkerut memandang Al yang malahan bergerak kesana kemari kebingungan, “Oma, disini aja nggak apa-apa Oma…”

 

 “Ya masa disini?? Mana bisa! Ayolah ke kamar mandi!”

 

 Mawa, Marum, dan Granny berhambur masuk ke dalam kamar, “Mama, disini aja nggak apa-apa Ma. Kan ada pampers Ma.” Ucap Marum, bingung, namun menyeringai lebar.

 

 “Indak bisa dong! Ba’a iko? Alah gilo wa’ang iko.” Ah, sebuah omelan yang sudah sungguh, sungguh, mereka rindukan.

 

 “Disiko se lah Ni Aida! Iko ada pampers ko ha!” Ujar Granny.

 

 “Mama mau ke kamar mandi aja Ma?” Tanya Mawa, namun terlanjur, sudah keluar pula akhirnya.

 

 “Alah talai’, nah, kalua nyo” Oma terkekeh pelan, tawa merekah di wajah-wajah mereka, omelan Oma, setiap kata-katanya, ia sudah kembali, Oma sudah kembali lagi.

 

 Siang itu, Al tidak dapat memejamkan matanya, kegembiraan melanda dirinya, orang yang ia rindukan sudah kembali, Omanya sudah bangun, kebimbangan maupun kecemasan akan berkurang dengan Oma yang sadar kembali. Ia sudah berusaha berbaring di kasur Mawa saat itu, Mawa telah berulang kali menyuruhnya untuk tidur, namun tampaknya mata sekaligus benaknya tidak dapat tertidur juga.

 Ulang tahun Oma akan segera tiba, ulang tahunnya yang ke 78 tahun, Al tidak memiliki cukup waktu untuk membuatkan baju untuk Oma seperti biasa. Kali ini, kado yang ia belikan adalah sebuah daster, sekaligus sebuah gambar portrait kecil sederhana, gambar wajah Omanya.

 

 Hari itu pun tiba juga, Al membawa kertas ucapan dari ia dan adik-adiknya, memperlihatkannya pada Oma, “Bagus sekali nak, makasih ya.” Wajah haru Oma sungguh menyentuh di hati Al, ini lah yang sudah ia rindukan sejak lama. Al mengangguk sembari tersenyum, “Iya Oma, sama-sama.”

 

 Beberapa anggota keluarga datang ke rumah hari itu, merayakan ulang tahun Oma, sekaligus ingin bertemu dengannya setelah mendengar kabar akan kesadarannya yang telah berangsur-angsur kembali. Oma diangkat dan didudukkan di sofa abu-abu tua di ruang tamu, berbincang-bincang dengan Oma Niza, adiknya yang ke dua. Kebahagiaan melanda mereka yang melepas rindu pada Oma, sosok ‘Oma Uwo’ yang telah mereka rindukan sekian lama.

 

 Senyum Al kian merekah memandang Omanya, tampaknya suruhan ia untuk tidur kala itu tidak pula didengar olehnya, ia ingin menatap Oma lebih lama, ia ingin menikmati momen ini lebih lama, melepas kerinduannya.

 

 Anak-anak Papa Fadli pun berdatangan, memeluk Omanya satu persatu, melepas kerinduan mereka. Hari itu sungguh membahagiakan bagi mereka, memang betul Oma belum betul-betul pulih, namun kesadarannya kini sungguh merupakan mukjizat.

 

 Hari-hari selanjutnya, Oma semakin sadar, keadaannya semakin membaik, walaupun kali ini, muncul masalah baru lagi, yaitu kegatalan yang tidak kunjung pula menghilang, entah darimana asalnya, mereka pun tidak tahu. Hal ini sangat mengganggu Oma, terkadang di punggung, terkadang di bagian bawah, terkadang kaki, terkadang perut atau dada. Mereka kerap mencari tahu sebabnya, namun belum ditemukan dengan pasti juga.

 

 Di bulan Maret, Mbak Ina berhenti bekerja, ia memiliki seorang putri yang masih kecil, dan suaminya pun menyuruhnya untuk berhenti bekerja. Setelah mengajarkan suster yang baru tentang makanan Oma dan segala kegiatannya, ia berpamitan dengan mereka semua.

 

 Hampir setiap malam, Abi datang ke rumah, ia tidak mengucapkan satu patah kata pun hingga ia masuk ke dalam kamar, ia menjumpai ibunya, ia akan berbincang hangat dengan Oma jika Oma sedang terbangun, lalu membacakan al-Qur’an di sisi Oma. Abi sudah tidak mempermasalahkan ataupun berdebat tentang apapun semenjak Oma terbangun. Mungkin ia pun lega, melihat keadaan Oma telah membaik, terkadang Al berpikir, barangkali ayahnya hanya sungguh frustasi melihat keadaan ibunya, mungkin ia hanya ingin mempertahankan apa yang menurutnya baik untuk ibunya. Lagipula, ia juga salah satu anaknya Oma.

Membuka pintu, Abi menonjolkan kepalanya, "Assalamu'alaikum!' Serunya, ia menyeringai lebar, memperlihatkan giginya.

"Hmm, Wa'alaikumussalaam!" Jawab Oma.

"Ba'a kaba Ma?"

"Baik, Alhamdulillah!' Seru Oma, senyum Abi merekah melihat wajah serius ibunya.

" Alah Shalat Ma?"

Oma menoleh ke arah Alika, "Alah yo?"

"Udah tadi Oma." Ucap Alika sembari tersenyum.

"Udah keceknyo," Ujar Oma, disambut tawa oleh mereka yang mendengar jawabannya.

Abi tersenyum lama menatap Oma, "Abbar bacakan Al-Qur'an yo."

"Hmm, bacalah." Oma menangguk satu kali dengan savagenya, mempersilahkan Abi untuk segera membacanya di sisi Oma.

 


 “Al, Bapak kamu lagi sakit ya?”

 

 Al mengangguk, “Iya, kok bisa tau sih Mawa?”

Lihat selengkapnya