Al bergegas membangunkan Marum di kamar sebelah, sembari handphone di tangannya sibuk menelepon Mawa yang berada di lantai atas, “Marum! Tangan Oma gerak-gerak Marum! Oma tadi ngeliatin aku terus! Jangan-jangan Oma mau ngomong sesuatu!”
Mendengar kata-kata Aliyah, Marum terburu-buru untuk bangun, ia bergegas menuju ke kamar Oma, jalannya tergopoh-gopoh berharap akan momen yang sudah dinantinya untuk tiba saat ini. “Mama?” Dilihatnya Oma yang terbangun, matanya terkunci ke arah Marum, mengeluarkan suara-suara lirih, tangannya perlahan sekali bergerak, menuju ke atas perutnya, tampak seperti cengkraman, atau mungkin, garukan.
Suara langkah kaki yang cukup ribut terdengar dari luar, tampaknya Mawa pun terburu-buru ke bawah, ia segera melihat keadaan Oma. “Kenapa Mama?”
Al menceritakan kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu, disahuti oleh Marum yang juga bercerita dengan antusias. Fatma tidak melepaskan pandangannya pada Oma, sesaat ia menyenggol Alika yang sedang tertidur, namun terlalu pulas tidurnya, ia menyimpan niatnya untuk esok pagi.
.
Kala itu, awal tahun 2023, atau mungkin bisa dibilang, semuanya dimulai di akhir tahun 2022. Halaman baru lagi, namun kali ini, lebih cerah.
Mungkin, saat itu awal mulanya, pada malam dimana Oma terpaksa harus masuk ke rumah sakit untuk yang kesekian kalinya, HB turun menjadi alasan utamanya. Malam itu, tepatnya pukul jam 1:24 dini hari, dibawah lampu redup di kamar rawat, ia terbangun. Namun tidak seperti biasanya, matanya tampak mengikuti ke arah mana pun Mawa pergi. Kala itu, Mawa duduk di samping Oma, berbicara padanya layaknya Oma yang dulu, walaupun ia tidak merespon apa-apa selain pandangan mata. Al memerhatikan sesuatu yang tampaknya berbeda dari Oma, kali ini, ia tampak seolah berusaha menjawab, namun belum memiliki kemampuan untuk itu.
Terapis yang datang setiap hari-hari tertentu pun mengungkapkan akan perubahan yang ia sadari akan Oma, yaitu respon. Oma yang biasaya tidak merespon kini telah menunjukkan respon sakit, dan marah, entah itu melotot ke arah terapis, maupun mengeluarkan sedikit suara di kala ia merasa sakit ketika menjalani terapi wajah.
Malam itu, ya, lagi-lagi malam itu, setelah kemajuan yang tampaknya muncul perlahan demi perlahan. Tepatnya di awal bulan januari. Oma mengucapkan beberapa patah kata pertamanya setelah sekian lama, ia mulai bisa mengeluhkan akan rasa gatal yang ia alami, dan sakit pada badannya. Sekeluarga pelan-pelan mulai mempersiapkan diri untuk menyambut kesadaran Oma kembali. Kini, perlahan-lahan, mereka dapat menarik napas lega setelah terhimpit rasa takut dan tegang hampir setiap jamnya.
Hari demi hari, Oma menunjukkan adanya perbaikan dengan cepat, ia sudah mulai menunjukkan responnya dengan lebih baik, mulut dan bagian wajahnya pun perlahan sekali sudah mulai dapat bergerak sedikit demi sedikit. Tangannya dapat digerakkan perlahan, terkadang ia menggaruk, terkadang ia berusaha mengangkatnya.
“Egh, egh-gha-el, gha-el ni-”
“Kenapa Ma? Ada apa Ma?” Mawa menatap wajah ibunya dengan seksama, berusaha menangkap apa yang ingin ia sampaikan.
Oma menggerakkan tangannya perlahan, ia berusaha mencengkeram bagian bawah perutnya, diseretnya tangannya. Tampaknya setelah beberapa lama, Mawa memahami maksud Oma, “Gatel Ma?”
“Hmm-mm.”
“Dimana Ma? Disini?” Mawa mengarahkan tangannya ke dekat tangan Oma, ia menggaruknya perlahan, dilihatnya kerutan dahi Oma dan anggukan kecilnya, Mawa membalasnya dengan senyuman lebar. Tidak lama, Marum membuka pintu kamar mendengar suara-suara dari dalam, “Mama kenapa Kak?”
“Gatel kayaknya nih. Mama udah mulai bisa ngomong Dek!” Mawa menyeringai lebar ke arah Marum yang langsung dibalas pula olehnya. Marum berjalan mendekati Oma, sembari memperlihatkan senyum lebarnya, ia mengepalkan tangan, “Ma, semangat ya Mama. Mama pasti bisa, ya Mama?” Ia memegang tangan Oma, mengelusnya perlahan. Oma menatap Marum lama, sahutan kecil terdengar darinya.
.
“Al!”
Al terpaku mendengar suara familiar itu, seolah sesaat, ia berada di sebuah mimpi dan harapan yang ia nantikan sejak lama, terdiam, dalam waktu beberapa detik saja, suara familiar itu memanggil namanya untuk yang kedua kalinya. Seketika ia menoleh, ke arah ranjang pasien yang di atasnya terbaring neneknya yang sedang menatapnya dengan tajam, Oma membuka mulutnya, “Aliyah! Oma mau pup nih! Tolonglah! Ayo ke kamar mandi!”
Menganga, terlalu senang untuk menjawab seruan itu, ia berlari terburu-buru ke luar kamar, memanggil Mawa dan Marum yang kebetulan sekali keduanya ada di ruang tamu, dilihatnya sosok adik Oma yang ternyata juga ada disitu, Al membuka mulut, “Mawa, Marum! Granny-!” Al tersenyum lebar sementara pandangan mata penuh tanda tanya menatap ke arahnya, "Oma- Oma ngomong! Oma bisa ngomong lagi!"
"Hah?! Yang benerr?" Ketiganya menghambur sekaligus ke dalam kamar, disambut oleh kerutan dahi dan pandangan tajam dari Oma, “Ayo cepetlah!” Pandangan Oma berpindah dari Al, ke arah mereka yang tergesa-gesa memasuki kamar, kali ini ia arahkan kata-katanya pada mereka, "Tolonglah Mama! Ey! Mama mau pup!"
"Disini aja Maa, kan Mama pake pampers." Ucap Mawa dengan bingung.
“Ya masa disini?? Mana bisa! Ayolah ke kamar mandi!”
Sesaat mereka tidak tahu bagaimana cara mereka menanggapi Oma yang kini sudah tidak bisa berjalan lagi. Namun rasa bahagia mengalahkan segalanya, mereka hanya menyeringai lebar sembari menanggapi Oma sebisa mereka. "Apa kita coba aja jalan ke kamar mandi? Ah Adek takut Mama jatuh! Disini aja gimana Ma? Kan ada pampers."
“Indak bisa dong! Ba’a iko? Alah gilo wa’ang iko.” Ah, sebuah omelan yang sudah sungguh, sungguh, mereka rindukan.
“Disiko se lah Ni Aida! Iko ada pampers ko ha!” Ujar Granny.
“Mama mau ke kamar mandi aja Ma?” Tanya Mawa, namun terlanjur, sudah keluar pula akhirnya.
“Alah talai’(telat), nah, kalua inyo” Oma terkekeh pelan, tawa merekah di wajah-wajah mereka, omelan Oma, setiap kata-katanya, ia sudah kembali, Oma sudah kembali lagi.
Siang itu, Al tidak dapat memejamkan matanya, ia terlalu bersemangat, dan tentunya bahagia, sosok yang ia rindukan sudah kembali, Omanya sudah bangun, kebimbangan maupun kecemasannya seolah seketika menghilang sesaat dengan Oma yang sadar kembali. Ia sudah berusaha berbaring di kasur Mawa saat itu, Mawa pun telah berulang kali menyuruhnya untuk tidur, namun tampaknya mata sekaligus benaknya tidak dapat tertidur juga.
.
"Mau nulis apa, Kak?"
"Fatma aja deh yang nulis,"
"Binguung ahh."
"Ya elah, masa bingung, tau deh, gambarnya juga sebisanya aja. Tapi Fat, setidaknya bantuin gambarin kek,"
"Enggak bisa ah-"
Fatma menggeleng melihat pelototan tajam kakaknya. Kala itu perdebatan kecil dan senggol menyenggol tampaknya membangunkan Oma yang sebelumnya tertidur pulas. Melongokkan kepala, Oma menatap mereka dengan mata mengantuknya, "Hei." Tegurnya singkat. Melihat wajah Oma dan intonasi nadanya, Al dan Fatma terdiam seketika, mereka menyeringai lebar ke arah Oma, Al beranjak berdiri menghampiri sosok neneknya yang baru saja terbangun dari tidur.
"Selamat ulang tahun, Oma."
Kamar Oma yang berantakan pagi itu menandakan akan hari yang tidak biasa. Spidol-spidol, potongan kertas, gunting, pulpen dan pensil yang tersebar di lantai. Sebuah kertas karton berukuran A4 dengan hiasan gambar bunga dan wajah Oma, kata-kata ucapan dan do'a yang penulisnya pun tidak tahu apakah Oma masih dapat membacanya atau tidak. Ulang tahun Oma, ulang tahun ke-78 Oma jatuh pada hari ini, pagi yang cerah dan cukup dingin, awal januari.
Hari yang bahagia, hari ulang tahun Oma, hari yang ramai, hari yang mengobati rasa rindu, itu yang mereka semua rasakan menyaksikan Oma yang kini duduk di sofa abu-abu itu, bercerita dengan antusias, dibalas oleh senyuman lebar adik pertamanya, Oma Niza. Oma sibuk menanyakan makanan apa yang disajikan untuk para tamu, dibalas oleh beberapa anggota keluarga yang dengan senang hati memberi tahunya akan masakan Marum yang lezat dan sudah mereka santap dan nikmati. Oma tersenyum puas, sekali-sekali ia menatap Marum yang sedang sibuk mondar mandir dari dapur ke ruang makan.
Papa Fadli dan keluarganya segera menghampiri dan memeluk Oma dengan hangat begitu mereka sampai. Tampaknya, kabar akan kesadaran Oma yang perlahan memulih belum terlalu mereka sadari hingga mereka datang dan melihat Oma sendiri. Mamirna dan Pak dhe pun tidak kalah dan sampai di depan pintu. Dan dalam rasa keterkejutan Al, ayahnya datang ke rumah, tersenyum lebar pada Oma, menghampiri Marum yang sedang sibuk mengurusi masakannya, memuji masakan Marum yang ia makan dari nasi dan lauk yang dirameskan oleh Marum sendiri. Suasana siang hingga malam, adalah suasana tawa dan damai. Kini Al sekali lagi mengerti, bahwa kehadiran Oma, adalah penyebab utama mereka semua dapat tertawa bersama kala itu, ia adalah tiangnya, ia inti dan pondasi keluarga, the queen. Oma.
Layaknya arunika, matahari yang terbit setelah malam yang dingin dan kelam. Awal tahun 2023 adalah sebuah hadiah, sebuah mukjizat. Apapun yang mereka hadapi, susah maupun senang, tidak terasa berat lagi bagi mereka. Kini, ada Oma, mereka dapat kembali membangun pondasi perlahan-lahan, walaupun kali ini, mereka tidak dapat bergantung pada Oma sama sekali seperti dahulu.
Di bulan Maret, Mbak Ina berhenti bekerja, ia memiliki seorang putri yang masih kecil, dan suaminya pun menyuruhnya untuk berhenti bekerja. Setelah mengajarkan suster yang baru tentang makanan Oma dan segala kegiatannya, ia berpamitan dengan mereka semua.
Hampir setiap malam, Abi datang ke rumah, ia tidak mengucapkan satu patah kata pun hingga ia masuk ke dalam kamar, ia menjumpai ibunya, ia akan berbincang hangat dengan Oma jika Oma sedang terbangun, lalu membacakan al-Qur’an di sisi Oma. Abi sudah tidak mempermasalahkan ataupun berdebat tentang apapun semenjak Oma terbangun. Mungkin ia pun lega, melihat keadaan Oma telah membaik, terkadang Al berpikir, barangkali ayahnya hanya frustasi melihat keadaan ibunya, mungkin ia hanya ingin mempertahankan apa yang menurutnya baik untuk ibunya. Lagipula, ia juga salah satu anaknya Oma.
Membuka pintu, Abi menonjolkan kepalanya, "Assalamu'alaikum!' Serunya, ia menyeringai lebar, memperlihatkan giginya.
"Hmm, Wa'alaikumussalaam!" Jawab Oma.
"Ba'a kaba Ma?"
"Baik, Alhamdulillah!' Seru Oma, senyum Abi merekah melihat wajah serius ibunya.
"Alah Shalat Ma?"
Oma menoleh ke arah Alika, "Alah yo?"
"Udah tadi Oma." Ucap Alika sembari tersenyum.
"Udah kecek inyo," Ujar Oma, disambut tawa oleh mereka yang mendengar jawabannya.
Abi tersenyum lama sembari menatap Oma, "Abbar bacakan Al-Qur'an yo."
"Hmm, bacalah." Oma menangguk satu kali, mempersilahkan Abi untuk segera membacanya di sisi Oma.
.
“Al, Bapak kamu lagi sakit ya?”
Al mengangguk, “Iya, kok bisa tau sih Mawa?”
“Masa dia ngechat Mawa, gini katanya ; Naj, maafin gua ya, gua banyak salah sama lu.”
Al mengangkat alis, setengah percaya setengah tidak akan perkataan Mawa, “Masa sih Mawaa?" Ucapnya agak sinis,