Membuka mata, Al masuk ke rumah Oma seperti biasa, ia mencium aroma masakan yang harum. Melangkah lebih dekat lagi, ia mendapati Marum yang sedang memasak sambal.
Detik selanjutnya, ia sudah berada di kamar Oma, memerhatikan Oma dan Mawa yang sedang berbincang hangat, duduk di atas kasur queen size Oma dengan seprai khasnya yang berwarna abu-abu. Al tersenyum menatap wajah Oma yang segar.
Oma sekarang sudah ada di dapur, sibuk memerhatikan Marum yang kala itu tengah memasak. Senyuman puasnya tampak melebar setelah ia mencicipi masakan tersebut.
Oma kini ada di ruang tamu, senyum lebarnya kian menghiasi wajah eloknya hampir sepanjang waktu. Ia sibuk menanyakan semua orang, "Udah makan belom? Liat itu Marum, alah masak, lamak masakannya." Oma menatap sekelilingnya, ia melihat Alika dan Fatma yang kala itu sedang mencuci piring, ia puas melihat rumahnya yang bersih. Kini Oma sudah kembali ke kamar, diikuti oleh Marum dan Mawa, tawa dan kehangatan kian lama memenuhi kamar Oma, ia tersenyum puas, rumah bersih, makanan sudah di masak oleh Marum dengan lezatnya, bahkan rasanya sudah hampir menjelmai masakan ibunya yang legendaris.
Tersenyum puas, kali ini, ia menatap Al,
"Terimakasih ya, Al. Sekarang, Oma udah bisa tenang."
"Oma udah tenang sekarang."
.
Al membuka mata, do'a yang biasa ia panjatkan hampir setiap harinya dulu seolah muncul tanpa ia sadari, Ya Allah, sembuhkanlah Oma-
Terperanjat, ia terduduk dengan cepat, pandangan matanya seolah begitu sulit untuk fokus, begitu juga dengan isi pikiran dan benaknya.
Matanya seolah mendadak buram, air itu tidak henti-hentinya mengalir menetes melalui pipinya, kemudian jatuh ke pangkuannya. Ia terdiam lama, menangis tanpa suara di kamar itu. Ya, kamarnya, ia bangun dan membuka mata di kamarnya, Alika, dan Fatma. Al sudah tidak bangun di kamar Oma seperti biasa, perasaan ini sungguh aneh, ia melihat sekeliling kamarnya, ini tidak biasa, sungguh tidak biasa. Selama sepuluh tahun lamanya, ia tidur di kamar Oma setiap malam, namun kini, semuanya telah berakhir, tidak ada lagi sosok itu, Oma sudah tidak ada lagi.
.
Aku berjalan keluar dari rumah, melewati rute harian yang sudah kujalani selama sepuluh tahun terakhir, langkahku berat, sungguh berat, pandanganku jatuh ke arah jalanan kusam dan hancur itu, mataku dipenuhi embun yang sedang kutahan untuk tidak merembes di pagi hari ini. Aku menyibakkan baju kaftan yang kupakai, rasanya seolah baju rapih yang kupakai hari ini tidak ada gunanya sama sekali. Sementara itu, suara merdu yang terdengar dari berbagai masjid-masjid itu masih terngiang di telingaku,
"Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Laa ilaaha illallahu wa llahu akbar, Allahu akbar, walillaahilhamdu."
Lantunan takbir itu adalah suara yang selalu kurindukan sebanyak dua kali tiap tahunnya, ini yang kedua. Namun pantunan itu hanya menarik tali kesedihan yang mendalam di hatiku kini, kenapa? Hari ini seharusnya adalah hari yang bahagia, hari dimana kami berkumpul bersama, menikmati makanan Oma yang sudah ia siapkan sejak pagi-pagi sekali, penuh tawa, namun sekarang, hampa.
Akhirnya, langkah lambanku tiba di depan pintu rumah berwarna putih, sinar cahaya matahari pagi yang kuning cerah menyinari setengah dari pintu putih itu, membuatnya seolah memberi kehangatan sementara, kehangatan yang aku ingat di memoriku. Aku terpaku lama di depan pintu, tangan lemasku akhirnya membuka pintu itu dengan kunci rumah yang sudah ada di tanganku sejak tadi, aku membuka pintu itu perlahan, sangat perlahan.
Aku mengangkat kepalaku, terdiam, pandanganku menyebar ke seluruh sudut rumah gelap dan kosong itu,
"Omaa! Mohon maaf lahir batin ya Omaa."
"Iya sayang, Oma juga."
Namun sekarang tidak ada ucapan apapun yang bisa kukeluarkan, aku menatap kenangan lama bahagia itu dengan kecewa, jadi, semua itu hanyalah mimpi?
"Al, ayo kita bawa makanannya keluar."
"Iya Oma, yang di mangkok kaca ini kan?"
Aku terpaku di depan pintu,
"Aliyah, itu ada teh dingin di kulkas, ambillah!'
"Oke Omaa."
Aku menutup wajahku,
"Oma udah makan?"
"Belom,"
"Makanlah Omaa, nanti Oma sakit peruut."
Aku menyenderkan kepalaku di kursi yang ada di hadapanku,
"Oma, Oma capek ya? Istirahatlah Omaa, biar aku yang beresin."
"Enggak ah, Oma enggak tenang kalo belom beres."
Aku mengangkat kepalaku,
Kulihat beberapa cahaya kuning cerah menyinari beberapa bagian dimana sosok nenekku sering duduk, sofa merah marun kebangsaannya, sofa abu-abu empuk dan nyaman dimana ia biasa duduk di waktu ini setelah ia selesai mandi. Perlahan, aku menutup pintu, kakiku seolah lemas seketika, dan aku pun terjatuh dan terduduk di lantai, kulepas seluruh isak tangisanku, aku tidak menangis tanpa suara, tidak, aku benar-benar melepaskan semuanya di rumah kosong itu tanpa ada siapapun yang mendengar, aku melepaskan suaraku, selama ini, aku tidak mau ada yang mendengar isak tangis konyolku, aku memanggil namamu Oma, aku memanggilmu, namun aku tidak menerima jawaban apapun, hampa, sunyi, gelap.
"Sudah-" Namun, napasku masih terputus oleh isak tangis,
"Sudah Al, cukup, tarik napasmu, bangun, ayo berdiri."
Akhirnya, aku pun berdiri, aku belum bisa menghentikan air yang terus menerus mengalir di pipiku,
"Oma pasti mau rumah rapih kalo lagi Idul Adha kayak gini kan?"
Aku mengambil barang-barang yang berserakan di lantai, menaruhnya di tempat-tempat asalnya, aku menghampiri gorden yang belum diikat, kemudian kuraih tali pengikatnya,
"Al, begini cara ngiket tirai yang bener, rapih ni, ha."
Tanganku gemetar menggengam erat tirai itu, aku menyenderkan kepala yang kutundukkan pada tirai dan tralis jendela yang ada di hadapanku, aku masih mengingat suara itu dengan jelas. Ah, isak tangisku belum bisa berhenti juga, aku berusaha menarik napasku yang sedari tadi mencekik tenggorokan, kian lama aku berada dalam keadaan seperti ini. Sudahlah Al, aku menguatkan diri untuk kembali meneruskan pekerjaanku, aku mengikatnya dengan rapih, sama seperti yang telah Oma ajarkan padaku dulu.