"Habis ini, sudah selesai, iya kan?" Kedua putri kembarnya menatap wajah ibu mereka yang penuh harap, seolah terlukis segala kelelahan di wajahnya. Mereka hanya mengangguk dengan senyum lebar, harapan mereka pun tidak berbeda dengan Oma, namun untuk menjawab, terlalu ambigu bagi mereka semua.
.
Esok harinya, semuanya berjalan dengan lancar, dalam kelegaan mereka, efek samping anastesi yang ditakutkan tidak muncul sedikit pun. Sisanya hanyalah hasil yang akan dikirimkan pada mereka nanti.
"Ayo, Mama mau pulang, alah selesai kan? Mama mau pulang, capek Mama."
Kala itu, mereka masih menunggu jawaban dan ijin untuk pulang dari dokter. Dokter menghela napas sesaat mendengar permintaan itu, "Tunggu dulu ya, kita masih nunggu hasilnya dulu, akan diadakan pemeriksaan lebih lanjut. Sabar dulu ya bu."
"Udah lelah saya, saya mau cepet pulang." Keluh Oma.
"Gimana dok? Ibu saya udah capek. Biasalah dok, yang namanya orang tua, di rumah sendiri pasti lebih nyaman." Tanya Mawa.
"Mungkin sekitar dua sampai tiga hari lagi ya, kita selesaikan dulu pengobatannya."
Dokter itu keluar dari ruangan. Oma merajuk, tidak dapat yang ia inginkan, berkali-kali ia menghela napas, ia sudah lelah berada di rumah sakit itu, hatinya tidak akan dapat tenang hingga ia menapakkan kaki di rumah sendiri.
Namun, tidak ada yang dapat menduga apa yang terjadi hari itu.
Mereka ber-empat sedang berada dalam keadaan yang cukup tenang kala itu, namun seolah terjadi secepat kedipan mata, Oma tampak begitu gelisah, ia menengokkan kepalanya ke arah kanan, melihat ke arah Mawa, kemudian ke arah Marum yang ada di sebelah kiri, tak lama ia mengalihkan pandangannya ke arah Aliyah. Matanya seolah gemetar, diikuti oleh sekujur tubuhnya, monitor nadinya naik drastis, keringat dingin seolah menghambur untuk keluar dari tubuhnya, "Na-najwa! Narumi! Tolong nih! Kok- Kok enggak enak- Dada Mama!"
Mawa dengan gesit menghambur keluar, memanggil suster maupun dokter jaga yang ada saat itu, Marum memegang tangan Oma yang gemetaran dengan erat, "Mama, ikutin napas Adek ya Ma, tarik napas, buang. Tenang Ma, jangan panik," Marum menatap mata Ibunya yang gemetaran, matanya tidak dapat fokus sama sekali. Suster yang segera datang dengan sigap mengambil selang oksigen, ia memasang selang tersebut pada Oma, diikuti oleh beberapa suster lain yang membawa mesin EKG di belakangnya, suster itu menempelkan alat EKG satu persatu di dada Oma, matanya tidak lepas dari pasien yang tengah gelisah tersebut. "Tarik napas ya ibu." Ucapnya. Al hanya dapat menggenggam tangan Oma dengan erat, benaknya seolah dihantui oleh berbagai kemungkinan buruk yang dapat terjadi, ia menghapus segala pikiran tersebut dengan do'a dan harap, Tolong Oma, Ya Allah, kumohon.
Perlahan demi perlahan, Oma mulai berhenti gemetar, napasnya satu demi satu kembali teratur, ia menutup mata sesaat, berusaha untuk menenangkan dirinya. Suster tampak tertegun melihat hasil EKG yang keluar, ia segera mengambil kertas tersebut, "Bu, saya kasih hasilnya ke dokter jantung dulu ya." Suster itu berjalan keluar dengan langkah cepat, diikuti oleh suster lainnya yang menyusul sambil membawa mesin EKG.
Keadaan Oma perlahan membaik, kini ia sudah dapat lebih tenang, bibirnya mengikuti dzikir yang tengah dilafalkan oleh Marum terus menerus sejak tadi. Tak lama, pintu kamar dibuka, seorang suster diikuti oleh dokter yang ada di belakangnya masuk dengan kertas di tangannya, kertas yang dari penglihatan Al adalah seperti kertas hasil EKG tadi.
"Ibu, sepertinya Ibu Aida harus segera di operasi, kita pasangkan ring jantung ya. Karena tadi, Ibu kena serangan jantung."
Terbelalak, Mawa memiringkan kepala, "Apa dok? Serangan jantung??"
"Iya, jadi dari hasil EKG barusan yang saya terima, ibu Aida baru saja mengalami serangan jantung, yang sudah pada tau kan? Bahaya, karena itu Ibu harus dirawat beberapa hari lagi, kita siap-siap operasi untuk pasang ring di jantung."
Marum terpaku, matanya terbelalak mendengar ucapan dokter jantung tersebut, ia mengucapkan istigfar beberapa kali, sementara Al disana tidak jauh berbeda, hal yang ia takutkan terjadi.
Menatap dokter dengan tajam, dahi Oma berkerut, matanya terbuka lebar, mendengar kata-kata itu satu persatu, "Operasi? Udah gila ya? Tidak mau- Pokoknya tidak mau! Saya tidak pernah ada denger apa-apa soal jantung saya bermasalah sebelumnya, TIDAK MAU, jangan coba-coba paksa saya. Sekarang juga, saya mau PULANG! Saya sudah minta dari tadi, sudah tidak mau lagi saya disini! Tidak nyaman saya!"
Bujukan dokter itu sama sekali tidak mau didengarnya, ia sudah meminta sejak tadi untuk pulang dari rumah sakit, ia sudah tidak tahan berada disitu lebih lama lagi, lebih-lebih mendengar kata 'operasi'. Anak-anak yang berusaha membujuknya hanya dikibas oleh Oma, belum lagi telepon dari adiknya yang terkena amukan lantaran usahanya untuk membujuk Oma agar mau dirawat lagi. Tidak dapat berkata-kata, Mawa dan Marum memohon dengan sangat kepada dokter, meminta rujukan untuk pulang. Semua anak-anak Oma tidak dapat berkata apa-apa lagi pada Oma, mereka tidak dapat mengambil keputusan untuk membuat Oma marah, serangan jantung pada Oma yang tiba-tiba sudah cukup bagi mereka, tidak mampu lagi untuk mendapatkan yang kedua.
Mereka akhirnya pun pulang, kala itu, Oma segera mereka antarkan ke kamar, digantinya baju Omanya oleh Al, memeganginya ke kamar mandi, mencuci wajahnya, kemudian ia beranjak ke kasur untuk tidur. Ketiga anak Oma yang lain tiba di depan rumah, satu persatu mereka masuk ke kamar Oma, menatap Oma yang sedang tertidur dengan wajah khawatir. Kali ini, mereka berkumpul di ruang tengah, kelima anak itu berunding akan langkah apa yang harus mereka ambil untuk ibu mereka.
"Kita harus cari dokter jantung yang bagus."
"Kemana? Dan dimana? Yang di rumah sakit kemaren kurang bagus, masa belom apa-apa langsung disuruh operasi."
"Kita ke rumah sakit khusus jantung aja."
"Oh iya, bisa disitu. Coba cari dulu dokternya deh."
"Uni, abang, adek-adek, gua mau ngomong sebentar deh." Keempat anak itu mengalihkan pandangan mereka ke arah Abbar, wajah mereka seolah semakin serius, menunggu perkataan apa lagi yang akan keluar dari mulutnya. "Sebaiknya, Mama jangan terlalu sering dibawa ke rumah sakit."
"Maksud lu?" Tanya Mamirna dengan wajah tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Gini ya, hidup dan mati sudah Allah tentukan, kan kita udah tau Mama enggak suka dibawa-bawa ke rumah sakit. Kita jangan terlalu bergantung deh sama dokter, bergantung itu cuma sama Allah, dokter itu enggak bisa apa-apa. Kita jangan buat Mama stres deh, gua sebagai anak Mama juga, enggak setuju kalo Mama dibawa-bawa ke rumah sakit lagi, udah cukup."
Sesaat hening, wajah-wajah terpana menatap Abbar satu persatu, mereka tidak dapat percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Lu- gila ya?"
"Gini ya Abbar, siapa yang enggak bergantung sama Allah? Ini kan kita lagi ikhtiar."
"Bang, terus kalo enggak dibawa ke dokter, kita biarin Mama gitu aja?"
"Gua enggak ngerti sama pola pikir lu, sama sekali enggak ngerti gua."
Wajah Abbar mengeras seketika, dahinya mengerut, "Kok kalian gitu sih ya? Susah sih emang, kalo enggak percaya sama Allah gini nih."
Amukan maupun perdebatan mencuat di antara mereka berlima, merasa tidak dapat melanjutkan pembicaraan, Abbar melangkah keluar rumah penuh dengan amarah, ia menutup pintu dengan keras, dibalas oleh gelengan kepala dari kakak-kakak dan adik-adiknya.
Mereka sampai di tahap di mana mereka sudah tidak dapat mendiskusikan perkara pengobatan Oma di group chat keluarga lagi, mereka akan menyebabkan pertengkaran lain dan perdebatan demi perdebatan. Tidak punya pilihan lain, mereka membuat group chat baru yang beranggota hanya ke empat anak Oma untuk dapat leluasa membicarakan tentang segala kondisi dan perobatan Oma.
Terpaksa mereka menyembunyikan tentang rencana pengobatan Oma di rumah sakit jantung. Hari itu, mereka pergi dengan perjalanan yang memakan waktu yang tidak sebentar, memenuhi janji dengan dokter jantung yang sudah Mawa daftarkan.
"Gimana dok?"
"Ibu Aida, begini, jantung memang ada pembengkakan, tapi tidak terlalu parah, masih bisa kita obati satu persatu ya. Tapi bu, ibu harus isi badan ibu sama nutrisi, harus makan bu!"
Seisi pembicaraan mereka dengan dokter itu menenangkan hati mereka sedikit, ia memberi semangat lebih pada Oma tanpa berusaha memberi kekhawatiran apapun. Ia memberi semangat untuk Oma agar lekas mau makan, karena hingga saat ini, makanan apapun masih begitu sulit untuk ia cerna.
Keputusan Oma dirawat disana berawal dari HB-nya yang lagi-lagi turun, kali ini, mereka berniat untuk tidak mencari ribut dengan Abi, mereka tancap gas ke rumah sakit tanpa memberi tahu Abi apa-apa.
"Kita terpaksa pake BPJS ya, uang gua udah menipis, kita enggak punya pilihan." Mamirna menghela napas, ia mengintip melalui jendela UGD tempat Oma berada. Layaknya pasien lain yang menggunakan BPJS, masuk kamar perawatan melalui UGD adalah salah satu jalannya, atau mungkin 'jalan termudah' bagi mereka.
Al memasuki ruang UGD yang kecil dan sempit, menghampiri Oma yang gelisah di ranjang pasien dengan ranjangnya yang keras dan kaku. Ia sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas kain yang ada di tangannya, sembari sedotan plastik di tangan kirinya, setelah lama mencari, akhirnya ia meraih botol berukuran sedang itu. Ia menoleh ke arah Mawa yang sedang sibuk berbicara dengan dokter jaga. "Mawa, Oma makan sekarang enggak Mawa? Obatnya kapan di kasihnya?"
Mawa menoleh sesaat, "Sebentar Al, Mawa lagi ngomong sama dokter- Jadi gimana ya baiknya dok? Ini ibu saya belom makan siang, sebenarnya udah lewat jamnya, mengenai pemberian obat sebaiknya apa saja yang harus dikasih ya? Tadi saya udah kasih ke suster daftar obat yang sudah dicatat oleh anak saya- Al! Tadi daftar obatnya udah kamu kasih ke suster?" Al mengangguk, "Udah tadi." Ucapnya singkat, kini tangannya sibuk membereskan botol-botol yang berjatuhan dari tas kain tersebut.
Al mendengar sayup-sayup pembicaraan dokter dan Mawa, jarinya sibuk ia ketuk-ketukan dengan tidak sabar pada botol yang ia pegang, "Al, udah kasih aja makanannya sekarang, kata dokter kasih aja!" Al berburu-buru membuka botol berisi bubur nasi itu, memasukkan sedotan, kemudian menoleh ke arah Oma, ia mendesah, Bakal susah ini. Benaknya, ia menatap Oma yang sudah memberi penolakan akan gelagat Al yang sudah sangat ia kenal.
"Oma makan-"
"Enggak."
Menggigit bibir, Al menyodorkan kembali makanan itu perlahan, "Oma... Udah jam tiga sore loh Oma, harus makan Oma..."
"Tidak AL. Jangan kamu paksa-paksa Oma." Pelototnya dengan galak, Al menyerah, ia berjalan keluar ruang UGD, menghampiri Marum yang sedang menunggu di ruang tunggu yang penuh dan ramai itu dengan laptop di pangkuannya, "Marum." Marum menyahut tanpa menoleh dari layar laptopnya, "Marum, Oma enggak mau makan, sementara ini udah jam tiga, Oma belom makan siang juga." Adunya.
"Oke, sini biar Marum yang bujuk." Tanpa banyak bertele-tele, ia menutup laptop, menitipkannya pada Al, Al duduk di ruang tunggu sempit dan ramai itu, cayaha kuning dari lampu menyinari ruangan yang pengap di bagian itu saja saking ramainya. ia menyenderkan kepala, entah apakah Marum berhasil membujuk Oma atau tidak, ia tidak tahu. Namun kekhawatiran membuncah, jika Oma tidak makan, maka penyakit perutnya akan semakin kambuh, muntah dan diare adalah kemungkinan besarnya. Akhir-akhir ini sudah jarang terjadi Oma muntah maupun diare, ia tidak mau penyakit Omanya semakin parah.