"What is happening is literally genocide. No electricity, no internet, no media coverage … only more martyrs and destruction."—Plestia Alaqad.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
“Suara apa itu?”
“Petasan!”
“Wow, suara petasan rupanya!”
“Iya, Ayah mengatakan itu suara petasan.”
“Apa yang akan kalian lakukan kalau petasan itu meledak?”
“Tertawa! Hahaha!"
Cuplikan video itu otomatis terputar kembali dalam ingatan Salma. Bagaimana kreatifnya seorang Fuad Ali yang menghibur putra-putrinya ketika suara bom terdengar melintas di atas gedung rumah mereka. Zaki dan Hafiza tertawa dengan mata berkaca. Tidak ada yang tidak bisa menangkap rasa takut anak-anak itu meskipun mereka sedang berusaha gembira. Berusaha percaya pada ayahnya bahwa itu memang suara petasan. Alih-alih suara roket bom.
“Fuad Ali dan kedua anaknya telah syahid.”
Salma mendengar laporan dari Salim yang tiba di sampingnya. Lalu tangannya menerima foto yang Salim berikan.
“Jamila Hanna …?”
“Istri Fuad Ali yang ditangkap oleh IDF tiga bulan lalu,” lanjut Salim.
Salma mengamati foto itu sekali lagi. Foto seorang wanita berjilbab putih tulang, diambil setengah badan bertuliskan nama Jamila Hanna di baliknya. Perempuan itu tersenyum cerah. Secerah langit Gaza dalam impian Salma.
“Apakah kau pikir informasi syahidnya keluarga Jamila akan sampai padanya?”
Salim menggeleng. “Aku tidak yakin,” jawabnya singkat.
"Baiklah. Aku akan membantu Laila melaporkan ini bersama Aziz." Salma menepuk pundak Salim, sementara adiknya itu langsung mengerti dan kembali menyisir reruntuhan.
Sebelum benar-benar menemui Laila, Salma lebih dulu mengirim satu video dan keterangan tentang syahidnya keluarga Ali ke media sosialnya.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Salim berjalan dengan hati-hati, memotret proses evakuasi setelah selama satu jam sebelumnya, ia terjun membantu menyisir lokasi ledakan yang dibawa oleh jet tempur penjajah di kamp pengungsian Al Shate.
Tepat satu bulan setelah perang dimulai, profesi Salim sebagai Fotografer Jalanan telah berganti menjadi Fotografer Perang secara paksa. Mengenakan rompi pers anti peluru yang selalu membuatnya mengeluh karena bau dan helm yang sama berwarna biru. Tubuh lengket dan pakaian penuh debu dalam keadaan perut yang tidak pernah benar-benar terisi penuh. Namun seiring berjalannya waktu, menyaksikan kehancuran demi kehancuran, Salim menyadari kalau kondisinya masih jauh lebih baik daripada kondisi orang-orang yang ia potret. Orang-orang yang kesakitan karena luka di sekujur tubuhnya, anak-anak yang menangis karena berpisah dengan kedua orang tuanya, dan bahkan tubuh-tubuh tak bernyawa tertimbun di bawah reruntuhan yang tidak diketahui bentuknya. Pemandangan yang tidak pernah berubah sejak sebulan yang lalu. Ah tidak, tepatnya bertahun-tahun lalu, sejak hari yang penuh damai itu lenyap di tanah ini.
Salim mengangkat kameranya, mengarahkan lensa ke sisa-sisa bangunan, mengambil fokus, lalu memotret beberapa kali. Ia memeriksa hasilnya sebentar, lalu mengarahkan lensa ke bagian lain, dan memotret lagi. Ia melakukan itu sampai semua sudut kehancuran di sekitarnya terjamah.
Sejujurnya Salim tidak suka melakukan hal ini, karena semenjak memutuskan untuk menggeluti hobi fotografi saat remaja, prinsipnya tak pernah berubah, yaitu mengabadikan keindahan yang matanya saksikan dengan kamera. Ya, hanya keindahan, bukan malah memotret kehancuran. Apalagi berdiri di tengah-tengah genosida seperti ini. Tidak sama sekali. Bahkan Salma, keluarganya, dan teman-temannya yang lain, tahu betul prinsip itu. Namun kini Salim dengan sangat terpaksa melanggar prinsipnya.
Sejak tujuh Oktober, hari di mana perang Thufanul Aqsa dimulai, ia dengan tanpa pilihan lain mengiyakan saran Salma untuk menggunakan media sosial fotografinya sebagai wadah untuk bersuara pada dunia.
Dengan jumlah pengikut yang sedikit, apa yang bisa Salim harapkan? Tidak ada, tapi Salim tetap melakukannya. Selain karena tidak bisa meninggalkan Salma keluar sendirian, ia juga mulai menyadari bahwa ini adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk tanah airnya, untuk rakyat Palestina yang berjuang bersamanya.
Salim menjadikan setiap foto sebagai bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap ketidakpedulian dan perlawanan terhadap keheningan.
Satu bulan berjalan, jutaan orang di seluruh dunia mulai berbondong-bondong mengikutinya di media sosial. Ternyata usahanya cukup berdampak, setidaknya dunia jadi tertarik dan orang-orang mulai melirik, tapi sayangnya tak ada satu pun dari pengikutnya yang mampu menghentikan pembantaian yang semakin membabi buta. Rasanya seperti semakin banyak yang mengikuti Salim, semakin banyak pula kehancuran yang tanah air dan rakyatnya dapatkan.
Meski begitu, Salim tidak bisa berhenti. Walaupun penjajah mulai mengancamnya lewat telepon. Mengatakan akan menjatuhkan bom tepat di atas kepala mereka, dan membunuh kedua orang tua serta keluarga besar Elnajjar yang lain, Salim tetap tidak bisa berhenti. Dia dan Salma sudah melangkah sejauh ini. Tekad untuk menemukan hari yang damai itu tumbuh semakin kuat seiring dengan semakin banyaknya luka yang mereka dapatkan.
"Ini adalah tugas kita, Salim." Itulah yang selalu Salma katakan, meskipun Salim tahu, kakaknya juga ketakutan. Salma berkata begitu tidak lain untuk menguatkan dirinya sendiri.
Kini Salim bergerak lebih dekat, telinganya menangkap sirene tim penyelamat, yang baru datang setelah lebih dari satu jam para sukarelawan berusaha membawa korban luka menggunakan mobil-mobil sipil. Di bawah bayang-bayang reruntuhan, Salim melihat sebuah tangan, setengah terkubur di bawah puing-puing beton. Jemari itu tak bergerak, terbungkus debu dan abu. Kali ini, Salim tidak memotret. Salma selalu mengingatkan untuk tidak memotret korban yang belum dievakuasi. Namun tatapannya tertahan beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya, karena di tangan itu ada sebuah benda: sebuah buku tanpa sampul berwarna hitam karena asap.
“Salma!" panggil Salim dengan suara setengah teriak. Ia melihat saudaranya itu baru selesai memberikan laporan bersama Laila dan Aziz, sebelum akhirnya menambahkan, “Ke sini sebentar!”