“How it should feels when when you are sleeping and a bomb strikes you and destroye the house above your head? I’m not sure you will stay alive to tell.” —Motaz Azaiza.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
“Jadi, kau sudah lebih dulu bertemu dengan Elnajjar?” tanya Laila yang berjalan di samping Najm.
“Ya, mereka sedang sibuk di tengah reruntuhan saat aku tiba. Aku juga bertemu dengan Aziz. Dia yang memberitahu kalau kau sudah ada di sini,” jelas Najm sembari mencengkeram lengan Yazed sebagai tongkat untuk membantunya berjalan.
Pria itu memapah Najm sampai Najm tiba di mobilnya.
"Ngomong-ngomong, ke mana Malik? Aziz mengatakan dia bersama kau, Laila."
"Dia ikut bersama rombongan PRCS memeriksa bantuan medis yang tiba di Nuseirat," jawab Laila.
"Oh begitu?" gumam Najm sembari tersenyum. “Terima kasih, Yazed,” lanjutnya.
Yazed menggeleng pelan sembari tersenyum, melepas lengan Najm. Apa yang ia lakukan untuk Najm tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang pria itu lakukan untuk orang-orang di sini.
Sejak pagi, mereka kelaparan. Sisa kurma beberapa hari lalu dibagi-bagi hanya beberapa butir untuk puluhan orang, toko roti di sepanjang jalan Deir Al Balah sudah tidak beroperasi karena kehabisan bahan, selang-selang tak lagi mengeluarkan air sejak minggu pertama perang, bantuan makanan yang tersedia juga mulai menipis karena penyeberangan Rafah yang masih juga dibatasi. Lalu Najm datang membawa kurma dan air, tentu saja membuat mereka gembira. Jadi, sudah sepatutnya bagi Yazed untuk banyak berterima kasih pada Najm. Karena kalau Najm tidak datang sore ini, sudah bisa dipastikan, mereka akan kelaparan sampai nanti malam atau bahkan besok pagi, sampai bantuan datang. Itu pun kalau bantuan bisa datang, melihat jalan-jalan juga hancur lebur karena tak lepas dari kebrutalan penjajah. Sehingga tidak banyak kendaraan yang bisa melintas dengan normal.
“Lalu ke mana tujuanmu setelah ini?”
“Kembali ke kamp pengungsian di sekolah UNRWA, sepertinya. Mungkin kurma dan air ini akan habis di sana,” jelas Najm sembari melihat beberapa kotak kurma dan air yang tersisa. “Aku berharap gencatan senjata kali ini membuat penyeberangan dibuka lebih lama, dengan begitu pasokan makanan dan kebutuhan lain bisa masuk.” Najm menggeleng. “Sebenarnya harapanku lebih dari itu,” gumamnya dengan suara menurun. Ia buru-buru memasang raut ceria, sebelum Yazed dan Laila menyadari kesedihan yang tiba-tiba menyelinap di benaknya.
“Baiklah, kau harus berhati-hati.” Yazed menepuk bahu Najm dengan pelan.
“Kabari kalau sudah tiba di sana,” sela Laila begitu tangan Najm hendak membuka pintu mobilnya.
“Sayangnya ponselku hilang. Kemarin saat dikejar-kejar IDF, benda itu jatuh entah di mana. Tapi nanti aku akan coba cari solusi untuk menghubungi kalian.”
“Tidak apa-apa, kalau begitu nanti aku yang telepon Ummu Sara di sana.”
“Ide bagus,” sahut Najm.
Ia langsung meloncat masuk ke dalam mobilnya, sementara Yazed menutup pintu dan melambai bersama Laila.
“Assalamualaikum ….”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” balas Yazed dan Laila hampir serentak.
Mobil tua berwarna merah yang penuh dengan debu itu berjalan pelan. Berhati-hati demi bisa menaklukkan jalan dengan kondisi yang memprihatinkan. Jalan yang awalnya mulus dengan aspal hitam berubah menjadi gundukan tanah tak beraturan di setiap sisi dalam waktu satu malam. Menjadi bukti kalau para penjajah begitu optimis menghancurkan kota ini. Entahlah. Yazed tidak yakin, apakah akan tetap ada kota bernama Gaza setelah ini.
“Kuharap penjajah akan merasa lelah dan tidak membunuh siapa pun malam ini. Aku ingin segera menemui putri-putriku yang manis. Mereka pasti sedang merindukanku sekarang,” celetuk Laila dengan suara lemah, tapi stabil. “Kau juga pasti merindukan istrimu kan, Yazed?” tanya Laila. Ia menoleh melewati bahunya dan menemukan Yazed tersenyum tipis.
“Tentu saja,” jawab Yazed setelah melirik Laila sejenak. Ia berpaling ke arah mobil Najm yang sudah jauh di ujung jalan. Mobil itu berbelok ke kanan dan seketika lenyap ke balik bangunan ruko tiga tingkat. Yazed menoleh pada Laila dan melanjutkan, “Aku juga berharap yang sama meskipun—ya Rabb!”
“Oh tidak, Yazed!” seru Laila sedetik setelah suara dentuman keras membuat Yazed terlonjak dan gagal menyelesaikan kalimatnya. “Najm!” seru Laila lagi, kali ini perempuan itu langsung berlari.
Sementara Yazed terpaku sebentar.
Sedetik yang lalu gedung tiga tingkat itu masih utuh, tapi sekarang asap hitam mengepul di sana dengan bagian atas yang hilang. Ledakan keras terdengar setelahnya, disusul api yang berkobar ke atas dan membuat Yazed buru-buru menyeret kakinya ke depan. Berlari sekuat tenaga melewati Laila yang terus meneriakkan nama Najm.