Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #4

Jatuh di Atas Atap

“After all what's going on. I don't feel like I’m gonna make it to the end.” —Motaz Azaiza.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Salim membidik seekor kucing yang terduduk lesu di tengah pecahan bata dan beton, ketika sudah mendapatkan sudut dan cahaya yang pas, ia memotretnya. Kucing itu tak bergerak, matanya terpaku pada debu dan puing-puing. Tatapannya kosong, tidak tertarik pada apa pun di sekitarnya. Salim bisa merasakannya, oleh karena itu ia kembali mengangkat kamera, mengganti mode dan merekam kegalauan kucing itu. Warnanya yang abu gelap—nyaris hitam —terlihat jelas di antara puing-puing reruntuhan di sekitarnya.

“Bahkan, aku bisa mendengar apa yang kucing ini pikirkan, walaupun dia hanya diam. Gaza yang dia lihat kemarin, hari ini sudah berubah menjadi kota hantu,” gumam Salim lalu menekan satu tombol untuk menyimpan video tersebut. 

“Aku tidak percaya kalau ini adalah Ar Rimal,” gumam Salma yang berdiri di belakangnya. 

Salim merasakan hal yang sama. Ia juga merasa sangat asing. Oleh karena itu ia memotret setiap sudut dan berniat untuk membuat kolase “setelah dan sebelum” Ar Rimal lenyap, karena sebelumnya ia sudah sangat sering memotret distrik populer ini. Salah satu kawasan yang dulunya makmur. Banyak bangunan bertingkat, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum lainnya yang sering dijadikan sebagai lokasi kegiatan sosial dan kebudayaan.

“Di sini!” seru Salma dengan antusias, meski Salim masih membelakanginya. “Aku ingat pernah membantumu memotret di sini. Kau memotret sangat lama sampai tanganku pegal memegangi flag dan akhirnya semua itu terbayar karena foto yang kau ambil menjadi juara lomba. Kau akhirnya bisa meng-upgrade kameramu setelah sekian lama, dan aku ingat sekali dengan anak dalam foto itu, anak itu sangat ….”

Salim mengerutkan kening. Senyum tipis di bibirnya—yang menikmati ocehan Salma—berangsur hilang. Ia berbalik sambil bertanya-tanya apa yang membuat Salma tiba-tiba diam, padahal sebelumnya suara perempuan itu terdengar sangat bersemangat seperti seseorang yang siap menyambut hari kemerdekaan yang mereka tunggu-tunggu.

“Anak itu sangat cantik … namanya Naomi dan aku juga ingat, kau sudah memberitahuku kalau dia sudah syahid,” imbuh Salma dengan pelan—sangat pelan sampai Salim harus benar-benar mengikuti gerakan bibirnya untuk bisa memahami apa yang ia katakan.

“Kau selalu mengingatkanku untuk mengingat hal-hal yang baik.”

“Mm-hm.” Salma mengangguk. “Dan yang kuingat tadi adalah hal yang baik.”

“Tapi raut wajahmu mengatakan sebaliknya.”

Salma menghela napas panjang, lalu mengangkat wajahnya. Ia menatap Salim sejenak, lalu beralih melewati bahu pria itu untuk memperhatikan tiga gedung yang hancur di sana. Mengingat kembali sudut yang ia maksud tadi, sebuah jalan kecil di antara dua gedung, tempat ia dan Salim berdiri saat ini.

“Video tadi malam belum terunggah, kan?”

“Belum.”

“Haruskah kita mencari sinyal di atas gedung itu lagi?” Salim menunjuk gedung bertingkat delapan, dengan warna krem yang cantik.

Gedung itu masih berdiri, tapi kaca jendelanya sudah hilang akibat getaran hebat dari ledakan bom di gedung-gedung sekitarnya.

“Bagaimana kalau kita mencari tempat yang lain. Tidak di atas gedung lagi,” usul Salma sambil berjalan mengikuti jalan sempit yang melebar akibat tertutup reruntuhan.

Tanpa mengatakan apa pun, Salim menyusul Salma dengan langkah seimbang. Ia memeriksa arloji di lengannya, sambil menghitung-hitung waktu yang mereka habiskan hari ini.

Mereka sudah berkeliling cukup jauh sejak pagi. Memeriksa kehancuran demi kehancuran yang penjajah hasilkan dalam satu malam. Setelah sebelumnya menghabiskan waktu selama beberapa jam, bermain dengan anak-anak di sekolah UNRWA sambil mengisi daya ponsel dan kamera di salah satu toko yang memiliki panel surya. 

Kini mereka masih berjalan, keluar dari pemukiman padat menuju jalan beraspal. Melewati toko-toko sepi di kiri dan kanan jalan sambill memeriksa ponsel di tangan masing-masing. Mereka baru mendapatkan sinyal internet di sebuah kafe yang sepi, ketika pemilik kafe tersebut tiba-tiba keluar dan meminta mereka untuk menjauh dengan berat hati.

“Maafkan aku, Elnajjar, tapi kau tahu, kita semua sama-sama ingin hidup.” 

Tanpa perlu penjelasan lebih panjang, Salim mengerti. Ia dan Salma kemudian meminta maaf dan pergi, meskipun jelas bahwa mereka tidak melakukan kesalahan apa pun. Mereka hanya ingin menumpang untuk mengambil sinyal internet. Kalaupun diminta membayar, setidaknya mereka masih memiliki uang di dalam saku. Namun, begitulah keadaannya sekarang. Setelah jurnalis tak lagi dipandang sebagai profesi yang patut dilindungi, mereka kerap menjadi sasaran secara nyata. Itulah yang membuat pemilik kafe itu merasa takut. Sebagian besar tempat yang dikunjungi oleh jurnalis, terutama Salma dan Salim, selalu saja menjadi target bom berikutnya. Entah bagaimana caranya. Padahal ketika berada di tempat yang aman dan merekam video, mereka selalu memastikan informasi tentang lokasi tersebut tidak bocor.

“Peringatan! Segera evakuasi diri ke Selatan demi keselamatan diri dan keluarga kalian ….”

“Apa ini, Salim?”

Salim terpaku pada layar ponselnya. Ia juga mendapat pesan serupa seperti dalam ponsel Salma. “Kita harus pulang,” tukasnya tanpa pikir panjang. 

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

“Sampai sekarang kau masih tidak paham juga, Salim? Penjajah itu pengkhianat paling ulung di muka bumi ini. Pernahkah sekali saja kau dengar mereka menepati kata-katanya?”

Lihat selengkapnya