"Literally no one is safe. Journalists, civilians, and children, literally everyone is getting targeted."—Plestia Alaqad.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
“Ibu, bukankah Allah lebih suka hamba yang berusaha daripada duduk diam dalam gelisah?”
Ibu tersenyum. Tidak langsung menjawab. Ia malah menatap Salim yang sudah tiga kali menerawang ke luar jendela, mencari Salma yang katanya berada di salah satu puncak gedung bagian barat. “Jangan gelisah, Nak. Tenanglah.”
Salim menggeleng. Ia kembali duduk di lantai lalu menatap wajah ibunya. “Tidak bisa, Bu. Entah kenapa aku yakin sekali kalau roket itu akan benar-benar ….” Salim memejamkan mata lalu mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Jelas sekali kalau dia tidak suka dengan apa yang ia pikirkan hingga enggan untuk melanjutkan kalimatnya.
“Kau selalu menyalahkan kakakmu karena suka berpikiran buruk. Lihatlah dirimu sekarang, Salim,” celetuk Ayah yang membuat Salim mengangkat wajahnya.
“Tapi, Yah ….”
“Kalaupun kita harus evakuasi sekarang, ke mana kita akan pergi?”
Bahu Salim terangkat. Ia terlihat yakin. “Kita bisa membuat tenda di tepi pantai, atau kembali ke sekolah UNRWA, atau ke rumah sakit. Aku sudah lama berpikir dan sebenarnya ada banyak tujuan,” jelasnya, cepat. Menatap Ayah dan Ibu bergantian. Matanya berkilat-kilat meminta persetujuan.
“Bagaimana caranya untuk sampai di sana? Ada temanmu yang bisa dipinjami kendaraan?”
“Aku akan keluar mencari kendaraan. Kita bisa menggunakan toktok, delman, atau apa pun yang aku temukan. Bagaimana?”
“Kakakmu akan marah sekali.”
“Salma akan mengerti nanti.” Kali ini Salim langsung berdiri. Ia tidak akan mengulur waktu hingga membuat kedua orang tuanya kembali berubah pikiran. Tangan kanannya meraih helm yang tadi ia lepas dan mengenakannya dengan cepat.
“Baiklah, Nak, kalian memang saudara, sama-sama keras kepala.”
Ayah tertawa mendengar selorohan Ibu. Sementara Salim tidak menggubris. Ia berjalan memecah ruang tamu hingga nyaris mencapai pintu sebelum langkahnya tiba-tiba terhenti. Kedua orang tuanya mengerutkan kening, sementara Salim tiba-tiba berbalik dan langsung memeluk mereka bergantian.
“Aku tidak suka melakukan ini,” gumam Salim.
“Kenapa?”
Salim menggeleng dan berkata dengan enggan. “Rasanya seperti … kita akan benar-benar berpisah dan tidak akan bertemu lagi.”
“Di dunia ini, itu pasti.”
Salim menggeleng lagi dan kali ini menatap wajah ayahnya. “Jangan berkata seperti itu, Yah.”
“Kita akan bersama selamanya, Nak,” kata Ibu meyakinkan Salim. Ia tidak ingin rasa takut membuat Salim ragu untuk berjuang. “Tenanglah,” lanjutnya sembari membelai pipi Salim sejenak.
Salim mengangguk. Ia bangkit dengan yakin sembari mengucapkan salam. Ibu dan Ayah menjawab dengan pelan, lalu Salim benar-benar keluar.
Ayah menoleh ke sebelahnya, menatap Ibu yang tetap tersenyum, lalu bibirnya mulai berzikir lagi. Jemarinya bergerak teratur menghitung satu demi satu zikir yang terucap. Mereka memejamkan mata begitu mendengar suara ledakan yang agak jauh. Entah bangunan apa lagi yang hancur di kali ini, mereka sudah tidak penasaran. Mereka sudah tidak memikirkan kehancuran yang terjadi di tanah ini. Mereka hanya berdoa semoga kedua anaknya tetap dalam perlindungan Allah. Menjadi pejuang dan saksi kemerdekaan karena kedua orang tuanya sudah tak sanggup mengemban amanah itu.
“Bagaimana kalau kita coba berjalan-jalan ke luar? Agar Salim tidak perlu menunggu lama kalau sudah dapat kendaraan?” usul Ibu dengan tenang.
Ayah setuju. Dengan bantuan Ibu, ia bangkit dan berjalan tertatih-tatih, meski perih kian terasa di beberapa bagian tubuhnya.
Baru saja mencapai pintu, ledakan kembali terdengar. Kali ini diiringi dengan getaran dahsyat yang hampir membuat Ibu dan Ayah tersungkur. Beruntung, Ayah masih bisa berpegangan pada knop pintu. Ia menarik Ibu dengan sekuat tenaga dan memeluknya dengan erat.
Mereka memejamkan mata, berusaha menahan guncangan yang disusul oleh ledakan berikutnya. Saat mencoba membuka mata, yang mereka lihat hanyalah debu tebal yang menghambat napas. Kali ini, Ayah dan Ibu ikut jatuh bersama pintu yang roboh, tubuh mereka terseret menuruni lantai yang semakin curam, diiringi suara benda-benda hancur yang menghantam tubuh mereka dan berlomba mencapai dasar.
Sedetik kemudian, gedung itu rata dengan tanah.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Salma sudah tahu kalau bom itu jatuh dan meluluhlantakkan rumahnya. Namun ia ingin Laila mengatakan tidak. Sayangnya perempuan itu malah mengangguk dan membuat Salma menjerit histeris.
“Salim bersikeras untuk evakuasi, sementara aku memaksa untuk tetap tinggal. Sekarang aku keluar, sementara rumahku hancur dan mereka ada di dalamnya!?”
“Tenanglah, Salma.”
Salma menggeleng. Ia tidak bisa tenang. Ia tidak mungkin bisa tenang. Ibu dan ayahnya ada di dalam gedung itu, Salim juga ada di sana karena permintaannya dan sekarang gedung itu sudah hancur. Andai saja Salma mengiyakan saran Salim dan mereka keluar bersama untuk evakuasi diri, tentu ini tidak akan terjadi. Ia dan ketiga orang yang paling ia sayangi itu akan masih bisa bersama sekarang. Andai saja Salma tidak terkecoh. Andai saja Salma tetap waspada. Andai saja ia tidak keras kepala. Andai saja …. Namun semuanya sudah terlambat.
Salma menghentakkan tubuhnya kuat-kuat, lalu berlari menuruni gedung dengan cepat, tak peduli meskipun Yazed dan Laila berusaha mencegahnya.
Di jalanan yang hancur, langkah Salma terhenti. Matanya dipenuhi kabut sementara dirinya kehilangan arah. Berputar-putar mencari jalan yang harus ia lalui untuk pulang, tapi tidak terlihat. Tidak ada jalan di sana, semuanya sudah hancur. Ia nyaris memekik andai Laila tidak segera muncul dan mencengkeram bahunya sekali lagi.