"Honestly I lost myself, but I believe when I pass-away I will be proud of myself."—Motaz Azaiza.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
“Halo! Apakah ada orang di sana!?” seru Aziz, menunduk ke bawah celah-celah kecil tembok beton yang tumbang. “Halooo!” Aziz memukul-mukul tembok itu dengan batu, berharap suara yang dihasilkan bisa terhantar ke bagian dalam reruntuhan.
Salim tak berkomentar, ia mengamati Aziz yang sedang berusaha melakukan aksi penyelamatan, tanpa berniat melakukan hal yang sama. Ia sudah kehilangan harapan. Selama lima jam menunggu alat berat datang membantu evakuasi, hujan deras turun tanpa jeda.
Dalam waktu lima jam, di tengah reruntuhan gedung sepuluh lantai, di tengah semburan hujan tanpa henti, akankah ada harapan hidup di sana? Tidak ada. Salim sudah yakin tidak ada harapan. Dan ia tahu apa yang Aziz lakukan itu tidak ada gunanya.
Akan tetapi Salim masih tetap berdiri, menatap puing-puing dari pendar kecil senter yang terpasang di helm yang ia kenakan. Menatap kakinya yang tertancap di tanah. Tak bisa bergerak. Hanya diam tanpa harapan. Betapa menyebalkannya perasaan tak berdaya ini. Ingin memberontak, tapi tak ada yang bisa dilakukan. Semua orang menganggap kematian dan kehilangan sebagai sesuatu yang wajar. Seolah-olah tak ada waktu yang layak untuk berkabung.
“Alat berat sedang berusaha masuk, Aziz. Tank-tank penjajah baru menyingkir setelah berhasil menghancurkan jalan. Aku juga mendapatkan informasi kalau IDF menyerang Kamp Al-Buraij sehingga banyak korban luka di sana,” jelas Yazed begitu menghampiri Salim dan Aziz.
Salim tak menggubris, sedangkan Aziz mendesah sembari bangkit dan menggeleng pelan. “Kita harus mencari apa saja dan melakukan apa saja.” Lalu tangannya menepuk pundak Salim. “Meskipun kau merasa tidak ada harapan, kita harus bergerak,” imbuhnya dengan suara serak, seakan-akan bisa membaca isi otak Salim yang terus mematung sedari tadi.
Merasa tak perlu menunggu tanggapan Salim, Aziz melenggang pergi mencari sesuatu untuk membantu proses evakuasi.
“Aku ingin mengatakan, aku paham rasanya, karena aku sudah lebih dulu merasakan kehilangan kedua orang tuaku. Tapi aku yakin tidak ada gunanya,” jelas Yazed, berhasil menarik atensi Salim hingga pria itu menatapnya. “Kau akan membantah. Tidak ada yang bisa merasakan kehilangan yang kau rasakan, dan itu wajar.”
Meski Salim tak juga berkomentar, Yazed tetap tersenyum. Ia kemudian menyusul Aziz Sebelum datang kembali ke hadapan Salim dengan membawa cangkul dan kayu.
Salim masih enggan bersuara, tapi akhirnya tangannya bergerak mengambil cangkul, mencari celah yang bisa digali meskipun matanya mulai perih. Bukan karena debu yang berusaha menelusup dari celah kacamatanya—tentu saja karena hujan membasahi semuanya—tapi karena bendungan tangis yang berusaha ia tahan. Membayangkan bagaimana kalau kedua orang tuanya masih bernapas di sana, menahan sakit, dan menunggunya datang.
Betapa Salim sangat berharap masih ada hari dengan Ibu, masih ada hari dengan Ayah yang ia temukan setelah hari ini.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Evakuasi berhasil dilakukan dengan bantuan alat berat. Dalam waktu sekitar dua jam, puluhan kantung jenazah pun terisi. Malam semakin larut ketika mereka menghentikan proses evakuasi, dengan kesimpulan bahwa sebagian korban masih hilang di bawah timbunan reruntuhan. Sehingga evakuasi akan dilanjutkan kembali esok pagi.
Salma melangkah mendekati kantung-kantung jenazah yang diletakkan di tepi jalan, di sisa tanah yang lapang. Salim sudah lebih dulu memeriksanya. Pada dua kantung jenazah terakhir, Salma mengunci tatapannya. Ia kembali mengingat bagaimana dirinya meraung dan menancapkan jari-jarinya ke puing-puing reruntuhan, berharap dengan begitu ia akan langsung menemukan Ibu dan Ayah tersenyum. Masih bernapas, penuh rasa lega karena Salma berhasil menemukan mereka. Namun, kenyataannya tidak. Salma menatap buku-buku jarinya yang terluka dengan pandangan kosong, lalu mengalihkan tatapannya pada kantung jenazah bertuliskan nama Ayah dan ibunya. Rasanya tetap saja seperti kehilangan separuh jiwanya, meski Salma sudah menyiapkan diri sejak tadi, bahkan sejak kemarin, sejak jauh-jauh hari—sejak almarhum kakeknya bercerita tentang Nakba, sejak kedua orang tuanya berwasiat padanya dan Salim. Salma akhirnya menyadari bahwa persiapan itu sia-sia. Karena saat ini, ia benar-benar merasa tak berdaya.
Sejenak ia memejamkan mata, mencoba mengingat wajah ibunya yang hangat dan senyum ayahnya yang menenangkan. Namun, suara ledakan itu terus terngiang di telinganya, menghancurkan setiap kenangan indah yang ingin ia pertahankan. Kini, mereka hanya tinggal bayangan, terhapus dalam sekejap oleh kekejaman para penjajah.
Tangannya gemetar saat ia meraih kancing, mencari wajah kedua orang tua yang tak sanggup ia saksikan.
“Maafkan aku ….” Hanya itu yang bisa ia katakan, selain menangis dan memanggil kedua orang tuanya berkali-kali. Berkali-kali, sampai suaranya tidak bisa keluar lagi.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸