Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #7

Menjadi Kota Hantu

"I don't have the power to change the world, but I might have the power to change how a little girl sees the world."—Plestia Alaqad.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

“Bukankah reaksi Aziz waktu itu terlalu berlebihan?” bisik Salma.

“Kurasa tidak,” jawab Salim, “Aku juga sangat terkejut waktu tahu ada seseorang mengenakan rompi pers di antara para penjajah.”

“Dia mengatakan kita tidak boleh mengatakannya pada orang lain. Menurutku itu aneh. Padahal aku ingin mengatakannya pada Laila.”

“Apakah kau percaya pada Aziz?”

“Maksudmu?” 

“Bagaimana kalau yang mengenakan rompi pers itu adalah dia?”

“Astaga, Salim!” seru Salma dengan mata membola. Ia buru-buru membekap mulutnya, lalu melanjutkan, “Kau melampaui pikiran burukku kali ini. Aku mengenal Aziz dengan baik. Jangan berpikir yang tidak-tidak terhadapnya.”

“Kau yang memulai. Lagipula—”

“Put your hands up!”

Salim terperanjat. Mulutnya langsung terkatup kembali, sementara kedua tangannya terangkat mematuhi titah penjajah. Salma melakukan hal yang sama. 

Penjajah itu berseru lagi dalam Bahasa Ibrani, lalu Bahasa Inggris, kembali ke Bahasa Ibrani, kemudian mencampur keduanya sampai Salim jengah. Kenapa mereka harus mengulang kata yang sama dalam bahasa berbeda berkali-kali. Padahal hanya dengan ditodong pistol saja semua orang pasti mengerti.

Sekarang mereka sedang berjalan bersama ratusan warga, melintasi jalanan berdebu mematuhi perintah IDF yang siaga dengan senapan di tangan. Para tentara IDF dengan seragam militer lengkap, berada di kiri dan kanan jalan, meneliti satu demi satu warga Palestina yang melangkah di hadapan mereka. 

Salim baru mendapatkan informasi, kalau gencatan senjata akan berlangsung mulai besok, sehingga penjajah dengan gesit menarik warga-warga yang masih berada di bagian tengah kota agar mengungsi ke bagian Selatan. Karena tidak punya pilihan lain, warga hanya bisa patuh. Mereka harus mengangkat kedua lengan bak kriminal yang tertangkap basah ketika melintasi IDF yang sedang berpatroli. Sementara tentara penjajah itu akan berteriak lagi dan menembakkan senapan ke arah siapa saja yang membantah.

Ketika sudah berhasil melintasi mereka, lengan Salim dan warga di sekitarnya otomatis turun perlahan.  

Sembari masih tetap berjalan, Salim melirik Salma. Perempuan itu mengisyaratkan kalau IDF sudah berada agak jauh dari mereka. Salim pun menghela napas panjang, ia mulai mengangkat kamera yang tergantung di lehernya, lalu memotret apa pun yang ia temukan. Termasuk seorang ibu yang menarik dua orang anak kembarnya, yang baru berumur dua tahun dengan sebuah kereta buatan.

Ah tidak, sebenarnya kendaraan yang amat sangat sederhana itu tidak bisa dikatakan sebagai kereta, karena tidak memiliki roda. Bentuknya lonjong seperti mangkuk yang agak besar. Menurut pendengaran Salim, ibu itu sudah menarik kedua anaknya sejauh empat belas kilometer selama lima jam.

“Hei, Pers yang di sana! Turunkan kameramu!” 

Salim tertegun. Langkahnya otomatis terhenti, bersamaan dengan kedua lengannya yang melepas kamera dan terangkat ke atas dengan cepat. Suara derapan kaki para IDF memenuhi telinganya yang mulai menjalari rasa tegang, tepat setelah itu suara tarikan pelatuk terdengar jelas di punggungnya.

Salim menelan ludah, butiran-butiran keringat mulai mengucur dari pelipis dan punggungnya. Matanya bergerak sedikit, sementara tenggorokannya tak berani bersuara. Salma masih di sisinya, perempuan itu juga mengangkat tangan dengan mata terpejam.

“Tenanglah, Salma,” lirih Salim dengan suara gemetar. 

Akan tetapi Salma tak menyahut. Kakaknya itu pasti terlalu takut. Ini adalah pertama kalinya mereka berhadapan langsung dengan senapan IDF dari jarak yang sangat dekat. Seperti yang mereka lihat dari unggahan teman-teman pers yang lain, IDF tidak segan menembak meskipun yang di hadapannya adalah seorang jurnalis, sehingga ….

Move forward!

Kening Salim berkerut, maniknya melirik Salma dan perempuan itu mengangguk. Dengan langkah takut-takut, mereka mulai berjalan lagi. Terus mengangkat tangan sampai ratusan meter ke depan. Salim melirik Salma lagi, dan perempuan itu mengisyaratkan untuk terus berjalan sampai mereka akhirnya berbelok ke jalan yang ditutupi ruko-ruko kecil di kiri dan kanan, dan tidak terdapat satu pun tentara IDF di sana.

“Mereka masih di sana?”

“Sepertinya masih,” jawab Salma sembari coba mengintip ke belakang, tapi tidak bisa menjangkau karena sudah terlalu jauh. Ia menurunkan tangannya, merogoh saku kemeja di balik rompi pers untuk mengambil ponsel, lalu mengangkat benda itu sedikit, berusaha memantulkan bayangan dari layar yang padam. “Mereka masih di sana, tapi sudah jauh,” jelasnya.

Salim langsung menurunkan tangannya, serentak diikuti oleh warga-warga lain yang melirik ke arahnya. Sementara Salma langsung mengaktifkan kamera ponselnya, lalu merekam apa yang ada di sekitar mereka. 

Salim mengangkat kameranya dan memotret lagi. Memotret pemandangan ratusan warga di hadapannya yang berjalan membawa matras, bantal, selimut, dan tas-tas berisi pakaian dan barang-barang penting. 

“Assalamualaikum …,” ucap Salma. Ia baru saja mulai merekam dengan kamera ponselnya, ketika tiba-tiba tertawa dan membuat Salim heran. 

“Ada yang lucu?”

Salma menggeleng dan tawanya langsung lenyap. “Kita selalu mengatakan Assalamualaikum, Assalamualaikum … berdoa untuk siapa saja yang melihat agar mereka mendapatkan kedamaian. Tapi lihat!” Salma menunjuk dirinya sendiri lalu menunjuk Salim dan orang-orang di depan mereka dengan alis terangkat. “Kita sendiri sedang kacau seperti ini. Di mana kedamaian itu?” Salma tertawa lagi. Kali ini tawanya terdengar benar-benar pahit.

Salim mengerti, tapi ia merasa apa yang terjadi tidak patut ditertawakan sama sekali, apalagi setelah menyadari beberapa warga terheran-heran dengan gelagat Salma yang aneh.

“Kau baik-baik saja?”

Salim tak menjawab, karena pemilik suara itu menatap Salma. Namun Salma juga tak menjawab, ia malah menatap pemilik suara itu dengan wajah datar. 

Lihat selengkapnya