"If you can not lift the injustice, at least tell everyone about it."—Motaz Azaiza.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
“Aku tidak tahu bagaimana harus membantu. Aku hanya bisa menangis.”
Salma menghela napas panjang. Untuk kesekian kalinya, ia menerima komentar serupa di media sosialnya.
Meningkatkan kesadaran dunia terkait krisis kemanusiaan yang melanda Palestina ternyata tidak mudah. Selain harus meyakinkan dirinya apa yang perlu dia lakukan, ia juga harus meyakinkan Salim dan rekan-rekannya tentang banyak hal yang harus mereka lakukan. Selain itu, ia juga harus menghibur anak-anak dan setiap orang yang ia temukan. Tidak cukup juga. Salma harus menjelaskan berkali-kali pada dunia bahwa dia dan semua rakyat Palestina tidak butuh air mata. Tidak butuh kasihan. Yang paling mereka butuhkan saat ini hanyalah bantuan untuk menjadi pengeras suara pada seluruh dunia. Untuk meningkatkan kesadaran tentang banyak hal yang bisa mereka lakukan selain menangis dan mengasihani.
Salma tahu, dia dan jutaan pengikutnya di media sosial sama-sama makhluk yang kecil. Manusia yang kecil. Manusia yang tidak memiliki kedudukan yang lebih picik daripada penjajah dan antek-anteknya. Salma tahu tidak ada yang bisa manusia-manusia kecil ini lakukan selain berteriak, protes, boikot, dan terus berdoa. Oleh karena itulah, Salma ingin semua orang bersuara. Setidaknya meskipun petinggi-petinggi di Barat sana tidak mendengarkan, tapi mereka tetap mendengar.
“Ada apa?”
“Tidak ada.”
“Kau tidak tahu harus menulis apa?”
Salma bergeming, jemarinya turut beku selama beberapa saat sebelum menoleh pada Salim. “Ya, aku baru saja sadar kalau kata rusak, kacau, hancur, lebur, sudah tidak bisa mendeskripsikan kondisi kita sekarang.” Salma berpaling, menatap langit abu-abu, lalu beralih pada bangunan-bangunan di sekitar yang bagian atasnya hancur, sebagiannya hilang, setengahnya ambruk, dan terakhir, satu lempengan yang berdiri dengan satu beton yang terlihat tanggung. “Kenapa tidak langsung rata saja seperti bangunan di sebelahnya?” gumamnya kemudian.
Terdengar suara helaan napas dari Salim di sampingnya. Salma pun menoleh dan mendapati adiknya itu kini melepas punggung di potongan tembok yang berdiri miring ke belakang. Bendera berwarna hijau hitam dengan garis putih di tengah dan warna merah segitiga di pinggir, berkibar di atas reruntuhan. Malik menemukan bendera itu tergeletak di jalan. Kotor dan sobek di beberapa bagian, sebelum menemukan besi yang mencuat ke atas lalu mengikat bendera itu di sana.
“Lili … gadis kecil itu ditemukan di bawah sana.”
“Apa?”
Salim menunjuk bangunan tanggung yang Salma maksud dengan jari telunjuknya. “Kau bilang seharusnya lempengan itu jatuh, tapi Lili yang kugendong dengan kepala terluka tadi, kutemukan masih bernafas di sana. Dan Yazed mengabarkan kalau anak itu selamat.”
Salma mengerjap. Menatap Salim, lalu beralih pada bangunan tanggung. Jadi ... kalau lempengan itu jatuh, Salim tidak akan bisa menemukan Lili, dan gadis itu akan tertimbun di sana? Menunggu diselamatkan, tapi terlambat. Tank baja raksasa milik penjajah menghalangi regu penyelamat yang berusaha menjangkau tempat ini sampai mereka terlambat datang.
Lili bisa saja jadi tidak tertolong. Bersama satu, dua, sepuluh, atau dua puluh orang di bawah reruntuhan itu yang belum bisa dievakuasi, lalu Salma dengan mudahnya mengatakan kenapa lempengan itu tidak jatuh saja?
“Astaghfirullah….” Salma membenamkan wajahnya di telapak tangan, sementara Salim yang menyadari itu hanya menoleh sebentar, lalu memejamkan mata untuk beristirahat.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Salim ingin tidur. Satu menit saja. Tubuhnya sangat lelah. Setelah berkeliling sejak pagi sampai sore, tubuhnya benar-benar letih. Perutnya lapar, tenggorokannya kering. Ia hanya sarapan dengan beberapa butir kurma dan beberapa teguk air di rumah sakit As Syifa.
Setelah menyadari tidur tidak akan membuat perutnya kenyang, Salim langsung menarik tubuhnya dan terduduk di sisi Salma. Melepaskan kacamatanya, lalu mengerjap beberapa kali sampai matanya terasa nyaman. Ia menatap sekeliling dengan penglihatan yang kabur. Sebenarnya ini lebih baik ketimbang menggunakan kacamatanya dan melihat kehancuran yang penjajah hasilkan hari ini.
Betapa penjajah-penjajah itu sangat bertekad. Hingga dengan terpaksa Salim mengakui, kalau soal semangat menghancurkan, mereka adalah juaranya. Bagaimana mungkin mereka tidak bosan, padahal Salim saja sudah bosan setengah mati.
“Hai, Paman dan Bibi Elnajjar!”
Salim mengangkat wajahnya, sementara satu tangannya otomatis memasang kembali kacamatanya dan menemukan seorang anak perempuan datang menghampiri mereka. Wajah anak itu bersih dan ceria, ia mengulurkan dua buah permen lusuh yang langsung diterima oleh Salma dan Salim.
“Kau mengenal kami?” tanya Salma dengan senyum tersungging. “Siapa namamu?”
Sementara Salim memperhatikan permen itu, ia mengernyit. Maniknya berpindah dan meneliti wajah anak itu sekali lagi. Rasanya familier, dan permen ini ….
“Livia.”
Suara Salim dan anak itu serentak membuat dahi Salma mengernyit. “Kau mengenalnya?”
Salim memperhatikan senyum anak itu sebentar, lalu mengangguk. “Namanya Livia. Permen yang kuberikan pada anak-anak di rumah sakit waktu itu adalah permen dari Ayah Livia.” Salim beralih pada Livia, lalu meraih jemari mungil anak itu. “Di mana ayahmu? Kenapa kau kembali? Bukankah kalian menyeberang ke Raf—”
“Ayah dan Ibu sudah meninggal, mereka ditembak oleh penjajah setelah kau pergi.”
Salim tertegun. Ia hendak membuka mulut ketika Aziz tiba-tiba datang dan menyela, “Kalian sudah bertemu?”