"If you pity us, you don't know us. I pity anyone in the way of our liberation. I pity anyone so weak they feel threatened by my mere existence."—Plestia Alaqad.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
“Sayang sekali, kami kehabisan daging cincang. Jadi, apakah kalian tidak keberatan jika hanya makan dengan mentega?”
Salma menggeleng cepat.
“Tidak sama sekali, Tuan. Ini sudah lebih dari cukup,” jawab Salim.
“Panggil Paman saja. Mungkin aku seumuran orang tua kalian.”
“Baik, Paman, terima kasih.”
Tanpa perlu menunggu, Salim dan Salma memasukkan beberapa sendok mentega ke dalam roti Taboon, lalu melahapnya dengan cepat. Mereka tidak peduli meski Tuan pemilik toko yang mereka panggil Paman mengatakan rotinya masih panas. Sementara kucing yang mereka bawa juga terlihat sama lahapnya menyantap potongan roti yang mereka berikan.
“Aku suka karena dia tidak pilih-pilih,” celetuk Salma di sela kunyahannya. Ia mengamati kucing abu yang duduk di atas meja. “Apakah kau akan terus membawanya?”
Salim mengedikkan bahu. “Kalau kau tidak keberatan.”
“Untuk saat ini bawa saja kalau mau.”
“Di mana rumah kalian?”
Salma dan Salim serentak menoleh pada sumber suara.
“Di Deir Al Balah,” jawab Salim.
“Tapi sudah hancur,” imbuh Salma.
Paman pemilik toko tidak memberikan reaksi terkejut atau sejenisnya, ia malah merogoh jubahnya dan mengeluarkan ponsel berwarna putih dari sana. “Baru ada sinyal internet di sini, jadi aku belum memeriksa apa yang terjadi pada kalian.”
Salma dan Salim melirik satu sama lain, sebelum akhirnya tersenyum dan kembali melahap roti taboonnya. Ya, selama memiliki akses internet, tidak ada yang tidak mengenal Elnajjar di penjuru Gaza. Bahkan tidak jarang di situasi genting seperti ini, masih saja ada orang yang meminta foto bersama dengan mereka. Betapa ironi. Mereka tertawa getir, menyadari kenyataan terkenal di tengah genosida.
“Kalian bisa tidur di sini kalau mau. Rumahku ada di belakang. Sebenarnya toko ini adalah toko milik kakakku, tapi dia sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Istri dan anaknya memilih kembali ke Tepi Barat.”
“Terima kasih, Paman, tapi …,” ucap Salma sembari melirik Salim.
“Tapi kami tinggal bersama sukarelawan lain di rumah sakit.”
“Rumah sakit …?”
“As Syifa.”
“Jauh sekali. Kalian bawa mobil?”
Dua bersaudara itu serentak menggeleng.
“Berjalan?”
Mereka mengangguk. "Kadang, kalau tidak ada tumpangan."
“Bisa menyetir?”
“Bisa,” jawab mereka hampir serentak.
“Kalau begitu pakai saja ini.” Paman pemilik toko itu berjalan melewati Salim dan Salma, yang diikuti oleh sorot mata keduanya.
Di belakang mereka ternyata berdiri sebuah sedan yang tertutup cover berwarna abu-abu. “Kalian bisa kembalikan besok, atau … kapan pun,” lanjut Paman sambil mengibaskan tangannya di udara.
Salma tercengang, Salim juga begitu. “Tapi …”
“Yah, anggap saja aku membantu perjuangan kalian. Lagipula mobil ini tidak pernah dipakai. Anakku membelinya setengah baru agar aku bisa ke kampus lebih mudah, tapi kalian tahu, Universitas Al Azhar tempat aku mengajar juga hancur.”