Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #10

Dalam Sekejap Mata

"You need to be the photojournalist, the paramedic, the driver, the one who is looking for food, and to save your life."—Motaz Azaiza.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Langit Gaza di masa kecil Salma mungkin tampak seperti kanvas putih yang luas. Kanvas putih yang dihiasi semburat biru dari balik awan tipis yang melayang-layang dengan tenang. Saat matahari terbit, cahaya keemasan perlahan menyinari wajahnya, pantai, bangunan tua, padang pasir, dan pohon-pohon zaitun, menghasilkan bayangan lembut yang bergerak seiring berjalannya waktu. Hingga siang hari tiba, langit kota berubah menjadi biru cerah tanpa cela, memancarkan harapan dan kedamaian. Dan ketika senja menyapa, mega-mega merah melambai di cakrawala, membuat pemandangan menjadi begitu menawan saat menyambut kedatangan malam yang damai dan tenang.

Begitu jelas terbayang dalam benak Salma tentang hari itu. Hari di mana kedamaian itu masih bisa ditemukan dengan mudah di setiap sudut negeri ini. Hari di mana ia tidak pernah membayangkan soal kehilangan ataupun kehancuran seperti hari ini.

Kamp pengungsian Deir Al Balah hari itu menjadi saksi pertumbuhan Salim dan Salma, bersama dengan puluhan anak yang mendapatkan pendidikan dasar untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan. Salim ditujukan untuk fokus pada pelatihan militer, sementara Salma fokus pada vokasi kesehatan dan kedokteran.

Pada awalnya upaya istimewa itu berjalan lancar seperti yang diharapkan. Salma dan Salim adalah anak-anak cerdas yang tidak sulit dalam memahami pelajaran. Namun kemudian, kedua orang tua Elnajjar menyadari ada sesuatu yang salah. Terutama untuk dua orang anak yang jiwanya terpaut rapat pada seni sejak lahir. Minat dan bakat Salim sangat condong pada bidang seni visual, begitu pula dengan Salma yang memiliki minat penuh pada literasi dan penulisan. Bukan karena mereka menolak untuk menerima pelatihan militer atau kedokteran, melainkan pada kokohnya pondasi yang terbangun dalam proses panjang itu.

Dalam seni, jelas terlihat Salim dan Salma melakukannya dengan penuh cinta dan sukarela. Jarang sekali dua bersaudara yang terpaut umur satu tahun memiliki kemistri yang kuat sekaligus lembut seperti mereka. Kalau kebanyakan saudara akan mengeluh dan ribut hanya karena berebut mainan atau semacamnya, Salim dan Salma malah sebaliknya. Mereka bisa berbagi dengan mudah, saling membantu, saling memuji, saling melindungi, dan saling melengkapi.

Akan tetapi, saat kembali pada pendidikan dasar militer atau kedokteran, mereka akan terlampau serius mempelajarinya. Oh, tentu saja itu adalah awal yang bagus. Namun kekhawatiran keluarganya akan pemahaman tentang keikhlasan dalam berjuang, perlahan muncul ke permukaan. Bagaimana kalau dewasa nanti mereka merasa minat dan bakatnya telah dirampas oleh keluarganya? Bagaimana kalau mereka menjadikan perjuangan itu sebagai sebuah kewajiban yang tidak manusiawi karena mereka merasa dipaksa? Terlebih ketika Salma kecil dengan polosnya bertanya pada sang Kakek, setelah ia mendapatkan asupan panjang tentang Nakba saat akan terlelap.

“Apakah hanya tentara dan dokter saja yang bisa menjadi pejuang kemerdekaan? Apakah Nenek Nabil dan keluarganya yang setiap hari memetik buah zaitun tidak bisa menjadi pejuang kemerdekaan? Apakah aku dan Salim tidak bisa berjuang dengan cara kami? Kakek pernah bilang, pena adalah senjata. Pena bisa lebih tajam daripada pedang. Lalu, kenapa aku tidak bisa berjuang dengan pena sebagai pedang?”

Pada akhirnya mereka tetap mendapatkan pelatihan pertahanan fisik atau ketangkasan hingga matang dan dilepas dengan sukarela untuk memilih hidup seperti apa yang mereka inginkan. Dengan tujuan yang masih sama … kemerdekaan. Salma memilih untuk menjadi jurnalis. Kemudian memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan kesadaran dunia tentang krisis kemanusiaan di Palestina sejak berumur dua puluh tahun, sementara Salim mengambil Sastra Inggris dan menekuni hobinya dalam gambar dan fotografi.

Kenangan itu terasa jelas terputar dalam ingatan Salma, oleh karena itu ketika mendengar kalimat Salim yang terakhir, sebutir bening dari lekuk matanya menetes begitu saja. Salma buru-buru berpaling dan menyeka air matanya. Ia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi. Ia sudah berjanji untuk tidak membebani adiknya lagi. Sejak kecil ini adalah pilihannya. Dan sampai detik ini dia tidak pernah menyesali itu. Bahkan hingga detik terakhir itu tiba, akan ia pastikan untuk tidak akan pernah menyesalinya.

“Ngomong-ngomong bagaimana keadaan di Rumah Sakit? Kau belum mendapatkan informasi apa pun dari Laila dan Yazed hari ini,” suara Salim yang berusaha mencairkan suasana.

“Entahlah. Hanya Malik yang menanyakan keberadaan kita, tapi pria itu tidak membalas kalau aku bertanya keberadaannya.”

“Mungkin dia terlalu sibuk. Tapi … ya, Malik memang selalu mengkhawatirkan kita. Nyaris tidak ada hari tanpa SMS darinya yang bertanya, kita ada di mana.

Salma membuka mulutnya, hendak menjawab ketika mendengar Salim terkekeh, tapi siluet yang muncul dari pendar cahaya di kejauhan membuat ia mendadak waspada.

“Kudengar ada informasi tentang evakuasi … bagaimana kalau kita ….”

“Menepi!”

“Apa?”

Salma menatap Salim di balik kemudi dan menekan suaranya. “Kita harus segera menepi!”

Salim langsung patuh. Ia memeriksa sekitar terlebih dahulu lalu menepi ke antara dua mobil yang terparkir di pinggir jalan. Ketika mengikuti sorot mata Salma yang membola, ia pun menyadari pergerakan aneh yang Salma maksud. Tepat di ujung jalan kecil yang mereka lalui, Salim bisa melihat dua buah tank IDF memaksa masuk ke jalanan sempit.

Menyadari jalanan berdebu di antara rumah penduduk itu hanya bisa dilewati oleh satu mobil secara aman, atau dua mobil jika bisa berdesakan tanpa menghasilkan baret, Salim berusaha menempelkan tubuh mobil yang ia kendarai pada tembok dengan aman dan susah payah.

“Sepertinya, mereka bergerak ke arah kita,” bisik Salma, “Sebaiknya kita keluar sebelum mereka semakin dekat.”

Salim menggeleng cepat. Ia buru-buru mematikan mesin mobil dan mengingatkan Salma tentang tuas jok. Dengan gerakan cepat tanpa cela, mereka merebah bersama badan jok yang jatuh ke belakang. Sementara kucing abu yang semula duduk di tengah, langsung meloncat dan meringkuk di dada Salim.

Pendar cahaya memantul sedikit demi sedikit. Menerobos ke dalam mobil dan menghasilkan remang mengerikan yang membuat Salma menahan napas. Ia mencari-cari Salim dan mendapati adiknya itu meringkuk dengan tangan yang berpegang erat pada pintu mobil dan sikunya.

Lihat selengkapnya