Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #11

Wahai, Hari yang Damai!

"A threat to humanity anywhere should be a threat to humanity everywhere."—Plestia Alaqad

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Suasana rumah sakit As Syifa tidak terkendali. Ambulan, mobil sipil, truk, toktok, dan bahkan delman, berebut di halaman rumah sakit untuk menurunkan pasien-pasien terluka yang mereka bawa. Suara tangis dan teriakan bercampur aduk dengan suara klakson-klakson memekakkan telinga.

Salim dan Salma bergerak bagai peluru, sangat cepat keluar dari mobil, memapah Kakek Zeus dan cucunya untuk mendapatkan penanganan segera, sementara Salim segera melesat mencari tempat parkir karena kendaraan di belakangnya semakin lengking memekikkan klakson. Riuh dan padat. Syukurnya orang-orang di sana begitu peka. Mereka langsung sigap membantu Salma ketika melihat Kakek Zeus menyeret kakinya yang pincang sementara cucunya langsung ditandu.

Setelah memastikan Kakek Zeus dan cucunya mendapatkan perawatan, Salim berputar-putar mencari Salma di tengah keramaian. Satu tangannya bergerak merogoh ponsel, lalu menelepon kakaknya itu, sementara maniknya bergerak meneliti satu demi satu perempuan berjilbab hitam yang ia temukan.

“Kau di mana?” tanyanya dengan napas tersengal, lalu memutar tubuhnya sekali lagi, memeriksa sekitar dengan ponsel yang masih menempel di telinga. “Aku masih di dalam … apa? Aku tidak bisa mendengar suaramu, di sini terlalu ramai … baiklah, aku akan ke sana.”

Dengan tergesa-gesa Salim menarik dirinya keluar dari rumah sakit. Namun, baru saja ia menginjakkan kaki di teras, berondong peluru yang entah datang dari mana tiba-tiba membuat kekacauan. Salim tiarap otomatis. Suara jeritan melengking bersamaan dengan derap puluhan pasang kaki yang tunggang langgang mencari tempat untuk bersembunyi, dan memenuhi telinganya. Salim bangkit dan menarik siapa pun di sekitarnya untuk masuk ke dalam rumah sakit lebih dulu. Tembakan peluru terdengar lagi, Salim mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dalam satu gerakan singkat, lalu berlari masuk saat tidak menemukan siapa pun. Sekejap kemudian, lampu di bangunan rumah sakit langsung padam, menghasilkan kegelapan total yang menegangkan.

Untuk beberapa detik, Salim berusaha menstabilkan napas dan menempelkan punggungnya di dinding. Bersama dengan puluhan warga, mereka meringkuk dengan napas terengah-engah. Beberapa di antaranya berusaha menahan tangis dan menyumpal mulut mereka rapat-rapat, sementara sisanya berusaha menenangkan. Suara tembakan itu mereda, disambut dengan suara di dalam rumah sakit yang berubah gaduh ketika lampu-lampu kembali menyala. Tenaga medis dan volunteer lalu lalang dengan gerakan bagai kilat untuk menangani pasien di seluruh penjuru. Saat itulah Salim teringat Salma. Perempuan itu sedang berusaha membantu Laila mengevakuasi pengungsi yang ada di belakang rumah sakit.

Meski keringat terasa membanjir di pelipis, Salim berusaha menghubungi Salma kembali. Namun, suara rentetan tembakan itu terdengar lagi, kali ini terdengar lebih dekat di arah pintu masuk kamp pengungsian di samping rumah sakit. Salim buru-buru bangkit dan melesat melewati orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri dan pasien-pasien yang masih ditangani, mencari pintu keluar dari arah belakang. Bahkan sebelum kakinya sampai di depan pintu, Salim sudah meraih knopnya, dengan satu putaran singkat pintu itu langsung terbuka.

Akan tetapi sebelum berhasil melesat keluar, Salim mendengar sayup-sayup suara tarikan pelatuk. Kedua tangannya terangkat secara otomatis bersamaan dengan napasnya yang tertahan.

“Kami prajurit kemerdekaan. Para pengungsi sudah aman,” celetuk suara itu.

Salim mengerjap, merogoh ponsel dalam saku celananya dan menyalakan senter dengan cepat. Mencari-cari sumber suara dan benar ... tiga orang pasukan pejuang kemerdekaan dengan kafiyeh khas yang menutupi wajah mereka, tengah berdiri di balik tenda pengungsian dengan senapan siaga di tangan.

Akhirnya, Salim menghela napas lega.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Malam yang hanya diterangi oleh remang-remang bulan terselimuti oleh bayangan pohon-pohon zaitun yang rapat. Suram dan dingin. Salma dan puluhan anak di sana berdesakan di bawah cabang-cabang pohon, mencari perlindungan, meski rasa rentan dan terancam itu enggan enyah dari sisinya. Desir angin bercampur dengan suara tembakan, menggetarkan telinga dan sekujur tubuh Salma. Ia meringkuk semakin dalam, berusaha memeluk beberapa anak yang mampu direngkuh oleh lengannya yang kecil. Dalam gelap, ia bisa melihat daun-daun zaitun bergetar, seolah ikut merasakan ketegangan dan kecemasan yang sama. Kemudian manik Salma bergerak-gerak dalam gelap, mencari-cari Salim ke arah bangunan rumah sakit yang menjulang di ujung pandang.

Di sela-sela pohon yang lebat, Salma mendengar beberapa warga saling berbisik dalam keputusasaan. Dengan sabar, ia berusaha menenangkan mereka dan anak-anak yang ketakutan. Ia juga berusaha meyakinkan hatinya kalau adiknya baik-baik saja dan akan segera datang.

“Salma.”

Salma langsung terlonjak. Maniknya yang berkaca-kaca menemukan rating pohon zaitun yang bergerak-gerak. Cahaya kecil menerobos, kemudian ranting-ranting di sana tersingkap dengan cepat. Ia memeriksa anak-anak dalam dekapannya, kemudian orang-orang di belakangnya, tapi mereka tidak bereaksi. Apakah hanya Salma yang mendengar suara itu?

“Salma?”

Sekali lagi. Salma langsung menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang pemuda yang berlari-lari kecil dengan senter ponsel yang menyala terang.

“Salim!” seru Salma sembari bangkit dan mendekat, mendapati adiknya datang dengan tubuh basah oleh keringat. “Kau tidak apa-apa?”

Salim menggeleng. Ia langsung memeluk Salma dengan erat.

“Aku baik-baik saja,” lirihnya di telinga Salma, sedetik sebelum perempuan itu melepas pelukannya.

Seketika rasa lega menyelimuti hati Salma menemukan adiknya baik-baik saja.

Salim terlihat mengedarkan pandangan di tengah-tengah pendar cahaya dari senter di ponselnya. “Di mana Laila, Yazed, dan yang lainnya?”

“Aku di sini,” sahut seseorang di tengah kegelapan, sebelum Salma dapat menjawab. Senter ponsel yang menyala menampilkan wajah Laila agak jauh di belakang Salma. “Yazed membantu Khanza dengan sukarelawan lain di dalam. Sementara kami langsung mengungsi setelah mendapatkan telepon dari Malik.”

“Malik?” tanya Salim, sementara kakinya mengikuti Salma untuk mendekat. “Bukannya kau mengungsi setelah Salma meneleponmu?”

Laila menggeleng. “Malik meneleponku lebih dulu. Setelah Pasukan pejuang kemerdekaan datang, barulah Salma menelepon,” jelasnya, “Ngomong-ngomong, aku sangat bersyukur para pejuang datang lebih cepat sebelum IDF. Katanya, mereka berhasil melenyapkan tank penjajah di dekat jalan utama ….”

Laila bercerita proses evakuasi yang berjalan dramatis. Wajahnya berseri-seri setiap kali menyebut nama “pasukan pejuang kemerdekaan” yang tiba-tiba datang bak malaikat penyelamat saat ia kebingungan mendengar instruksi dari Malik.

Lihat selengkapnya