"Their voices will forever haunt us. What's even worse ...? There are many voices left unheard."—Plestia Alaqad.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Malam yang benar-benar panjang, di dunia yang benar-benar mengerikan, batin Salma.
Ia menarik kesadarannya kembali ketika menyadari mobil yang ia tumpangi berjalan semakin pelan hingga nyaris tak bergerak.
“Kau mengemudi lebih lambat dari pada almarhumah Nenek Nabil, Salim,” protesnya dengan nada tajam.
“Kita harus waspada,” sahut Salim. Terdengar seperti tidak berniat untuk menambah kecepatan sama sekali.
Salma hanya menghela napas, lalu mendaratkan tangannya ke pucuk kepala kucing abu yang tertidur pulas di pangkuan Salim. “Kurasa dia tersiksa selama kau mengurungnya di sini. Lihat! Sekarang dia sudah pulas karena terlalu sesak di dalam mobil yang mati.”
“Aku tidak mengurungnya,” elak Salim dengan cepat. “Aku terlalu buru-buru sampai lupa membawanya keluar.”
“Benarkah?” sahut Salma sambil menyeringai. Ia menarik tubuhnya dan langsung bersedekap. “Bukankah dulu kau selalu mengurung kucing di dalam kamarmu?” godanya.
“Itu dulu, karena kau selalu mengusir kalau menemukan ada kucing di dalam rumah.”
Salma tertawa melihat raut Salim yang kesal. “Aku bukan mengusirnya. Aku hanya membiarkan mereka hidup dengan bebas. Lagipula kau selalu telat memberinya makan dan sangat malas membersihkan kotorannya.”
Salim memeriksa kucing abu di pangkuannya sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengelak. Namun, tidak ada. Apa yang Salma katakan memang benar.
“Sekarang aku tidak akan mengusirnya. Lagipula kita sudah tidak punya rumah.”
Salim melirik Salma, kakaknya itu tersenyum padanya, tapi senyumnya terlihat sendu, membuat Salim buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong … kau kenal dokter itu?”
“Dokter yang mana?”
“Yang rambutnya pirang.”
Salma menoleh. Mendapati Salim menatap lurus ke depan. “Bicaralah yang jelas,” tukasnya.
“Dokter sukarelawan yang kubantu menangani Yusuf dan Amir.”
“Aku bahkan tidak tahu Yusuf dan Amir yang kau maksud.”
“Astagaaa.” Salim tiba-tiba mendesah, membuat Salma mengernyit bingung. “Dia menatapmu terus-menerus seperti ini ....” Salim masih menatap ke depan, tapi ekspresinya agak berubah menjadi sedikit aneh, bola matanya membesar.
Salma yakin, siapa pun yang ditatap seperti itu pasti merasa ngeri.
“... nyaris tidak berkedip.”
Salma menyentuh wajahnya, lalu mengarahkannya ke layar ponsel yang ia pegang dalam cahaya remang-remang. “Mungkin karena wajahku kotor,” cetusnya, menimbang-nimbang, lalu menoleh pada Salim. “Aku harus cuci muka di rumah paman Usman. Cepatlah sedikit! Sekarang kau mengemudi lebih lambat daripada siput,” tukasnya dengan nada agak tinggi.
Salim melirik Salma tanpa kata. Lalu benar-benar menambah kecepatan, tapi hanya sampai beberapa meter saja sebelum mobil yang ia kemudi kembali bergerak lambat—lebih lambat daripada siput, seperti yang Salma katakan.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Apa yang dia pikirkan sampai menatapmu seperti itu?” gumam Salim seolah-olah tidak mendengar pertanyaan Salma. Sedetik kemudian barulah ia menoleh dan bertanya dengan lebih jelas lagi. “Kau tidak menyadarinya?”
Salma menghela napas dan menggelengkan kepala pada Salim. Ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang adiknya bicarakan kali ini. Salim benar-benar membuatnya bingung.
“Tatapannya jelas terlihat seperti ….”
“Seperti?”
Salim mengangkat kedua bahu, lalu menurunkannya bersama helaan napas yang terdengar berat dan dibuat-buat. “Entahlah, yang jelas aku tidak suka memikirkannya.”
Salma menggeleng sambil memukul bahu Salim. “Kau ini ada-ada saja. Untuk apa pula kau memikirkannya?”
Salim menatap Salma sebentar, lalu menghela napas lagi. Membuat Salma agak jengkel. “Namanya Evans. Setidaknya begitulah Khanza dan orang-orang di rumah sakit memanggilnya.”
“Kau mengenalnya?”
Salim menggeleng, lalu mengangguk, membuat Salma kembali mengernyit. “Dan dia datang dari Norwegia, Organisasi NRC.”
“Tapi matanya tidak biru, seperti orang Norwegia yang kutahu.”
“Matanya berwarna hijau seperti—” Mata Salim terbuka lebar menatap Salma. “Jadi, kau tahu yang kumaksud?”
“Sepertinya … iya.”