"At this point, I just feel speechless and I'm only asking myself one question 'until when?'"—Plestia Alaqad.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Baru saja beberapa minggu menggelandang, rasanya sudah seperti berabad-abad. Setiap perjalanan berujung buntu, tanpa ada titik akhir. Semua sudut terlihat serupa, memerlukan kesadaran ekstra untuk mengenalinya. Ada rasa asing yang begitu menyiksa di tanah kelahirannya sendiri. Membuat Salim bertanya-tanya, apakah dia masih berpijak di bumi atau sudah terlempar ke planet lain yang tak ia kenali.
Di kaki langit pesisir Gaza, seorang wanita berjilbab hitam kusut, mengenakan rompi pers tanpa helm, duduk lemas di atas pasir cokelat. Ujung jilbabnya berkibar diterpa angin. Dengan langkah terseok, Salim mendekat, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas pasir, tepat di samping perempuan itu, disertai dengan erangan lelah yang menyayat hati.
“Syukurlah kau kembali,” celetuk Salma di telinganya.
Salim tidak bisa menangkap raut kakaknya itu, karena ia benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka mata. Setelah selama hampir dua jam berjalan ke sana ke mari hanya untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan, tapi nihil. Hanya lelah yang ia dapat.
Minggu pertama menggelandang, rasanya tidak begitu buruk. Lapar dan dahaga masih bisa ditaklukkan dengan beberapa biji kurma dan air seadanya. Kulit mereka masih bisa menoleransi air laut untuk wudu dan mandi. Mereka juga masih bisa menemukan matras usang untuk beristirahat di malam hari. Dan gedung-gedung kosong yang masih berdiri, bisa mereka tempati meskipun tidak layak huni.
Akan tetapi di minggu-minggu berikutnya, semua menjadi kian berat. Pembatasan truk bantuan yang menyeberang ke Rafah, mengakibatkan kelaparan yang semakin menyiksa, karena tidak semua tempat di Gaza berhasil dijamah. Kulit yang terus-menerus terkontaminasi air laut perlahan menjadi kering dan kusam. Gedung-gedung kosong yang semula mereka tempati dihancurkan satu per satu. Tidur malam tanpa selimut dan alas yang benar membuat tubuh mereka benar-benar tersiksa, hingga mereka tidak bisa bekerja maksimal keesokan harinya. Sementara itu, mereka harus terus melaporkan apa yang terjadi di lapangan ke pada dunia, tak peduli mereka kelaparan atau malah sekarat, seperti sekarang.
“Bangunlah!”
Salim merasakan guncangan hebat di sekitarnya, tapi ia benar-benar tidak memiliki tenaga untuk berlari menyelamatkan diri.
Baru setelah sesuatu yang dingin terasa mendarat di jidatnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membuka mata. Sesuatu yang bening terlihat menjulang di atas matanya. Tampak seperti gelombang segar dalam sebuah wadah bulat yang panjang. Air!
Salim buru-buru menyambarnya. Menarik tubuhnya sambil membuka tutup botol dengan satu gerakan cepat, lalu meneguk isinya hingga tandas.
“Minumlah dengan pelan dan jangan lupa berdoa.”
Begitu menyadari kata-kata kakaknya, minuman di tangan Salim sudah berubah menjadi titik-titik kecil di dinding botol. Ia menoleh dan mendapati Salma tersenyum menatapnya. “Maaf … habis,” gumamnya, merasa bersalah. Lalu mengucapkan doa yang sempat terlupa.
“Tenang saja. Aku mendapatkan tiga botol. Dan aku sudah minum satu botol sebelum kembali,” jawab Salma yang langsung membuat bahu Salim melesak turun, merasa lega.
“Di mana kau mendapatkannya?”
“Gedung di sana.” Salma menunjuk ke belakang dengan jarinya. “Tapi banyak orang yang mengantre. Aku tertidur, dan setelah bangun, aku mendapati botol-botol ini sudah terisi.”
Salim tercengang mendengar cerita singkat dari kakaknya. “Kita perlu berterima kasih pada orang baik hati itu.”
“Aku akan melakukannya andai tahu siapa dia,” sahut Salma, kemudian mengambil sesuatu di sebelahnya. “Dan yang lebih hebatnya lagi, mereka meninggalkan ini.”
Salim menemukan dua buah roti dan dua buah mie instan di tangan Salma. Ia menatap benda itu cukup lama, lalu mengangkat wajahnya dan menatap wajah kusam Salma di tengah suara deburan ombak. “Semoga Allah membalas kebaikannya, siapa pun dia.”
Salma mengaminkan dan segera membuka bungkus roti di tangannya. Roti yang hanya sebesar telapak tangan orang dewasa itu dibaginya menjadi dua bagian sama rata. Selai stroberi berwarna merah meleleh di tengah-tengah tekstur roti yang lembut dan gemuk, membuat jakung Salim naik turun menelan liur. Ia menerima sepotong roti yang diulurkan Salma dengan senang hati dan langsung menyantapnya dengan sukacita. Entah sudah berapa lama mereka tidak menyantap makanan yang layak. Yang jelas sekarang, sepotong roti itu terasa sangat berharga. Salim bahkan berniat mengunyahnya lima puluh kali sebelum memutuskan untuk menelannya. Memastikan seluruh rongga mulutnya merasakan kenikmatan.
Setelah sepotong roti itu habis, Salma langsung beralih pada sebungkus mie instan. Menyisakan sebungkus roti dan sebungkus mie instan lagi yang rencananya akan disantap di hari berikutnya. Mereka harus ekstra irit. Karena perang kali ini memberi pelatihan kesabaran yang benar-benar rumit.
“Apa yang kau perhatikan?” tanya Salma sambil meletakkan sebungkus mie instan yang siap disantap di antara mereka, ketika ia menyadari Salim memperhatikan wajahnya cukup lama.
Salim tidak menjawab, ia meraih potongan mie instan kering dan mulai menyantapnya tanpa kata. Salma juga melakukan hal yang sama. Untuk beberapa saat mereka tenggelam dalam kenikmatan makan sore sederhana sambil menatap ombak laut.
“Andai saja air laut tawar,” gumam Salim sembari mengamati ombak kecil yang menghempas bibir pantai.
“Maka penjajah juga akan berperang dengan ikan, karena mengeklaim laut sebagai wilayah kekuasaan mereka,” cetus Salma hingga membuat Salim tertawa.
“Masuk akal,” sahut pria itu di sela tawanya.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Jika ada seseorang yang bertanya tentang apa yang paling indah di Gaza, maka Salma akan menjadi yang paling lantang menjawab, pantai! Bahkan setelah kota ini hancur, pantainya masih tetap indah. Setidaknya tidak ada reruntuhan yang menghalangi sejauh mata memandang, membuat Salma yakin, selalu ada yang bisa disyukuri di setiap langkah dalam hidup ini. Walaupun hanya sepotong roti dan sebungkus mie instan di tepi pantai yang sepi, misalnya.
“Jadi, kau sudah memberinya nama?” Kucing abu yang menyantap sisa mie instan di pangkuan Salim yang Salma maksud.
“Aku ingin memberinya nama Sofia, tapi setelah kuperiksa, ternyata dia laki-laki,” jawab Salim sambil mengelus pucuk kepala kucing itu.