"The everyday messacres is a tragedy that the world has so far failed to put an end to."—Motaz Azaiza.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
“Ketika kau membaca atau menonton film, lalu menemukan kesedihan di sana, kau pasti yakin, di lembar berikutnya, atau di menit berikutnya kau akan menemukan sesuatu yang melegakan ... sesuatu yang menyenangkan. Sayangnya, di sini tidak begitu. Meski kau balik jutaan kali, lembaran yang kau temukan hanya berisi nama-nama orang yang telah tiada. Tempat-tempat yang sudah hancur, kebohongan-kebohongan yang terus bertambah … sampai kau bosan. Sampai kau ingin menghentikannya dengan menekan tombol off atau menutup buku itu dan meletakkannya kembali ke atas rak.
“Sayangnya, meskipun kau melakukan itu pada kisah kami. Kami akan tetap di sini. Sakit yang kami rasakan tidak turut berhenti. Dan mungkin, sampai kisah kami selesai, sakit yang kami rasakan tidak akan berhenti.”
Salma menunduk. Menyeka air matanya, lalu menghentikan video yang ia rekam dan berniat untuk mengunggahnya di tengah kegaduhan Kamp pengungsian As Syifa yang baru saja mereda.
“Kalian bosan? Aku juga bosan. Namun bosan bukan alasan yang tepat untuk berhenti di sini, kan?” tulis Salma dalam keterangan video yang hendak diunggahnya.
Setelah sekian menit berkutat dengan benda pipih itu, akhirnya ia memutuskan untuk mengunggahnya meskipun menyadari jaringan internet masih belum tersedia.
Mengingat satu jam yang lalu, penjajah dengan bengis menembakkan artileri berisi bom yang langsung meledak dan menghancurkan jalanan di depan rumah sakit. Sedetik kemudian mereka kembali menembakkan artileri yang sama dan membakar tenda-tenda bersama puluhan anak dan warga yang terlelap di dalamnya. Selama beberapa saat, Salma tak bisa berbuat apa-apa selain menatap kobaran api yang berusaha dipadamkan, kemudian ia dan volunteers di sana berusaha menyelamatkan siapa saja yang bisa diselamatkan.
Salim luntang lantung membawa anak-anak yang terluka ke dalam rumah sakit. Namun, karena keadaan yang tidak memungkinkan saat rumah sakit sudah penuh, beberapa paramedis memutuskan untuk langsung memberikan penanganan pertama di tempat. Salma turut membantu mengobati luka dan menenangkan anak-anak yang selamat dan mengalami syok.
Sementara itu ia melihat seorang wanita berompi pers yang samar-samar muncul dari balik asap dan debu. Laila berlari dengan latar belakang kobaran api, menggendong seorang anak laki-laki yang lunglai dengan luka di sekujur tubuhnya. Laila melepas anak itu di atas tandu, kemudian paramedis mulai mengambil alih, sejurus kemudian Laila ambruk di sisi anak itu.
Salma buru-buru menyeret kakinya menghampiri Laila. Untuk beberapa saat, mata mereka bersirobok sebelum tangis Laila pecah di udara. Tangis yang begitu menyayat hati. Mengingatkan Salma akan amarah yang berusaha ia tahan. Dalam kurun waktu hampir dua bulan, lebih dari sepuluh ribu warga Palestina dinyatakan meninggal. Bahkan ada lebih banyak lagi yang terlewat dari hitungan, dan sebagian besar dari mereka selalu saja anak-anak dan perempuan. Generasi penerus yang sangat berharga bagi tanah Palestina. Seakan itu masih belum cukup juga, malam ini kembali, bom penjajah merenggut nyawa-nyawa yang tak bersalah tanpa belas kasihan.
Mata Salma menangkap anak laki-laki di atas tandu yang diselamatkan oleh Laila. Moncong ambu bag menutup mulut dan hidung anak itu sementara kedua matanya terpejam. Paramedis dengan sabar memompa udara untuk membantu anak itu bernapas secara manual. Namun, tak ada tanda-tanda kalau anak itu akan segera sadar. Salma menatapnya dengan cemas. Sejurus kemudian seorang pria bertubuh tinggi tegap berjubah putih—yang nyaris berubah warna menjadi abu karena debu dan asap—datang dan mengambil alih.
Ia melepaskan ambu bag dengan gerakan cepat, lalu menempelkan telinganya di dada anak itu. Satu jarinya bergerak gesit memeriksa denyut nadi di tangan dan leher, kemudian ia melakukan kompresi dada dengan gerakan yang benar-benar cepat, sampai Salma menyadari, tidak sedetik pun pria itu perlu berpikir untuk mengambil tindakan. Gerakannya seolah-olah sudah diatur dan terjadi secara otomatis.
“Bag valve mask," celetuk pria itu dengan suara tenang, kontras dengan rautnya yang terlihat cemas menatap wajah anak di bawahnya.
Seorang paramedis yang sedari tadi memegang ambu bag dengan cepat memasang benda itu ke wajah sang anak.
“Rapat? Tidak ada kebocoran udara,” lanjutnya, dengan tetap melakukan kompresi dada tanpa peduli dengan keringatnya yang menggantung di pelipis.
“Sudah, Dokter.”
Salma melihat dahi anak itu mulai berkerut, bahunya sedikit bergerak saat dokter menarik tangan dari dadanya. Rasa lega terasa begitu nyata saat paramedis turut melepas ambu bag dari wajah anak itu, hingga anak itu meringis dengan mata terpejam, sedetik kemudian ia mulai merengek dengan tubuh bergetar.
“Menangislah,” bisik Sang Dokter hingga anak itu benar-benar menangis.
Debu di sekitar lekuk matanya mulai menghitam akibat air mata, sama seperti goresan-goresan di wajahnya yang mengeluarkan darah segar. Salma tak bisa membayangkan bagaimana takutnya anak itu sampai seluruh tubuhnya tidak bisa berhenti bergetar, meskipun sekarang ia sudah sadar dan membuka kedua matanya.
Sementara bahu dokter yang tadinya tampak tegang melesak turun, seiring dengan bokongnya yang menyentuh tanah. Seolah-olah ada beban berat yang baru saja lepas dari sana. Tangan pria berjubah putih itu mengisyaratkan volunteer di sekitar untuk segera menandu anak itu masuk ke dalam rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut.
"Honestly, I'm tired of hearing all the crying,” tukas pria itu sambil melirik Salma sekilas. Bahasa inggrisnya sangat fasih, membuat Salma tertarik untuk memperhatikannya lebih lekat. “Terutama tangis anak-anak. Tapi kau tahu, Salma?”
Salma mengerjap. Ia tidak merasa mengenal pria berjubah putih itu. Rambutnya yang terlihat coklat keemasan dalam cahaya remang tentu menjelaskan kalau dia bukan orang Timur Tengah. Dan seingat Salma, dia tidak memiliki teman, kerabat, atau kenalan orang Eropa. Etnis yang ia simpulkan dari wajahnya yang cerah dan warna bola matanya yang terlihat berbeda, entah abu atau biru, yang jelas bisa dipastikan warna itu tampak terlalu asing bagi Salma.
Seolah-olah tak peduli dengan reaksi Salma, pria itu melanjutkan, “Mendengar tangis mereka lebih baik daripada menemukan mereka diam. Menurutmu, apa yang akan terjadi kalau anak itu tidak menangis?”
Salma tak menjawab, tapi ia mengerti. Salim pernah mengatakan hal serupa, saat ia menemukan Lili di bawah reruntuhan. Ia pikir anak itu sudah meninggal karena tidak ada tanda-tanda kehidupan yang Salim rasakan saat membopongnya berlari menuju ambulan. Dalam perjalanan yang sangat singkat itu, mulut Salim tidak berhenti bergerak untuk meminta anak itu menangis. Begitupula saat mereka berada dalam ambulan dengan dua bayi dalam pangkuan. Satu bayi menangis lantang dan satunya lagi lunglai dalam dekapan. Betapa suara tangis menjadi suara yang amat sangat diharapkan pada saat-saat seperti itu.
Pria berjubah putih itu kemudian memalingkan wajah dari Salma ketika Salma menoleh dan manik mereka nyaris bertaut. Ia mengangguk pelan, seolah-olah bisa melihat memori yang Salma putar dalam ingatannya. Tanpa mengatakan apa pun, ia langsung bangkit dan melanjutkan tugasnya menangani pasien-pasien lain yang membutuhkan pertolongan.
“Apa yang terjadi?” tanya Salma begitu menyadari tangis Laila dalam pelukannya mulai reda. “Di mana Listia dan Amara?”
Salma tahu Laila masih tersedu dan sulit untuk mengeluarkan suara. Oleh karena itu ia berusaha menenangkan Laila dengan mengeratkan pelukannya dan mengusap bahu ibu dua anak itu dengan lembut.
“Malik menelepon lagi,” celetuk Laila.