Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #14

Suatu Hari Nanti

"Everyday I'm losing more and what I succeeded to achieve is nothing compared to my losses."—Motaz Azaiza.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Salma terduduk di antara jenazah Paman Usman dan istrinya, ketika Yazed, Aziz, dan beberapa volunteer berompi oranye yang tak sempat Salma perhatikan, menerobos masuk ke dalam rumah Paman Usman.

“Apa yang terjadi di sini, Salma?” tanya Yazed, “Salim menelepon dan mengatakan ia sedang membawa seorang anak yang terkena luka tembak, sehingga meminta kami untuk datang ke sini.”

Salma menengadah, melihat wujud Yazed dengan mata sembab. Suara pria itu terdengar khawatir dengan napas terengah-engah.

Ia memberikan gelengan sebagai jawaban, karena ia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini. Saat tiba di sini ia hanya menemukan seorang anak perempuan yang terluka, kemudian Paman Usman yang terduduk kaku, bersandar di badan bufet dengan tubuh bersimbah darah. Salma bahkan tidak mampu menghitung berapa persisnya jumlah peluru yang menembus tubuh pria tua itu. Sementara perempuan paruh baya yang Salma yakini sebagai istri Paman Usman, terbujur kaku di depan pintu kamar yang terbuka, dengan kondisi yang sama.

“Kau mengenalnya?” tanya Aziz. Pria itu menumpukan satu lututnya di hadapan Salma.

Salma mengangguk. Tangis dan marah mencekat tenggorokannya hingga ia tidak bisa langsung menjawab dengan suara.

Beberapa sukarelawan berompi oranye kemudian memeriksa tubuh Paman Usman, sebelum memasukkan jenazahnya ke dalam kantung berwarna putih. Salma hanya memperhatikan tanpa mengatakan apa pun hingga Aziz kembali menghampirinya dan menyodorkan sebuah ponsel yang layarnya terkena bercak darah. Sebelum Salma meraihnya, Aziz lebih dulu menyeka darah itu dengan ibu jarinya.

“Mungkin kau bisa mencari sanak saudaranya yang bisa dihubungi di sini.”

Salma menatap Aziz, pria itu mengangguk meyakinkan, Salma pun meraih ponsel itu meskipun ia tidak langsung memeriksanya seperti yang Aziz katakan.

“Belum dua puluh empat jam kami mengenalnya. Beliau adalah Dosen Pendidikan di Universitas Al-Azhar, namanya Usman Ali Hasyim ….” Salma menjelaskan semua hal yang ia tahu tentang Paman Usman, sementara Aziz menyimak dengan seksama sembari sesekali mengangguk.

“Baiklah, kalau begitu sebaiknya kita segera kembali,” usulnya, “Sepertinya, seseorang yang terluka yang Salim bawa ke rumah sakit adalah putri bungsu Tuan Usman.”

Salma mengangguk. Ia bangkit lalu mengikuti Salim dan Yazed, keluar dari rumah paman Usman dengan langkah gontai.

“Oh iya. Sebaiknya kau segera menghubunginya,” peringat Aziz sekali lagi.

“Siapa?”

“Bukankah kau mengatakan ada putri Tuan Usman yang menikah ke Inggris?”

“Kau benar,” gumam Salma, lalu buru-buru merogoh ponsel di saku rompinya.

Baru saja ia mendapatkan benda itu, ponsel di saku kemeja bagian dalamnya bergetar, bersamaan dengan beberapa notifikasi singkat yang terdengar menyahut di sekitarnya.

Ia, Aziz, dan Yazed saling melempar pandang selama beberapa saat sebelum sama-sama memeriksa ponsel masing-masing.

“Di mana pun kepala Elnajjar terlihat, di sanalah kami akan menjatuhkan bom! Elnajjar adalah teroris! Mereka bekerjasama dengan Hamas!”

“Ini sama sekali tidak ada kaitannya.”

“Percayalah, mereka hanya menggertak.”

Tukas Aziz dan Yazed dengan cepat ketika mata mereka kembali menatap Salma. Sementara Salma tak merespons, ia mematut diri pada sebaris pesan singkat itu sampai semakin lama semakin terlihat kabur dari pandangan. Sebelum akhirnya Salma tersadar karena ponsel di tangannya bergetar lagi, kali ini tidak bisa berhenti sampai ia menerima panggilan yang masuk.

“Kau di mana? Kau juga menerima pesan itu?” Menyadari Salma tidak menyahut, Laila di seberang telepon buru-buru melanjutkan, “Apa pun yang mereka katakan, percayalah mereka hanya ingin melihat kita hancur dari dalam, Salma. Jadi, kau tidak perlu khawatir. Kembalilah bersama Yazed dan Aziz. Mengerti?”

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Besi-besi kecil mencuat dari lubang besar di atas plafon dengan bentuk yang tidak teratur, diikuti oleh cahaya mentari yang menyinari seluruh sudut lorong sempit itu di pagi hari yang sendu. "Akibat bom yang jatuh, tapi gagal meledak," kata salah seorang saksi mata. Entah bisa disebut sebagai keberuntungan atau tidak, yang jelas siapa pun yang melihatnya sekarang pasti akan merasa lega membayangkan betapa mencekam situasi di sini saat baja mematikan itu mendarat.

Salim akhirnya melepas bokong di salah satu bangku besi memanjang yang terletak berhadapan di sisi kiri dan kanan lorong, setelah hampir satu jam ia hanya berdiri dan bersandar di dinding lorong yang sepi. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri dalam waktu yang cukup lama, memusatkan perhatian pada setiap sudut lorong, meskipun tidak ada yang menarik sama sekali.

Anak perempuan yang ia bawa dari rumah Paman Usman beberapa saat yang lalu, sekarang sedang menerima operasi darurat karena mengalami pendarahan yang cukup parah, akibat peluru yang bersarang di rongga perutnya. Untuk beberapa saat, Salim hanya bisa berdoa, tanpa bisa fokus memikirkan hal lain, hingga seseorang datang dan menepuk bahunya.

Yazed dengan raut lelah yang berusaha tersenyum. Entah perasaannya atau memang benar, Salim melihat Yazed makin kurus belakangan ini. Hal itu membuat Salim langsung memeriksa dirinya sendiri sembari menimbang, apakah dia juga terlihat seperti itu?

“Makanlah,” ucap Yazed sembari menyodorkan plastik kecil berisi beberapa biji kurma berwarna cokelat.

Tanpa pikir panjang, Salim langsung meraih satu biji dan memasukkannya ke dalam mulut. Ia nyaris meringis saat giginya mulai mengunyah. Rasa perih dan nyeri karena mulutnya yang kering dan beberapa jam tidak bekerja, membuat kurma yang seharusnya manis, berubah menjadi pahit. Rahangnya mengeras. Salim melirik Yazed saat mendengar suara kekehan pria itu. Setelah itu Salim tertawa sambil menggumamkan terima kasih.

Yazed mengangguk dan memintanya untuk mengambil beberapa biji lagi, tapi Salim menggeleng. Ia menerima kebaikan hati Yazed bukan karena merasa lapar, melainkan karena ia sadar kalau tidak makan bisa menyebabkan kematian, dan dia tidak boleh mati selama masih ada sesuatu yang bisa dimakan. Selain itu ... kalau boleh jujur, Salim sudah mulai bosan menyantap kurma.

“Di mana Salma?”

“Dia masih di luar bersama Laila,” jawab Yazed sembari menoleh ke ujung lorong. Ia menghela napas pelan, lalu kembali menatap Salim di sampingnya. Satu tangannya bergerak untuk merangkul pria itu dengan erat. “Salma sudah menceritakan semuanya. Kami turut berduka.”

Salim mengangguk. Bibirnya memaksakan seulas senyum meskipun rasanya kaku setengah mati. “Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang,” lirihnya, berharap Yazed mengerti. Maniknya menyoroti lantai dengan tatapan menerawang. “Kalau mereka membunuh Paman Usman karena aku dan Salma, kenapa tidak langsung saja mereka membunuh kami?”

Yazed tak menggubris, tangannya masih sibuk merangkul Salim.

Lihat selengkapnya